Sumatra Barat (Sumbar) sepertinya ditakdirkan menjadi tanah yang penuh dengan kontradiksi. Provinsi ini didiami oleh mayoritas suku Minangkabau yang mencapai 87 persen. Sumbar identik dengan Minangkabau.
Minangkabau sebagai kesatuan adat adalah mungkin yang paling “Islami.” Adat Minang memiliki semboyan yang sangat terkenal, yaitu “Adat basandi syarak – syarak basandi kitabullah”.
Syarak adalah hukum, dan hukum berdasarkan pada kitab suci Quran (kitabullah). Tidak ada adat suku lain di Indonesia yang seperti ini.
Ada yang mengatakan bahwa ke-Minang-an seseorang akan hilang jika yang bersangkutan pindah agama. Dalam hal ini Minang lebih hebat dari Arab, karena masih ada Arab Kristen atau Arab Yahudi tanpa kehilangan ke-Arab-annya.
Demikian pula Sumbar, termasuk provinsi yang paling “Islami”. Mungkin hanya “kalah” dari Aceh yang menerapkan hukum cambuk. Gubernur Sumbar saat ini dijabat oleh seorang buya yang telah mencanangkan Sumbar madani. Padang Panjang yang dingin itu sudah sejak lama dijuluki Kota Serambi Mekah.
Akan tetapi, kontradiksi yang paling mendasar adalah soal adat dan agama.
Adat Minangkabau dan Islam berbeda dalam beberapa hal yang sangat fundamental. Contohnya,di Minangkabau, keturunan mengikuti garis ibu, atau disebut matrilineal. Sedangkan Islam menganut garis keturunan menurut ayah, patrilineal.
Minangkabau adalah kelompok etnis penganut sistem matrilineal terbesar di dunia. Satu-satunya di Indonesia. Di dunia pun, tak banyak yang seperti kita.
Sebagai konsekuensinya, anak keturunan, secara umum, merasa lebih dekat ke keluarga besar ibu dibanding keluarga besar bapak. Biasanya, seorang nenek akan jauh lebih dekat dan sayang kepada cucu dari anak perempuan dibandingkan dengan cucu dari anak laki-laki.
Orang yang berdunsanak ibu akan jauh lebih akrab dari pada mereka yang berdunsanak bapak. Berdunsanak ibu berarti mereka satu perut, satu suku, satu datuk dan satu pusaka tinggi. Mereka berkumpul di rumah sang nenek.
Mereka yang berdunsanak bapak terpisah secara adat. Mereka berlain suku, berlain pusaka tinggi, dan sangat mungkin pula jarang bermain bersama-sama.
Menurut Islam, mereka yang berdunsanak bapak adalah muhrim, tidak boleh saling menikahi. Mereka berhubungan darah. Ketika bapak sudah tiada, dan saudara laki-laki dari bapak pun sudah tak ada, maka sepupu yang merupakan anak laki-laki dari saudara ayah yang laki-laki, boleh menjadi wali nikah.
Menurut Islam, orang yang ibunya bersaudara, bukanlah muhrim. Mereka boleh saling menikahi. Tetapi adat mengharamkan. Bukan hanya itu, lebih luas lagi, adat melarang nikah sesuku yang masih berada dalam satu payung panji.
Dalam hal ini, hukum adat lebih kaku/rigid dari pada hukum Islam. Di ranah, mereka yang berdunsanak ibu (ibunya bersaudara) tak akan berani kawin. Hukum adat atau hukum sosial dari orang sekampung akan segera berlaku. Nyaris tak akan ada yang berani melawan hukum adat ini, padahal Islam menghalalkan.
.
oOo
Sumbar Madani
Ketika Sumbar sudah dicanangkan menjadi provinsi madani, baru baru ini muncul berita yang sangat tidak meng-enak-kan. Awal bulan ini, Sindonews.com memberitakan, “mahasiswi dan pasangan ASN digerebek saat asyik bersetubuh di tepian Danau Singkarak.”
Sebelumnya di tahun 2019, Pariamantoday.com melaporkan, “Bikin grup "whatsapp mesum" 8 pelajar SMP diamankan Pol PP.”
Di pertengahan 2019, Tribunnews.com mengabarkan bahwa jumlah atau populasi pelaku LGBT terbanyak di Indonesia berada di Sumatera Barat. Data ini disampaikan oleh Wakil Gubenur Sumbar saat itu.
Di Padang pun ada bisnis lendir, sebagaimana halnya di ibukota–ibukota propinsi lain seperti Pekan Baru. Kondisinya kurang lebih sebanding, begitu penilaian seorang aktivis yang meneliti soal ini.
Awal tahun lalu, satu anggota DPR asal Sumbar menggerebek seorang PSK di sebuah kamar hotel di Padang. Kasus ini diliput oleh koran dan TV nasional.
Namun, sepertinya sebagian besar kalangan elit tidak suka membicarakan data-data dan fakta-fakta seperti ini. Mereka lebih suka membicarakan yang baik-baik dan hebat-hebat saja dengan tetap berbangga-bangga.
oOo
Hoaks
Ada satu lagi, kontradiksi soal hoaks. Seorang tokoh langsung membantah ketika saya mengatakan bahwa Sumbar termasuk laris mengkonsumsi hoaks (15/08/2021).
Belakangan, Gubernur Sumbar mengungkapkan bahwa informasi bohong atau hoaks masih menjadi penyebab rendahnya capaian vaksinasi Covid-19 di Sumbar. Capaian vaksinasi Covid di ranah memang diantara yang terendah di republik. Hanya menang dibanding Aceh dan Papua.
Beberapa hari lalu, Kompas melaporkan, “Banyak warga termakan isu hoaks, realisasi vaksinasi Sumbar baru 27 persen” (20/10/2021).
Sebelumnya, "Kabar hoaks tentang vaksin Covid-19 ini berpengaruh besar pada capaian vaksinasi di Sumbar,” kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Sumbar. Begitu Antara memberitakan (19/04/2021).
oOo
Merantau
Dalam budaya tradisional, seorang pria Minang tumbuh dalam sebuah kontradiksi. Di antara posisi sebagai mamak (paman) di rumah ibunya, di mana dia punya kuasa tetapi tanpa kepemilikan, dan posisi sebagai sumando (orang asing) di rumah keluarga istrinya, karena yang punya kuasa adalah mamak dari anak-anaknya.
Jalan pintas dan pragmatis bagi pria Minang adalah merantau dengan membawa anak dan istri. Di rantau, dia berkuasa, punya otoritas di keluarga inti dan yang terpenting punya kepemilikan. Sang pria menjadi “patriarch.”
Merantau telah menyelesaikan kontradiksi tersebut.
oOo
Ekonomi
Di sisi ekonomi pun, ada kontradiksi. Kita tahu bahwa, Sumbar mencatat angka pengangguran tertinggi di Pulau Sumatra yang sekeping besar itu. Kualitas pekerjaan pun rendah karena proporsi pekerja formal di Sumbar adalah nomor tiga paling buncit di bumi Andalas.
Baca Juga: Sumbar, Pengangguran dan Roda Pembangunan
Walau indikator ketenagakerjaan buruk, tingkat kemiskinan di Sumbar adalah yang paling rendah di Sumatra. Kita boleh berbesar hati. Ini berkat peran perantau yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara yang selalu ingat sanak saudara dan kampung halaman di ranah bundo. Ini adalah berita baik, merupakan sebuah kekuatan.
Baca Juga: Kemiskinan di Ranah Bundo
oOo
Dialektika
Bisa jadi, kontradiksi adalah sebuah keniscayaan. Mau diapakan lagi, begitulah adanya.
Kontradiksi bisa berarti negatif, jika tidak dihadapi dengan sebuah kejujuran dan dengan sikap menutup diri. Hasilnya adalah kejumudan.
Sebaliknya, ia bisa bermakna positif. Kontradiksi akan memantik dialektika, memunculkan kreativitas dan merangsang inovasi. Untuk ini, perlu keterbukaan dan kejujuran. Dan yang terpenting, kemauan berhadapan dengan fakta dan kenyataan, sepahit apapun.
Pilihan ada di depan mata. Apakah ke hilir atau ke mudik. (*)
Penulis berasal dari kaki Singgalang, untuk sementara menetap di Sydney