Kehadiran birokrasi merupakan instrumen penting di dalam masyarakat. Dalam pasal 1 UU No.25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, pelayanan publik diartikan sebagai rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Birokrasi diberi kesan adanya proses panjang yang berbelit-belit, akibatnya birokrasi mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan.
Adanya kenyataan sehari-hari yang dialami di lingkungan birokrasi pemerintah seperti prosedur kerja yang berliku-liku, beban kerja tidak merata, lamban, tidak efisien, kaku, kurang transparan, perilaku korupsi masih mewarnai pelaku birokrasi, kondisi itu digambarkan sebagai birokrasi sakit atau patologi birokrasi. Patologi birokrasi di dalam suatu pelayanan publik merujuk kepada masalah atau gangguan yang terjadi pada sistem birokrasi atau administrasi pemerintahan yang memiliki pengaruh efektivitas dan efisiensi pelayanan publik
Salah satu patologi birokrasi yang menjadi permasalahan cukup serius di Indonesia adalah korupsi. Birokrasi yang baik seharusnya adalah birokrasi yang bebas dari korupsi. Korupsi merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja yang bertujuan untuk memberikan keuntungan pribadi, keluarga, ataupun rekannya dan dilakukan secara ilegal.
Praktik korupsi sudah menggejala dan telah menyerang hampir di semua sendi kehidupan, tidak terkecuali pada aspek pelayanan publik di Birokrasi Pemerintahan. Sektor pelayanan publik menjadi salah satu bagian yang paling sering terdapat kasus korupsi ini. Sehingga tidak mengherankan, jika kasus-kasus seperti pungutan liar, gratifikasi, dan sejenisnya sering kali terjadi di bagian ini. Karena hal tersebutlah birokrasi tidak lagi berjalan secara efektif dan efisien. Birokrasi pada akhirnya hanya akan menjadi pelayan penguasa dan oknum-oknum yang menghalalkan segala upaya.
Dalam pelayanan publik, sektor pelayanan publik memang telah menjadi rahasia umum bahwa sektor tersebut menjadi tempat bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan memanfaatkan posisi dan kekuasaan yang mereka miliki. Banyak kasus korupsi terjadi di dalam birokrasi penyebabnya adalah karena adanya pihak yang ingin mendapatkan privilege dalam proses pelayanan, dan pada saat itulah oknum-oknum dalam birokrasi dengan sengaja ingin mengambil keuntungan secara tidak sah.
Sebagaimana Philp (2002) mengatakan bahwa korupsi dalam institusi (birokrasi) dapat terjadi saat birokrat (pejabat publik) menerima manfaat/keuntungan melalui proses politik yang diperoleh dari posisinya sebagai politisi atau pejabat dalam birokrasi tersebut. Kekuasaan yang mereka punya seolah-olah menjadi suatu sumber pundi-pundi rupiah yang menjanjikan.
Kasus-kasus korupsi yang terjadi pada lingkungan birokrasi tentu akan berdampak terhadap kepercayaan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kegagalan birokrasi menempatkan dirinya sebagai lembaga yang dapat mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat sehingga orientasi kekuasaan dalam pelayanan publik membuat semakin kurang responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. Korupsi juga mempunyai pengaruh karena dapat menghancurkan atau merusak sistem birokrasi yang bertujuan untuk menyediakan layanan publik yang adil, transparan, dan efisien.
Hal tersebut terjadi karena korupsi dapat mengubah sistem birokrasi menjadi sistem yang biasa dan tidak adil, yang akhirnya merugikan masyarakat. Korupsi juga membuat birokrasi pemerintah menjadi sistem yang mudah untuk menerima atau memberi suap, gratifikasi, dan iming-iming lainnya, yang kemudian dapat mengubah keputusan yang diambil.
Sehingga dalam penyelenggaraan proses birokrasi diperlukan sanksi yang tegas terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang seperti korupsi tersebut. Solusi tersebut tentu bertujuan agar pelaku merasa jera dan para birokrat lainnya juga merasa takut untuk melakukan hal yang sama. Karena permasalahan tersebut jika dibiarkan begitu saja akan merusak pemerintahan dan negara.
*Penulis: Yulia Dwijayanti (Mahasiswi Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)