Koperasi, PSN, Konflik Agraria Air Bangis: Mereka yang Terhempas

Koperasi, PSN, Konflik Agraria Air Bangis: Mereka yang Terhempas

DM (baju hitam) sedang terbaring di tikar rajut plastik di rumah salah seorang tetangganya, Kamis (10/08/2023). DM diduga mengalami trauma dan stres, karena aspirasi yang disuarakan dalam unjuk rasa berhari-hari di Padang, tak sesuai dengan harapan. Foto: Dharma Harisa/Langgam.id

(Tulisan ke 2 Liputan Khusus Konflik Agraria Air Bangis)

Langgam.id - Mentari berada persis di atas ubun-ubun, membiaskan cahaya yang berlimpah ke sekujur kampung Lubuk Bontar, Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat, Kamis (10/8/2023). Seberkas cahaya pun menerabas ke ruang-ruang rumah semi permanen, di mana DM, 41, tengah berbaring di tikar rajut plastik, dengan empat orang  penunggu duduk di sisinya.

Perawakan DM terlihat berantakan, tidak terurus lagi. Tampang wanita itu terlihat stres berat.

Suami DM telah meninggal. Ia sudah menjanda setahun belakangan. Saat ini DM tidak berani pulang ke rumahnya. Entah apa alasannya, namun kata tetangga DM, ia selalu merasa takut berada di sana. "Ada yang memanggil-manggilnya, tapi orangnya tidak ada. Ia tengok nggak ada," ujar Roma Rambe (42), salah seorang yang senantiasa menunggui DM.

Roma menyebut, karena khawatir dengan keselamatan DM, mereka bergantian menjaga dan mengecek kondisinya.

Alya Meitasya, bidan desa di Jorong Pigogah Patibubur, mengatakan, kondisi DM itu cukup mengagetkannya. Sebab sebelumnya, DM janda beranak satu itu, hidup normal seperti biasa. Sehari-hari berkebun, sebagaimana halnya dengan aktivitas kebanyakan warga Pigogah Patibubur.

Namun, semenjak dipulangkan dari Padang usai berunjuk rasa di kantor Gubernur Sumatra Barat, Sabtu (05/08/2023), DM berubah, seperti dihantui kecemasan, dan perasaan yang tak keruan.

 “Sepulang dari Padang (unjuk rasa berhari-hari), kondisi traumanya masih terus membekas,” kata Alya.

DM termasuk satu dari seribuan warga Air Bangis yang menggelar aksi unjuk rasa selama 6 hari di Padang, mulai pengujung bulan Juli, hingga akhir pekan pertama bulan Agustus lalu.

Unjuk rasa beruntun ini buntut usulan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pasaman Barat.

Dalam unjuk rasa tersebut, mereka menuntut agar Gubernur mencabut usulan PSN yang telah dilayangkan kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, sebagaimana tercantum dalam surat No: 070/774/BALITBANG-2021.

Massa juga menuntut gubernur membebaskan lahan masyarakat Air Bangis dari kawasan hutan produksi. Selain itu, massa juga meminta agar masyarakat bisa menjual hasil sawitnya kemana pun dengan bebas.

Demonstran juga menuntut Kapolda Sumbar agar menarik mundur seluruh Brimob yang berada di lahan masyarakat Air Bangis.

Aksi tersebut turut meminta Kapolda membebaskan teman-teman mereka yang ditahan, serta menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat Air Bangis.

Sayang, upaya masyarakat bertemu gubernur tak sesuai dengan yang diharapkan. Gubernur Sumbar Mahyeldi hanya bertemu warga sebentar usai salat subuh di Masjid Raya Sumbar, Kamis (3/8/2023).

Saat meninggalkan masjid, gubernur dikerumuni massa aksi warga Air Bangis yang menuntut hak mereka terkait lahan untuk PSN itu.

Dari video yang beredar, Mahyeldi dikawal Kapolresta Padang Kombes Ferry Harahap beserta jajaran dari kerumunan warga Air Bangis yang sudah tiga hari menggelar aksi damai untuk bertemu gubernur.

Sambil berlalu dari kerumunan warga di Masjid Raya Sumbar, gubernur menyebutkan PSN merupakan kepentingan nasional, kepentingan negara yang harus didukung semua pihak.

"Untuk harga sawit, kerja sama dengan koperasi. Harganya sesuai yang kita putuskan, sekali sepekan akan dicek oleh Dinas Perkebunan. Masalah yang terkait dengan polisi, itu urusan hukum," katanya dikutip dari akun Polresta Padang, Kamis (3/8/2023).

Di tengah kawalan polisi, Gubernur Mahyeldi berlalu meninggalkan kerumunan warga Air Bangis yang masih mempertanyakan hak-hak mereka

Hampir seminggu bertahan di Padang tanpa hasil, warga Air Bangis itu pulang ke kampung hanya meninggalkan bekas luka yang makin menganga. Baik karena terpikir nasib lahan, ataupun sakit pasca dipulangkan.

Lampiran Gambar
Lanskap Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas. Foto: Dharma Harisa/Langgam.id

"Bagaimana nasib lahanku?" tiba-tiba DM terbangun dan langsung berucap, setelah mendengar percakapan jurnalis Langgam.id dengan penunggu DM.

DM mengatakan badannya lemas. Pendengarannya selalu dihantui oleh suara berbisik yang tak jelas darimana asalnya. Ia takut keluar rumah. Setiap melihat cahaya di pintu rumah, seolah-olah ia melihat sudah banyak polisi yang ada di depannya. Kadang dia merasa sedang di pukul entah oleh siapa.

Sekarang mau berobat pun tak ada uang. Lahan sawit seluas 2 hektare yang ditinggalkan suaminya juga tak mampu ia panen. Sembari terisak membendung tangis, DM tak tahu lagi bagaimana jalan nasibnya ke depan. Stres dan trauma yang mengguncang terkadang membuatnya lupa dengan si kecil yang sedang bersekolah. DM mempunyai seorang anak laki-laki yang kini masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar.

Kini, sebut tetangganya, anak DM kehidupannya kurang terurus. Walau si kecil itu masih tetap menunaikan cita-cita dan pergi ke sekolah setiap pagi hari.

Terlebih, cincin emas hadiah pernikahan yang dimilikinya hilang di Masjid Raya Sumbar. Sebagaimana diketahui, Masjid Raya Sumbar menjadi tempat bermukim warga Air Bangis yang berunjuk rasa berhari-hari di Padang.

"Ndak tau lagi aku dimana letaknya. Sehabis sembahyang hilang. Ndak tau sama siapa aku kasih cincin itu," katanya sembari terlihat linglung dan terkulai.

Hopma (33) tetangga DM yang lain menyebut kondisi ini baru ia derita sehabis dipulangkan. "Pas sampai malam itu (Minggu 06/08/2023), di Masjid Lubuk Bontar, udah marah-marah saja dia," tutur Hopma. Sempai keesokan harinya pada saat itu, DM terus menangis. DM bahkan tidak tidur. Ia hanya tidur jika sudah terlalu lelah untuk menangis.

Hopma mengatakan, di kampung itu banyak ibu-ibu janda yang menjadi tulang punggung keluarga ikut berdemo ke Padang. Bagaimana tidak, sudahlah ditinggal suami, lahan untuk sejengkal perut pun terancam diambil orang. "Mau apa lagi kami kalau tidak mempertahankan lahan? Terlebih ada teman-teman kami yang suaminya di penjara karena masalah ini," ucapnya.

Kondisi Warga Saat Pulang

Alya Meitasya adalah salah satu dari dua orang bidan yang bertugas di Jorong Pigogah Patibubur. Ia ditugaskan oleh Puskesmas Air Bangis untuk mengabdi di sana. Di Pigogah sendiri, ada satu Poli Klinik Desa (Polindes) tempat masyarakat biasa berobat, letaknya di kampung Lubuk Bontar.

Jorong Pigogah Patibubur bernaung 4 kampung yang dihuni kurang lebih 700-an KK. Yakni, Lubuk Buaya, Lubuk Bontar, Gunung Bungkuk, dan Sungai Pinang. Karena cakupan pemukiman penduduk yang luas, Alya membuka posko kesehatan sendiri yang terletak di Kampung Gunung Bungkuk.

Malam pemulangan paksa masyarakat dari Masjid Raya Sumbar, Minggu (06/08/2023), Alya dan satu bidan lainnya ditugaskan bersiap oleh Kepala Puskesmas untuk menanti kedatangan masyarakat. "Tim kesehatan saat itu sudah standby dengan infus dan oksigen," katanya, kepada Langgam.id Jum'at (18/08/2023).

Ia menceritakan, tengah malam itu sekira pukul 02.00 WIB, sewaktu turun dari mobil, warga tampak sangat kelelahan dan lemas. Bahkan ada yang tepar sewaktu berada di dalam mobil.

"Pas mobil pertama datang, ada dua warga yang perlu dirujuk. Hanya saja ambulans kami saat itu belum datang. Baru kami berdua bidan desa yang ada," tutur Alya. Obat-obatan yang diperlukan untuk mengobati masyarakat juga dibawa oleh ambulans. Mereka yang tepar terpaksa dilarikan dengan mobil seadanya dari Pigogah ke rumah sakit.

Lampiran Gambar
Bis yang membawa warga Air Bangis yang berunjuk rasa di Padang selama lebih kurang 6 hari, tiba di Air Bangis, Minggu (6/8/2023). Foto: kiriman warga

Kata Alya, salah satu warga yang tepar adalah ibu hamil yang memiliki anak kecil. Ia dan anaknya  terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasaman Barat. "Dia kelelahan. Pas turun dari bus, dia langsung muntah-muntah, kesadarannya menurun. Anaknya yang kecil, sakit juga sehabis pulang demo," jelas Alya.

Selain ibu hamil tersebut, juga ada satu wanita lagi yang mesti dilarikan ke rumah sakit. Namanya Riyanti. Kakaknya Bata (35) menyebut adiknya itu sesampainya di Masjid Lubuk Buaya tempat warga diberhentikan, sudah sangat kelelahan. Riyanti dirawat dengan selang oksigen selama 3 hari di RSUD Pasaman Barat.

Bata juga menyaksikan semua warga yang pulang pada hari itu umumnya sakit. " Masyarakat yang pergi itu pas pulang tidak ada yang sehat.  Paling kurang pasti batuk pilek. Mereka seminggu begadang terus," tuturnya kepada Langgam.id, Kamis (10/08/2023).

Alya membenarkan apa yang disampaikan Bata. Ia menjelaskan hampir semua warga yang pulang saat demonstrasi kelelahan sekali tampak dari wajahnya. "Padahal sehari-harinya di sini, jarang ada masyarakat yang sakit," ucapnya.

Dari informasi yang ia ketahui belakangan, malam itu sangat banyak masyarakat yang tepar. Hanya saja terang Alya, mereka tidak tidak tau kalau ada posko pengobatan. "Ada yang pulang ke rumah langsung. Tapi kalau kami melihat (datang) mobil pembawa warga yang tepar itu, kami turut langsung ke sana."

Seminggu pertama pasca pulang dari demonstrasi adalah kondisi paling gawat. Alya mengatakan ada puluhan hingga ratusan masyarakat yang datang berobat. Semua warga kena. Mulai dari bayi, balita, anak sekolah, orang dewasa, hingga lansia.

"Sehabis pulang demonstrasi tu banyak sekali yang sakit. Keluhannya rata-rata mual muntah, nyeri di ulu hati. Selain itu ada yang batuk, sampai ada yang hilang suaranya karena demo. Bahkan ada yang stroke," tutur Cia, sapaan akrab bidan desa itu.

Penyebab sakit itu katanya akibat kelelahan dan kurang makan. "Walaupun makanan ada, tapi kami tidak ada kepikiran makan. Kami sering stres kata masyarakat." Di antara mereka, ada 5 orang warga yang ditangani Alya sampai di infus.

Sedangkan untuk anak-anak, ia menangani yang rawat jalan sekitar 10 orang anak. Umumnya dengan gejala diare dan demam. Sementara untuk lansia, paling banyak mengeluh sakit di ulu hati, kelelahan, dan demam.

Stres, Stroke, dan Potret Masyarakat di Pigogah

"Sampai teriak-teriak bebaskan lahan kami! bebaskan lahan kami! Dia juga teriak, Brimob datang Brimob datang!"

Alya menirukan kembali lontaran MH (51), warga Gunung Bungkuk, Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis. Saat ini kondisi pria paruh baya itu sangat memprihatinkan. Ia mengalami stres berat dan tekanan mental, imbas lahan yang selama ini menjadi ruang hidupnya terusik rencana PSN.

Sebab stres itu, Alya yang bertugas sebagai bidan desa di Jorong Pigogah harus memeriksa kesehatan MH langsung ke rumahnya. "Sampai sekarang kata istrinya masih suka ngamuk-ngamuk sendiri. Kaca televisinya dirusak, semua dirusak," tutur Alya.

Tetangga MH, Syamsul Bahri (49) menceritakan hal yang sama. Ia kadang tidak tega melihat kondisi MH sepulang demonstrasi di Padang. "Ngamuk, pecah-pecah isi rumahnya semua. Piring kaca, gelas habis semua," ucapnya.

Sampai saat ini katanya, tidak ada gejala sembuh yang ditunjukkan MH. Ia masih ngamuk-ngamuk jika mengingat kejadian demo di depan kantor gubernur yang lalu. Langgam.id berencana untuk melihat kondisi MH, tapi kata warga, pria itu saat ini sudah melantur lagi kalau diajak ngobrol.

Selain MH, Alya juga mengunjungi DM. Dua warga tersebut terkena tekanan mental akut sehabis dipaksa pulang dari Padang. Dia merasa sangat miris melihat kondisi DM saat ini. Padahal sehari-harinya, DM adalah orang yang semangat.

"Kok bisa kayak gini? Diapain kalian sama orang itu sampai bisa begini kata Cia. Lalu dibilang tetangganya jangan bahas-bahas masalah itu lagi," ungkap Alya.

DM akan kumat tekanan mentalnya kalau sudah membahas kejadian di Padang.

Di luar yang tekanan mental, Rina Melati (53) wanita paruh baya yang tinggal di depan rumah bidan desa itu terkena penyakit yang cukup memprihatinkan. Rina terserang stroke. Setengah dari badannya menjadi kaku dan tidak bisa lagi digerakkan.

Sebelumnya, ia dan 7 orang anggota keluarganya ikut pergi berdemonstrasi ke Padang. Rina termasuk lama tinggal di Jorong Pigogah. Ia telah mengolah lahan seluas 3 hektare bersama keluarganya selama 15 tahun di sana.

Langgam.id berkesempatan mengunjungi rumahnya pada Kamis (10/08/2023). Bangunan itu tegak kecil di antara deretan rumah kayu yang ada di kampung Gunung Bungkuk, Jorong Pigogah Patibubur. Luasnya hanya berkisar dua buah lebar mobil Toyota Avanza.

Rina sedang duduk dengan suami dan kakak perempuannya di teras rumah untuk berjemur. Tampak dari perawakan mereka adalah masyarakat pekebun yang hidup dan mencari penghidupan dari berladang sawit. Dua warga lainnya yang menemani Rina terlihat sudah memasuki usia senja pula.

Mereka ke Padang dengan alasan untuk mempertahankan tanah tempat mereka mengais sepiring nasi dan bersolidaritas dengan masyarakat. Saat demonstrasi hari ke 5, tepatnya Jum'at (04/08/2023), sakit itu melandanya.

"Sesudah salat Jumat, mau pergi demo. Dilihat sama anakku ndak terangkat lagi badan ku," ucapnya.

"Aku duduk langsung terangkat tangan ini. Habis itu mati rasa badan saya sebelah," sambungnya menjelaskan.

Malamnya, baru ada mobil ambulans yang membawa dia ke Rumah Sakit Bhayangkara Padang. Dokter menyebut kepada Rina bahwa ia memiliki tensi yang tinggi. Oleh karena itu tidak boleh terkena stres. Selama 3 hari ia dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara.

Saat Langgam.id berkunjung, Rina dan anaknya baru sampai semalam di Pigogah. Ia pulang dengan menggunakan travel, tak ikut bersama rombongan warga.

Sekarang ia kebingungan tak bisa lagi ke kebun. Selama berdemonstrasi, sawit yang berbuah juga tidak ia panen. "Ndak ada lagi aku ke kebun, akhirnya ndak punya modal untuk bertanam. Kalau demam 3 bulan masih bisa ku tahan, kalau sudah stroke ini gimana mau ke kebun," ucapnya yang tampak telah pasrah menerima nasib.

Biaya Berobat Menambah Pusing

Sakit yang diterima warga Jorong Pigogah Patibubur masih terasa usai dipulangkan paksa oleh kepolisian, Sabtu (05/08/2023) awal bulan lalu. Bidan desa pigogah Alya menyebut mereka tak makan akibat stres, sebab terus kepikiran akan nasib lahan yang kini coba diambil oleh negara.

Bata (35) bangun dari tidur untuk bercerita dengan Langgam.id usai 5 hari sakit sehabis ikut demonstrasi, Kamis (10/08/2023).

Salah satunya dirasakan Bata (35), warga kampung Gunung Bungkuk, Jorong Pigogah Patibubur. Sudah 5 hari ia hanya bisa tertidur lemas di rumahnya. Semenjak dipulangkan oleh polisi, sudah bolak balik bidan desa menukar infus Bata. Keadaannya lemas, dengan tubuh yang tak kuat lagi, bahkan untuk duduk.

Ia tak sanggup berobat ke rumah sakit. Walau telah berhari-hari dengan kondisi badan yang belum cukup membaik, ia masih bertahan dengan mengkonsumsi obat kampung seadanya. Jangankan ke rumah sakit, untuk membayar biaya infus saja, Bata tak punya. Alhasil, ia terpaksa berdamai hidup berdampingan dengan sakit.

"Ndak tahan saya biayanya, 200 ribu per infus. Di sini ndak ada pakai BPJS, walaupun kita ada BPJS tetap membayar," ucapnya saat Langgam.id berkunjung ke rumahnya, Kamis (10/08/2023).

Selain itu, untuk bisa memakai BPJS, ia harus ke Puskesmas yang terletak di pusat Nagari. "Biarlah berobat di rumah. Pergi ke Air Bangis juga butuh modal besar," ungkap Bata.

Saat Langgam.id berkunjung, terlihat sudah habis tiga kantong infus di samping tempat tidur Bata. Hari Senin kata bidan, disuruh tambah infus. Tapi kita tidak ada uang. Kini ndak ada infus lagi," ucapnya.

Bata adalah kepala keluarga dengan tiga orang anak. Saat ini ketiga anaknya juga terserang penyakit. Yang paling besar kelas 6 SD dan yang bungsu baru mau sekolah. Ketiganya sering muntah dan diare.

Sebab masih masih sakit, Bata belum bisa ke ladang untuk mencari nafkah. Sekarang kebutuhan rumah tangganya hanya dibantu oleh istrinya.

Mereka berlima tinggal dalam sebuah rumah seperti gubuk kecil yang dibangun dengan kayu. Rumah itu terdiri dari satu ruangan keluarga lengkap dengan ruang tamu, tempat tidur, lemari, dan ruang makan. Di belakang ada kamar mandi dan dapur kecil. Isi rumah terasa hampa, tiada televisi dan perabot elektronik canggih lainnya.

Tetangganya Bagindo Ali (38) sangat menyayangkan kalau ada orang yang beranggapan di Pigogah diisi oleh petani kaya. "Kami di sini hanya untuk mencari penghidupan. Hidup dari kebun seluas 2 atau 3 hektare, itu pula yang mau diambil," ucapnya.

Mirisnya saat demonstrasi, kata Gindo Ali, ada yang menuduh warga di sini punya mobil Pajero, hidup mewah, dan segala macam. Sedangkan untuk berobat saja masyarakat harus memutar otak agar modal berladang tidak kurang.

Menilik Akar Persoalan

Sudah setahun belakangan masyarakat Nagari Air Bangis khususnya Jorong Pegogah Patibubur selalu khawatir, bahkan terkadang stres, karena memikirkan nasib lahan mereka. Tokoh masyarakat Gunung Bungkuk Jorong Pigogah Patibubur Syamsul Bahri (49) mengatakan, semenjak pemerintah memberikan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) kepada Koperasi Sekunder HTR Air Bangis Semesta mereka selalu mendapat intimidasi.

Terlebih 6 bulan belakangan, sejak ada Brimob yang menjaga peron tempat penampungan dan pembelian buah sawit yang dimiliki koperasi sekunder itu. "Polisi dan Brimob yang berjaga di sana selalu memberhentikan kami ketika hendak membawa sawit. Jual ke peron, jual ke peron," ucap Syamsul.

Sedangkan di satu sisi, Syamsul mengatakan masyarakat sudah krisis kepercayaan dengan koperasi. "Dari dulu kehendak kita ndak pernah dipenuhi, baik harga atau masalah tanah. Kehendak orang itu saja yang selalu dituruti," ujarnya.

Terakhir jelasnya, sekitar setahun yang lewat, masyarakat disuruh dan dipaksa untuk menyerahkan lahan. Pertama oleh Polsek. Tidak berhasil di Polsek, dibawa ke Polres. Tidak berhasil juga, baru dibawa ke Polda. Mereka dipanggil melalui surat resmi.

Syamsul sendiri dapat panggilan terakhir dari Polda. Ia menjelaskan, intinya masyarakat harus menyerahkan tanah dengan tanda tangan di atas materai. Ia masih ingat poin nomor 3 dari surat tersebut. "Bahwa semenjak saya menandatangani surat pernyataan ini, maka saya tidak akan menduduki, menguasai, ataupun memiliki serta melakukan aktivitas apapun di dalam kawasan hutan tersebut," tutur Syamsul sembari mengingat pernyataan yang harus ditanda tangani saat itu.

Syamsul tidak mau menandatangani surat tersebut. Begitu pula dengan tetangganya Bagindo Ali (38).  Ia termasuk mereka yang awal meneroka di Jorong Pigogah Patibubur. Gindo Ali dan keluarganya sudah berkebun di sana sejak tahun 1991. Punya tiga orang anak yang masih sekolah, Gindo Ali mengelola lahan seluas 3 hektare.

Ia menjelaskan saat pemanggilan kurang lebih ada sekitar 62 masyarakat yang menandatangi penyerahan lahan tersebut. Umumnya masyarakat dari luar yang punya kebun luas. "Orang-orang Air Bangis yang kaya-kaya. Mereka tanda tangan, lahannya di atas 10-20 hektare," ucapnya bersama Syamsul Bahri saat menceritakan hal tersebut kepada Langgam.id.

Bahkan saat itu ada sejumlah uang yang ditawarkan kepada masyarakat. Mereka menyebutnya uang kerohiman. "Dikasih uang, masyarakat pergi dari lahan. Dulu masyarakat disuruh datang dengan banyak bus ke Simpang Empat. Jumlah yang ditawarkan sekitar 10 juta per hektare," ungkapnya.

Oleh sebab inilah, 2 tahun belakangan dan makin intens 6 bulan ini karena kehadiran Brimob, masyarakat selalu kepikiran. Makin hari dipikirkan, makin stres jadinya.

Di sisi lain, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat Yozawardi menyatakan, kehadiran koperasi tersebut adalah upaya penyelesaian yang dirancang pemerintah. Hal itu berkaitan dengan adanya keterlanjuran penanaman sawit di kawasan hutan.

"Warga diajak bergabung dengan koperasi. Lalu bisa mengakomodasi panen itu. Keterlanjuran itu juga bisa diakomodir," ucap Yozawardi saat menjumpai massa yang berasal dari pengurus Koperasi Serba Usaha Air Bangis Semesta di Kantor Gubernur Sumbar, Rabu (02/08/2023).

Sementara itu, Ali Nusi (38) salah seorang warga Pigogah Patibubur mengatakan dalam koperasi itu tidak ada satu pun warga kampungnya yang bergabung.

Menjawab hal itu, Bendahara KSU Sekunder HTR Air Bangis Semesta Efif Syahrial mengatakan pihaknya sudah melakukan sosialisasi. Untuk melegalkan agar jangan tidak terjadi tindakan hukum, kita sosialisasi kan itu bagi petani yang ada di sana, mari kita bergabung, jual buah ke peron masuk menjadi anggota koperasi tapi tetap ditolak," ucapnya kepada Langgam.id, Kamis (10/08/2023).

Alasan masyarakat menolak kata Efif, karena terprovokasi. "Provokasinya tidak usah bergabung dengan koperasi nanti tanah kalian habis, padahal kita tidak menyentuh itu. Silahkan mengolah kebunnya tanam, pupuk, juallah, tetapi agar tidak terjadi tindakan hukum jual ke peron koperasi supaya legal," ungkapnya.

Sahruddin (39) salah satu petani sawit di Kampung Lubuk Bontar Jorong Pigogah Patibubur mengatakan, harga sawit yang ditawarkan koperasi sangat jauh di bawah. Selain itu, timbangannya terkadang tidak cocok. Kalau ke pabrik mereka bisa menjual 1.800-1.900 per kilo, di peron hanya dihargai 1.400-1.550 per kilo. Itu pun belum dengan upah muat dan bongkar.

"Bagaimana kita mau menjual ke koperasi jikalau harganya lebih kecil dari modal tanam yang kita keluarkan," ujarnya.

Sementara Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Pol Dwi Sulistyawan, mengatakan pihaknya bersama-sama dengan Forkopimda terus mengkaji rencana PSN tersebut.

Sedangkan upaya lain yang telah dilakukan oleh Polda Sumbar untuk mengantisipasi konflik di lokasi adalah dengan menaruh pasukan Brimob satu pleton.

Dia menjelaskan kehadiran Brimob untuk mencegah konflik karena adanya potensi penyimpangan kesepakatan pengelolaan lahan.

"Itu termasuk tuntutan mereka agar pasukan Brimob ditarik. Tentu yang menginginkan Brimob ditarik, mereka yang mau menyimpang dari kesepakatan. Padahal Brimob itu untuk mengantisipasi agar tidak terjadi konflik," katanya saat jumpa pers di Mapolda Sumbar, Senin (7/8/2023).

Editor: Yose Hendra

Baca Juga

7.764 Pekerja Pekebun Sawit di Pasbar Terima Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan
7.764 Pekerja Pekebun Sawit di Pasbar Terima Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Jabatan Gusti Chandra sebagai Direktur Kredit dan Syariah merangkap tugas Pjs Direktur Utama (Dirut) dan seluruh Direksi Bank Nagari,
Bank Nagari Siapkan Rp500 Miliar Ikut Danai Proyek Flyover Sitinjau Lauik
Debat publik kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Padang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Padang di Hotel Truntum
Cek Fakta: Hendri Septa Klaim Turunnya Kemiskinan, M Iqbal Soroti Tingginya Pengangguran di Padang
Seekor harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) berhasil terperangkap dalam kandang jebak yang dipasang oleh Tim BKSDA Sumbar d
Sempat Buat Warga Khawatir, Akhirnya Harimau Sumatra Masuk Perangkap di Solok
Dalam debat pertama Pilgub Sumbar yang digelar di Hotel Mercure Padang pada Rabu (13/11/2024), calon Gubernur dan Wakil Gubernur memaparkan
Debat Pilkada Sumbar: Kebebasan Beragama dalam Sorotan, Tantangan bagi Toleransi di Ranah Minang