Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Hidup Dorce Gamalama semasa kecil tak begitu beruntung, kerap hidup di jalanan untuk bisa mendapatkan uang.
Langgam.id - Kehidupan Dorce Gamalama dengan nama asli Dedi Yualiardi Ashadi memang berat sejak kecil. Usia setahun yatim piatu, hidup tak karuan hingga jadi anak jalanan demi mendapatkan uang untuk makan.
Dalam buku Aku Perempuan, Jalan Berliku Seorang Dorce yang diterbitkan Gagas Media dengan cetakan pertama Juli 2005 dikisahkan, sejak kecil Dorce sudah terbiasa hidup mandiri.
Di buku itu Dorce bercerita ketika ia telah pindah ke Jakarta, lingkungan tempat tinggalnya tidak begitu bersahabat, sehingga ia lebih senang di luar daripada di rumah.
Dorce yang hidup di tengah-tengah keluarga yang ramai, bahkan satu rumah kecil sampai dihuni 15 orang merasa terkucilkan.
"Emak (nenek Darama) yang paling mencintaiku, dia yang paling khawatir setiap kali aku bertingkah dan tetap ngeyel dengan kerasa kepalaku," ujar Dorce dalam buku itu.
Meskipun demikian, lingkungan tempat ia tinggal tak seperti cinta Nenek Darama. Dorce kerap merasa selalu sendiri dan terbiasa dengan kesendirian.
Dijelaskan Dorce, ia pernah merasakan hidup sebagaimana anak-anak lainnya waktu kecil, namun itu sangat langka ia dapatkan.
Dorce mengaku, semasa kecil hidupnya lebih banyak bekerja untuk mencari uang daripada bermain sebagaimana anak-anak seusianya.
Ketika menginjak usia Sekolah Dasar (SD), Dorce merasa sekolah hanyalah tempat pelarian dari "kebisingan" rumah yang ia dihuni bersama nenek dan belasan kerabatnya yang lain.
Dorce juga kerap pindah-pindah sekolah, mulai dari SD Kartini, pindah ke SD Petejo. Lalu, pindah lagi ke SD Salmin.
"Di sekolah, aku tak seperti anak-anak yang lain, diantar dan dijemput orang tua, juga tak ada dibawakan bekal," jelas Dorce.
Dorce pagi sekolah di SD Salmin, dan sorenya ia akan bekajar agama di sekolah Al-Wasliyah. Namun, semua itu tak ia lakoni dengan sungguh-sungguh.
"Aku merasa puas jika sudah bisa membaca, menulis dan berhitung. Aku hanya berpikir untuk bisa bekerja di salon, juga tak punya cita-cita seperti kawan-kawan yang lain, ingin jadi presiden, dokter, arsitek dan lainnya," ucap Dorce.
Dorce kecil itu kemana-mana selalu berjalan kaki, juga tak ada uang saku yang diberikan keluarga. Bahkan, ketika akan pergi ke sekolah, ia malah terhenti di jalanan.
Saat itulah, sekolah Dorce pindah ke jalanan, ia hidup dari lampu merah ke lampu merah, menjajali koran milik temannya dari mobil ke mobil.
Terkadang ia juga menjual permen, makanan kecil, minuman dan rokok milik pedagang asongan yang juga merupakan temannya di jalanan.
Tak hanya sampai di situ, demi mendapatkan uang untuk makan, Dorce juga kerap mencari pekerjaan lain, sebagai pencuci piring di warteg-warteg.
"Kadang kerap juga diusir sebelum saya minta pekerjaan. Kerja (mencuci piring) juga jarang mendatangkan duit, kerap diupah dengan sebungkus nasi," ungkapnya.
Selain itu, menurut Dorce, ia juga pernah menjual mainan anak-anak. Namun, itu tak berlangsung lama, sebelum terjual, dagangannya habis diambil anak-anak lain, dan Dorce tak bisa melawan.
Bahkan, Dorce juga pernah bekeja sebagai pembantu di rumah orang. Tapi, ia tak dibayar dengan alasan kerjanya tidak beres.
Semakin hari, hidup Dorce yang menumpang di rumah bibinya juga tak baik. Sehingga ia dipulangkan ke Bukittinggi.
Saat pulang ke Bukittinggi, Dorce masih duduk di kelas 3 SD. Ia tinggal bersama kakaknya, Dasmin.
Meski telah pindah kota, kehidupan Dorce tak jauh beda dengan di Jakarta, ia juga tak begitu tertarik untuk sekolah.
Setahun di Bukittinggi, Dorce lebih banyak menghabiskan waktunya di Mandiangin. "Di sana aku menghabiskan waktu, menikmati musik dan bermain dengan anak-anak pasar," katanya dalam buku itu.
Meskipun telah setahun di Bukittinggi, Dorce tak merasa bahagia, ia ingin kembali ke Jakarta, karena ia beranggapan di sanalah rumahnya.
Setelah menjalani hidup selama setahun di Bukittinggi, Dorce kabur ke rumah pamannya di Padang. Namun, nasib berkehendak sama.
Di Padang, Dorce juga pernah melakoni pekerjaan kasar, seperti mengangkut pasir, karena di rumah paman, ia tak merasa nyaman.
Lalu, di Padang, Dorce juga pernah berjualan tebu, agar-agar, telur asin hingga pisang goreng.
Kemudian, April 1972, Dorce mendapat kabar neneknya sakit di Jakarta, sehingga ia berusaha untuk bisa menemuinya.
Jalan panjang dan usaha Dorce membuahkan hasil, ia bisa ke Jakarta dengan bantuan seorang ibu-ibu. Naik kapal selama tiga hari, dan akhirnya sampai di Jakarta.
Tapi, saat sampai di Jakarta, kabar duka yang ia dapatkan, neneknya meninggal dunia. Saat itulah, hidup Dorce semakin terombang-ambing, hingga ia kenal dengan Titiek Puspa, dan kerap main ke rumah artis yang tenar pada masa itu.
Dari sanalah, Dorce memulai karirnya di dunia musik.
Baca juga: Dorce Gamalama Anak Tentara yang Lahir di Solok Yatim Piatu Sejak Usia Setahun
Kini, Dorce Gamalama hanya tinggal kenangan, ia teah pergi untuk selamanya.
—