Kota Partisipatif

Partisipasi adalah kunci di sebuah kota. Membangun partisipasi publik harus dimulai sejak dini dan dilakukan terus menerus. Tidak bisa instan.

Miko Kamal. (Foto: Arsip Pribadi)

Membangun partisipasi publik harus dimulai sejak dini dan dilakukan terus menerus. Tidak bisa instan.

Partisipasi adalah kunci, di sebuah kota. Jangan berharap kota akan bersih, aman dan nyaman bila partisipasi warganya rendah. Apalagi tidak ada sama sekali.

Kota-kota terbaik di dunia pasti dihuni oleh warga yang, sebagian besarnya, partisipatif. Percayalah. Saya punya pengalaman langsung, di Melbourne. Ketika tram yang saya tumpangi berhenti di simpang lampu pengatur lalu lintas, saya membuang sisa es krim yang terserak di lantai tram ke jalan. Banyaknya tidak seberapa, dan itupun akan cair dengan sendirinya dilumat aspal musim panas.

Seorang anak muda meneriaki saya: “hei, take it back, take it back, take it back”. Anak muda itu berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk sisa es krim yang saya buang itu. Saya tidak punya pilihan lain, selain mengambil kembali sisa es krim itu. Sore itu saya serupa anak kucing yang tertangkap tuannya sedang mencuri ikan asin balado di atas meja makan. Tak beragak malu saya.

Partisipasi aktif anak muda yang meneriaki saya itu tergambar pada fakta kota Melbourne. Kotanya bersih, aman dan nyaman. Kota yang sering dinobatkan sebagai kota terbaik di dunia, yang layak dikunjungi dan ditinggali.

Mengapa partisipasi penting? Saya beri contoh saja. Di Padang, sebanyak 641 ton sampah diproduksi setiap hari. Bayangkan jika warga tidak berpartisipasi: sampah sebanyak itu dibuang sembarangan atau tidak ditumpuk di tempat pembuangan sampah yang tersedia. Sampah akan berserakan di banyak sudut kota, sebelum diangkat oleh tukang sampah. Baunya pasti menyengat hidung. Kota akan dipenuhi lalat yang berterbangan menyebar-nyebarkan penyakit.

Sampah satu contoh soal saja. Soal yang lain juga hampir sama. Peruntukan trotoar misalnya. Bila para pedagang kaki lima tidak ikut berpartisipasi mengamankannya, trotoar kita akan penuh sesak oleh tenda-tenda biru atau oranye. Begitu juga, sebaliknya, partisipasi masyarakat pembeli. Pedagang nakal di atas trotoar akan semakin menjamur bila masyarakat menjustifikasi mereka: membeli dagangan para pedagang nakal yang berjualan di atas trotoar. Akibatnya, hak pejalan kaki terenggut paksa.

Mewujudkan kota partisipatif memang bukan pekerjaan mudah. Saya sadar itu. Upaya serius pemegang kekuasaan, konsep dan langkah yang jelas adalah prasyarat utamanya. Keseriusan pemerintah, salah satunya, dapat dilihat dari cara mereka menegakkan hukum. Saya menyebutnya konsistensi berhukum. Pemerintah (dalam hal ini pemerintah kota) harus menegakkan hukum secara tegas dan konsisten. Menegakkan hukum jangan “boak boak-an” seperti praktik selama ini.

Membangun partisipasi publik harus dimulai sejak dini dan dilakukan terus menerus. Tidak bisa instan. Jalannya, pemerintah harus mengintervensi lembaga pendidikan. Masuk melalui pendidikan dasar. Orientasi pendidikan dasar kita harus diubah. Dari orientasi nilai menjadi pendidikan yang melatih anak-anak berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial.

Anak-anak harus diajarkan praktik membersihan sekolah, termasuk fasilitas yang ada di sekolah serupa toilet dan westafel. Praktik ini mengajarkan kepada anak-anaj bahwa kebersihan sekolah adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya tanggung jawab tukang kebersihan. Juga, anak-anak dilatih bagaimana cara berpartisipasi dalam menjaga kenyamanan hidup serupa praktik antre di tempat umum. Membersihkan meja kantin sekolah setelah selesai makan juga harus dipraktikkan.

Praktik-praktik partisipatif di sekolah itu boleh disebut pembudayaan. Tujuan utama pembudayaan adalah terbentuknya budaya baru.

Saya masih mau membayangkan, suatu saat cerita serupa anak muda yang meneriaki saya di Melbourne juga ada di Padang. Warga kota saling ingat mengingatkan atas nama kebaikan.

Di zebra cross, pengendara menghentikan kendaraannya untuk memberikan jalan kepada penyeberang: sebagai bentuk partisipasi menciptakan kenyamanan dan kemanan di jalan raya.

Anak-anak muda dan orang tua yang baru selesai makan di restoran membersihkan meja serta menumpuk rapi piring dan gelas mereka. Itu bentuk partisipasi mereka kepada petugas restoran yang selama ini bekerja berat membersihkan meja setelah pelanggan pergi.

Baca juga: Menanggapi ‘Garah’ Miko Kamal

Jika bayangan saya terwujud, Padang boleh disebut sebagai kota partisipatif. Sekarang belum.

Secara konseptual, definisi kota partisipatif boleh begini: kota yang warganya memiliki kesadaran penuh untuk bergerak serempak mewujudkan kota yang bersih, aman dan nyaman.

__

Miko Kamal
Pengamat Tata Kelola Kota

Baca Juga

Kekeliruan atas Laporan Film Dirty Vote
Kekeliruan atas Laporan Film Dirty Vote
Pemko Padang Gelar Pelatihan Public Speaking, Perkuat Tenaga Pendamping UKM
Pemko Padang Gelar Pelatihan Public Speaking, Perkuat Tenaga Pendamping UKM
TPA Aie Dingin Kota Padang: Salah Langkah, Bencana Menanti
TPA Aie Dingin Kota Padang: Salah Langkah, Bencana Menanti
Padang Kembali Gelar Pasar Siti Nurbaya
Padang Kembali Gelar Pasar Siti Nurbaya
"Ancika 1995" Happy Ending Seorang Dilan
"Ancika 1995" Happy Ending Seorang Dilan
Abrasi Kian Mendesak Pasir Jambak, Rumah dan Pondok Wisata Semakin Terancam
Abrasi Kian Mendesak Pasir Jambak, Rumah dan Pondok Wisata Semakin Terancam