Langgam.id- Sosok Syuhendri memiliki cara tersendiri mewujudkan kepedulian terhadap pendidikan anak-anak sekitar rumahnya. Ia mendirikan komunitas Rumah Baca Tanah Ombak sebagai wadah belajar, menempa, mendidik serta melejitkan potensi anak-anak menjadi generasi yang berkualitas.
Rumah Baca Tanah Ombak berada tidak jauh dari Pantai Padang tepatnya di Jalan Purus III, Kelurahan Purus, Kecamatan Padang Barat, kota Padang. Lokasi ini berada di wilayah kumuh. Pemandangan seperti rumah-rumah petak beratap seng, got mampat berbau adalah pemandangan yang biasa tampak disini.
Rumah Baca Tanah Ombak sendiri bukanlah gedung megah yang dikhususkan menjadi perpustakaan, tetapi seperti rumah-rumah biasanya yang berada di lokasi tersebut. Rumah itu merupakan milik pribadi Syuhendri yang disulapnya menjadi perpustakaan.
Rumah baca tersebut memiliki ruang tengah yang memiliki lantai cukup lapang, yang dimanfaatkan oleh anak-anak sebagai tempat berlatih teater. Saat memasuki rumah ini di pintunya, maka akan langsung disambut buku yang berjejeran di lemari.
Sekeliling mata memandang akan tampak lemari yang berisi banyak buku. Begitu juga dengan lantai dua rumah itu, maka akan tampak koleksi buku-buku yang berjejeran di lemari dari lantai satu. Penyusunan buku di berbagai lokasi di rumah adalah cara Syuhendri mendekatkan anak-anak dengan buku.
Pria yang akrab disapa Hendri itu saat ditemui di rumah baca Tanah Ombak, Senin (20/7/2021) menceritakan awal komunitas ini terbentuk. Awalnya dia memiliki aktifitas kesenian dengan memimpin kelompok teater Studi Sastra dan Teater Noktah.
"Lewat teater itu kita melaksanakan beberapa kali kegiatan seni, yang cuma dilakukan di tempat-tempat tertentu. Seperti di Taman Budaya, penontonnya kebanyakan mahasiswa atau kelompok teater lain," katanya.
Sementara saat itu belum ada kegiatan literasi tetapi sudah ada aktifitas yang berkaitan dengan literasi meskipun belum dinamakan sebagai kegiatan literasi. Kemudian teater itu terjadi pasang surut yang membuat dirinya memilih tidak melanjutkan karena terjadi berbagai persoalan.
Kejadian itu terjadi sekitar tahun 2014, kemudian sekitar bulan Juli 2015 dirinya mulai membuat sebuah ruang baca di Purus yang dinamakan Tanah Ombak. Jadi kegiatan dimulai untuk mengenalkan kegitakan keliterasian. Dirinya tidak sendiri, tetapi mendirikan dan membangun bersama kawannya Yusrizal KW.
"Saat itu saya memang juga sudah berpikir membuat perpustakaan, apalagi saat itu memang sudah ada juga banyak koleksi buku, jadi tinggal melanjutkan saja," kata pria berusia 53 tahun itu.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai PNS di Dinas Kebudayaan Sumatra Barat kemudian menamakannya komunitas Tanah Ombak. Hal itu menurutnya sebagai gerakan baru yang berbeda dari aktifitas sebelumnya walaupun pada dasarnya tetap melaksanakan kegiatan seni dan teater.
Sampai sekarang meskipun perpustakaan, anak-anak menurutnya masih melakukan kegiatan teater. Jadi pada dasarnya kegiatan teater berguna sebagai alat untuk mendekatkan anak-anak kepada buku.
Kemudian seiring waktu berjalan, pelan-pelan dirinya ingin melakukan perubahan kecil, di lingkungan ini terlebih dahulu. Kenapa lingkungan ini, karena lingkungan tempat tanah ombak berdiri masyarakatnya rata-rata ekonomi menengah ke bawah, secara pendidikan ada yang bahkan tidak tamat SD dan ada yang tidak pandai membaca.
"Kemudian di sisi lain kehidupan mereka keras karena hidup di dalam kemiskinan sehingga tumbuh anak-anak di lingkungan seperti itu tumbuh anak-anak yang berada dalam lingkungan tidak ideal," ujarnya.
Menurutnya di lingkungan ini anak-anak cendrung menyerap dan merespon apa saja tindakan pola orang dewasa dan orang tua mereka. Sementara orangtua mereka bersikap dan bertingkahlaku dan berbicara yang tidak selektif kepada anak-anak. Mereka membicarakan apa saja yang belum pantas didengarkan anak-anak, dan mereka tetap saja membicarakan dengan santai.
Apalagi kalau mereka lagi lagi bertengkar dan marahan, semua kata-kata sampah dari mulut akan keluar. Ini yang diserap anak-anak, sehingga ini menjadi perosalan mendasar. Jadi sebenarnya ia mencoba memutus mata rantai persoalan itu.
"Kemudian hal lain, katakanlah disini pernah macam-macam buruk yang terjadi seperti minuman keras dan narkoba atau perbuatan kejahatan kecil yang sebenarnya tidak pantas mereka lakukan. Kita berharap anak-anak ini tidak seperti itu,"katanya.
Kemudian, alasan dia memilih lokasi rumah baca tidak karena lokasi rumah baca merupakan rumahnya sendiri. Tiga anak-anaknya yang sudah memiliki kehidupan sendiri juga lahir dan dibesarkan disini. Sekarang ia tinggal bersama istri di rumah yang selalu ramai dengan aktifitas anak-anak itu.
Saat dulu masih teater, rumah ini dijadikan sampel untuk dasar menggarap naskah, kemudian membikin pertunjukan, dan lingkungan ini sering dijadikan objek untuk titik berangkat berkarya.
"Jadi saya sudah mengenal tempat ini, kalau egois menjadi orang mengapa bertahan disini, mendingan keluar, tapi persoalannya kan bukan itu," katanya.
Lewat gerakan ini ia bisa ingin mengatasi persoalan yang terjadi. Banyak anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian, tidak mendapatkan kesempatan yang sama makanya diciptakan lewat komunitas Tanah Ombak.
Kemudian ratusan buku yang berjejer di rumahnya juga mejadi tujuan tapi tidak dengan memaksa anak-anak membaca, tapi berusaha mendekatkan dengan proses kreatif . Lalu ditempatkan buku itu di tempat yang mudah mereka jangkau. Setidaknya setelah meerkea berkegiatan teater atau bosan anak bisa memilih membaca buku.
"Atau sesekali diingatkan sudah membaca atau belum, atau sudah berapa banyak buku yang dibaca?. Kemudian ada juga yang lain seperti melatih kemampuan dengan menyediakan wadah menggambar dan mewarnai bagi anak," katanya.
Nama Tanah Ombak sendiri dipilih dengan alasan membuat branding, supaya kegiatan berbeda dari kelompok sebelumnya. Saat ini lebih konsen ke anak-anak dan kegiatan literasi. Inspirasi nama Tanah Ombak didapatkan dari sebuah novel meskipun tidak ada hubungannya dengan kegiatan saat ini.
Ombak artinya secara filosofis sesuatu yang bergerak terus menerus dan tidak berhenti, serta dinamis. Kemudian tanah di Indonesia menyuburkan apa saja ditanam dia tumbuh dengan baik. Jadi diharapkan anak-anak seperti tumbuhan, maka dia kreatif dinamis dan mereka tumbuh menajdi generasi yang berkarakter di masa depan.
Rumah Baca Tanah Ombak menurutnya selalu buka setiap hari. Operasional kegiatan sehari-hari juga dibantu oleh relawan. Sekarang hanya ada satu relawan yang datang sekali seminggu.
Rumah baca ini juga dijadikan ruang publik alternatif. Ketimbang anak-anak main di laut dan jalanan lebih baik di main di Tanah Ombak, sekalian bisa diawasi apabila mereka bicara jorok atau berkelahi misalnya. Sehingga bisa diingatkan mana yang boleh dan mana yang tidak.
Anak-anak diajak bermain teater, mewarnai, membaca buku dan melatihnya mendongeng. Jadi banyak variasi cara mendekatkan anak dengan buku, apalagi membaca buku dikenal sebagai dunia yang membosankan sehingga perlu cara kreatif mendekatkannya pada anak.
Saat ini ada sekitar 20 anak yang rutin datang ke Tanah Ombak, namun jumlahnya bervariasi. Kalau ada kegiatan bahkan sampai 50 anak yang datang. Memang Tanah Ombak terbuka sekali, tapi lebih banyak anak-anak sekitar.
"Semuanya datang kesini, malahan kita punya orangtua yang sengaja mengantarkan anaknya kesini, ada juga yang sengaja meminjam buku bagi anaknya kesini," katanya.
Selain membaca di Rumah Baca, juga ada sebelumnya kegiatan pustaka bergerak. Buku-buku dibawa relawan dengan sepeda motor untuk dibawa ke lokasi-lokasi tertentu dengan berkeliling. Namun sejak pandemi covid-19 ini dihentikan, nantinya akan dilanjutkan lagi kalau kondisi normal.
Kalau untuk biaya operasional sehari-hari, biasanya kalau ada aktifitas maka uang yang didapatkan bisa untuk bayar lampu misalnya. Kemudian ada juga donatur tetap yang memberikan biaya operasional seperti untuk listrik dan wifi.
Selain itu ada juga donatur yang diberikan untuk uang saku anak, sekali setahun ada juga donatur yang membelikan seragam, selain itu kadang bagi yang berulang tahun juga diberikan semacam apresiasi. Hal itu menjadi bagian agar mereka mau terus melanjutkan pendidikan dan sekolah.
Diantara anak-anak itu juga banyak yang putus sekolah. Dirinya berusaha mendorong anak-anak yang putus sekolah agar melanjutkan sekolah dengan mengambil program paket lalu dicarikan donatur yang membantu.
Dia mengaku anak-anak tetap datang meskipun saat pandemi covid-19. Semuanya dilakukan agar anak-anak tidak sibuk saja dengan gadget apalagi saat ini sekolah daring. Jadi kegiatan ini menjadi alternatif dalam memberikan ruang untuk anak-anak.
"Kalau tidak ada kegiatan anak sibuk saja sama hape, tetapi lihat saat mereka sibuk dengan teater atau membaca mereka tidak ada yang memegang hape," katanya.
Dirinya mengatakan hal ini dilakukannya sebagai bentuk bakti kepada negeri. Apalagi sebagai ASN banyak sekali waktu luang yang sayang jika tidak dimanfaatkan sementara ia tetap digaji negara.
Apalagi ini masih beririsan dengan kegiatan budaya, dan kegiatan ini juga nonprofit. Dia tidak mendapatkan uang dari Tanah Ombak karena ia sendiri bekeeja dan istrinya juga bekerja. (Rahmadi/ABW)