Kenapa Nurhadi Mesti Dibela?

Malam minggu (27/3/21) itu mestinya menjadi malam yang menyenangkan, jika saja Nurhadi bukan wartawan. Nurhadi-Nurhadi lain yang bekerja di kantor pemerintahan, di bank atau di kampus jelas akan menghabiskan akhir pekannya dengan bahagia bersama keluarga. Santai-santai di depan komputer, makan-makan enak ke restoran atau tidur-tiduran di kasur empuk.

Namun Nurhadi satu ini sudah memilih jalan takdirnya sendiri, menjadi wartawan. Dan sebagaimana layaknya seorang pekerja media, dia harus siap ditugaskan melakukan liputan kapan saja, tanpa ada batasan jam kerja.

Atas dasar perintah atasan atau perintah hati nurani, seorang wartawan ‘sungguhan’ memang memiliki panggilan jiwa untuk terus mengusut kebenaran data. Inilah yang disebut sebagai kerja investigasi. Dan itu bagian dari tugas berat seorang wartawan sekaligus sebuah ancaman yang nyata.

Kalaulah Nurhadi --wartawan Tempo-- ini suka cari aman, mencari (baca: mencuri) berita lewat ‘copypaste’, alergi disuruh turun ke lapangan, tentu nasibnya tidak seperti malam itu, dianiaya, dipukuli, dirampas peralatan kerjanya, diancam akan dibunuh dan diseret-seret dari satu tempat ke tempat lain sambil dikata-katai.

Sungguh, malang nian nasib kawan kita itu.

Bahkan si Nurhadi tukang suap di Kantor Mahkamah Agung saja, yang saat ini sudah dalam tahanan KPK, tidak pernah mengalami penganiayaan seperti yang dialaminya.

Kenapa begitu ‘sangsai’ badan diri Nurhadi malam itu? Apakah karena dia bernama Nurhadi atau karena dia seorang wartawan?

Pastinya, serangkaian penganiayaan yang terjadi atas diri Nurhadi itu berkaitan dengan profesinya sebagai wartawan. Malam itu, seperti diberitakan di banyak media (baca: https://nasional.tempo.co/read/1447491/tempo-dan-lbh-pers-resmi-adukan-anggota-yang-aniaya-nurhadi-ke-propam-polri,https://tirto.id/jurnalis-tempo-nurhadi-laporkan-kasus-penganiayaan-ke-propam-polri-gbDs,https://jatim.suara.com/read/2021/03/30/165557/menunggu-janji-kapolda-jatim-selesaikan-kasus-nurhadi-tempo) Nurhadi sedang menjalankan perintah atasannya di Kantor Berita Tempo untuk mengkonfirmasi kasus suap yang sedang ditangani KPK dan menjerat mantan Direktur Penindak Pajak Kementrian Keuangan RI, Angin Prayitno Aji.

Malam ketika Nurhadi mencari Angin, sang mantan pejabat tengah berada dalam sebuah pesta perhelatan. Anaknya menikah. Dan dia berbesan dengan Kombes Pol Achmad Yani, seorang petinggi di kepolisian Jawa Timur.

Lagi-lagi, kalau Nurhadi seorang wartawan bermental ‘kerupuk’ tentu dia tak akan menyosor masuk ke ruangan pesta dan membidikkan kamera nya ke arah pasangan keluarga pejabat negara yang sedang berpesta itu. Dia bisa saja berhenti di depan gedung pesta.

Kalaupun mau memotret juga, cukup memotret karangan bunga atau jejeran mobil pengunjung pesta. Namun laki-laki 34 tahun yang hidup dengan gaya pas-pasan itu sepertinya memang sudah ‘mewakafkan dirinya’ untuk kerja jurnalisme sesungguhnya, menjemput data sampai ke sarangnya. Menjalankan tugas sampai tuntas.

Pada titik ini, saya sebagai mantan wartawan--yang bisa merasakan bagaimana harus bekerja siang malam dengan gaji hanya cukup untuk membeli dua gelas kopi dan semangkok mie instan-- sungguh salut dengan integritasnya.

Saya sangat yakin, wartawan sekelas Nurhadi bukan bekerja karena uang. Kepuasannya adalah ketika mendapatkan berita yang akurat. Mengkonfirmasikan data kepada sumbernya, dalam kondisi apapun.

Karena kesetiaannya pada kerja jurnalistik yang luar biasa ini, kemudian saya terpancing untuk mencari tahu tentang sosok Nurhadi ini. Ternyata, dia memang wartawan pemberani.

Tentang dedikasinya terhadap dunia jurnalistik, freepressunlimeted.org, sebuah lembaga internasional yang memperjuangkan kemerdekaan pers dan bermarkas di Amsterdam, menulis dalam sebuah halaman utamanya. For investigative journalists in Indonesia ‘the threats are real’ demikian judulnya. Tulisan itu berkaitan dengan kerja jurnalistik investigatif yang dilakukan Nurhadi yang dipublikasikan Tempo pada 18 Februari 2019 lalu.

Ternyata kawan kita ini memang bernyali orangnya. Gara-gara melakukan liputan investigasi tentang delapan pangkalan militer di Jawa Timur yang digunakan sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, dia dicari tentara.

Menurut penyelidikan Nurhadi, pihak pengelola pangkalan militer tersebut memungut bayaran ‘tidak resmi’ alias pungli atas perusahaan pembuang limbah. Akibatnya penduduk lokal terancam kesehatan juga lahan perkebunan di sekitarnya.

Laporan Nurhadi ini kemudian memicu pihak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Karena laporan itu juga kemudian Nurhadi mulai mengalami teror. Namanya ‘ditandai’ sebagai pewarta berbahaya. Dia dicari-cari bahkan sempat disembunyikan oleh pihak Tempo agar keamanan dia dan keluarganya terjaga.

Namun, dia tak jera. Buktinya dia menghadang lagi kasus sensitif lainnya.

Pada freepressunlimeted.org dia berkata bahwa sepanjang kita hanya memberitakan hal yang umum dan poluler saja itu tak akan ada bahaya.

Namun apa daya, kesetiaan pada kerja jurnalistik seperti yang dilakoni Nurhadi tidak dianggap bernilai di mata penguasa dan kelompok superior. Integritas tak ada nilainya. Jadilah mereka bisa melakukan kekerasan dengan sewenang-wenang.

Apa yang dialami oleh Nurhadi, bukan hal baru dalam dunia jurnalistik, khususnya di Indonesia. Catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), sebagaimana dikutip tirto.id, menyebutkan bahwa kasus kekerasan terhadap wartawan pada tahun 2020 lalu meningkat signifikan.

Pada tahun 2020 terjadi 117 kasus kekerasan. Jumlah itu meningkat 32 persen dibanding tahun 2019 yang berjumlah 99 kasus. Dan pelakunya yang paling banyak adalah pihak keamanan alias aparat. Ini tentu cerminan buruk bagi kemerdekaan pers dan juga bagi kelangsungan demokrasi di negara ini.

Golongan Yang Berbeda

Begitu kasus kekerasan yang dialami Nurhadi muncul di Media, dalam tiga hari ini, memang sudah banyak lembaga dan aktivis yang membela Nurhadi. LBH Pers, AJI, PWI juga Kontras. Demonstrasi menuntut penuntasan kasus penganiayaan ini juga terus berjalan.

Namun, ada sesuatu yang sangat mengganjal perasaan saya, terutama ketika ada sekelompok kawan-kawan yang dulunya juga pernah bertungkus lumus di lapangan mencari dan mengkonfirmasi berita--terutama kawan di Sumatera Barat--justru memandang sinis pada Nurhadi.

Semenjak pemberitaan soal penganiayaan wartawan Tempo ini naik di media sosial, sebanyak yang membela, ternyata tidak sedikit pula yang mencoba menjatuhkan mental si wartawan.

Saya membaca dan mendengar sendiri komentar seperti: Makanya jadi wartawan jangan sok hebat. Orang sedang pesta kok mengkonfirmasi berita. Nggak ngerti etika jurnalistik. Pantas kena gampar.

Berita tidak jauh lebih bernilai dari nyawa dan kebahagiaan keluarga. Dan banyak lagi cercaan yang lebih mirisnya kata-kata serupa itu datang pula dari sesama wartawan, paling tidak mereka yang pernah jadi wartawan lalu menyerah dan melanjutkan karir di tempat lain yang kerjanya bisa santai-santai di akhir minggu.

Walau berbeda kasus, komentar yang senada juga sering saya dengar berkaitan kekerasan pada perempuan. Ketika ada perempuan diperkosa, mengalami kekerasan dan semacamnya maka akan tidak asing terdengar di telinga kita ujaran seperti: Makanya berempuan itu harus berpakaian sopan. Makanya jangan genit, makanya hati-hati dengan laki-laki. Pantas saja diperkosa kalau seksi begitu. Dan sebagainya.

Rasanya komentar-komentar yang menyudutkan seperti itu cukup mengiris perasaan. Walaupun saya juga sudah berhenti ‘sementara’ dari kerja jurnalistik, namun menurut saya tetap tidak tepat kalau menghujat kawan kita Nurhadi dengan cara seperti itu.

Atau memang cara pandang ‘kita’ sudah bergeser, karena kedudukan yang juga sudah tidak sama? Jiwa jurnalis memang bisa luntur karena banyak hal, salah satunya karena bertukarnya majikan dari kemerdekaan nurani pada penghambaan akan yang lain.

Kasus yang dialami Nurhadi berikut komentar miring tentang kecerobohannya sebagai seorang jurnalis membuat saya teringat pada teori memesisnya Plato. Teori ini, secara sederhana, berusaha membingkai tentang sifat diri dan sifat realitas pada manusia.

Plato melihat bahwa didalam diri manusia ada tiga bagian yang kemudian menyaru dalam bentuk tiga kelompok masyarakat. Pertama manusia sebagai makhluk rasional dan superior.

Kedua, manusia sebagai penghamba hawa nafsu, selalu ingin hidup senang dan bahagia, mereka dikategorikan sebagai inferior. Ketiga manusia yang mempunyai jiwa pengabdian dan penghambaan yang tulus.

Ketiga kategori manusia ini kemudian, menurut Plato, terlihat wujudnya dalam bentuk tiga kelas sosial masyarakat. Yang pertama, rasional dan superior, mereka adalah para raja, penguasa, kaum akademisi dan pejabat tinggi. Jumlahnya tidak banyak tetapi mereka superior dan berkuasa penuh, terutama terhadap golongan kedua yang inferior dan suka menghamba demi kesenangan hidupnya.

Golongan inferior ini sangat takut dengan kekuatan superior, mereka adalah orang-orang yang bekerja seolah-olah untuk untuk golongan pertama, namun sebenarnya karena mengejar pemuasan nafsu terhadap kesenangan belaka.

Akibatnya pada kelompok ini, pembicaraan soal memperjuangkan idealisme, setia pada nilai-nilai kebenaran adalah mustahil. Mereka umumnya para ‘penjilat’ dan menurut plato, jika kaum ini diberi kesempatan untuk menulis dan menjadi intelek maka ujaran dan tulisannya bisa menyesatkan.

Berbeda dengan golongan ketiga, yaitu mereka yang sangat patuh dan setia bak prajurit. Golongan ‘prajurit’ ini adalah mereka yang selalu bersemangat dan menjunjung tinggi kehormatan diri.

Nurhadi, kawan kita itu, mungkin bagian dari golongan yang ke tiga ini. Untuk alasan inilah kemudian kita mesti membelanya.

Sementara yang lain itu, entah.

*Penulis adalah Pengelola Ruang Kerja Budaya

Baca Juga

Anggota AJI Padang Bertambah 7 Orang
Anggota AJI Padang Bertambah 7 Orang
AMSI memulai perhelatan tahunan IDC dan AMSI Awards 2023. Tahun ini, kegiatan dilaksanakan di Hotel El Royale, Bandung, Jawa Barat pada 22-23  
Bahas AI Untuk Transformasi Bisnis Berbagai Sektor, AMSI Gelar IDC dan AMSI Awards 2023
Tahanan Polres Pariaman | Remisi untuk Napi
Seorang Tersangka Kasus Korupsi Meninggal di Rutan Padang
2 Jurnalis Asal Sumbar Masuk Nominasi Penerima Anugerah Dewan Pers 2022
2 Jurnalis Asal Sumbar Masuk Nominasi Penerima Anugerah Dewan Pers 2022
Langgam.i - Jika mendengar Hak Tolak, Apa yang terlintas dalam pikiran kita?  Dalam dunia Jurnalistik, kita mengenal istilah Hak Tolak.
Mengenal Hak Tolak Jurnalis dan Aturan Penggunaanya
Langgam.id - Seorang jurnalis media online, Jefrimon menjadi korban pencurian di Padang. Dua unit sepeda motor miliknya hilang digasak maling
2 Unit Sepeda Motor Jurnalis di Padang Digasak Maling