Langgam.id - Berbalut pakaian tradisional Melayu berwarna biru, Tan Sri Dato' Seri Utama Rais bin Yatim, nampak begitu gagah. Usia berbilang 77, Tan Sri masih lincah bergerak ke sana ke mari, pikirannya masih mengalir dengan baik, dan selalu dinanti serta didengar.
Rais Yatim adalah contoh 'gen' Minang yang berhasil di perantauan. Ahli UU Publik ini tercatat sebagai menteri terlama dalam riwayat negara Malaysia. Ia pernah menjadi menteri beragam bidang pada periode 1974 hingga 2013.
Politisi senior Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO) ini juga prototipe orang Minang yang segenap jiwa dan pikirannya terus dicurahkan ke ranah.
Lahir di Jalebu, Negeri Sembilan, 15 April 1942, Tan Sri Rais Yatim adalah rang Palupuah, persisnya Lariang dan Sipisang, masing-masing kampung asal ayah dan ibunya. Orang tuanya merantau ke Malaysia tahun 1930-an.
Meski lahir dan tumbuh besar di Malaysia, nyatanya Rais Yatim cakap berbahasa Minang. Cair dan renyah.
Jadi ingat, bagaimana seorang Rais Yatim berpetatah-petitih sewaktu isteri Perdana Menteri Najib Razak, Datin Seri Rosmah Mansor menerima 'Darjah Kebesaran Kerabat Yang DiPertuan Gadih Minang' di Museum Adityawarman, Padang, tahun 2014."
Saya belajar bahasa Minang sama inyiak dan ayah. Rang Palupuh (Lariang dan Sipisang) di Nagari Nan Tujuh. Ayah saya ke Negeri Sembilan tahun 1930-an samo jo amak," ujar Rais Yatim, disela agendanya sebagai pembicara kunci dalam International Conference on Malaysia - Indonesia Relations dengan tema 'Contributions of Humanities and Social Sciences on the Direction of Malay in the Era of Industry 4.0', di Padang, Kamis (22/8).
Dalam kesempatan itu, Yose dari Langgam.id, mewawancarai eksklusif Tan Sri Dato' Seri Utama Rais bin Yatim soal Minang atau Keminangkabauan. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang melatarbelakangi Tan Sri Rais Yatim peduli pada kampung halaman, Minang?
Setiap nan berlaku ada penyebabnya. Sebab pertama, minat saya dalam asas Melayu, dalam sejarah, budaya, bahasa, menyebabkan saya tertarik memainkan peran secara terus dalam usaha-usaha dan program Melayu dan keminangkabauan. Saya berpendapat, Melayu dan Minangkabau tidak ada sisihnya (bedanya, tidak ada retaknya). Ia satu. Dunia Melayu memang ada punco (akar) penting dari alam Minangkabau. Bahasa Melayu bersumber atau asal usulnya dari Minangkabau. Misal dalam bahasa Melayu ada vocal 'EA', dalam Minang 'A'. Kalau sudah memahami itu, segala yang dikatakan dalam Minang, dipahami orang Melayu. Alam Melayu besar, nusantara luas, maka keminangkabauan sentral. Saya masa kecil diasuh oleh inyiak dan ayah saya, menilai bahasa yang indah, adat nan sako, dan juga latar belakang budi. Maka ambo (saya) membuat keputusan, selagi berjuang meneruskan budaya keminangkabauan, sekaligus budaya Melayu dapat dipengaruhi. Berpijak pada alam takambang jadi guru, makanya saya menuntut bahasa, budaya dan perundangannya. Minat itu dipupuk terus menerus. Dalam penulisan saya aktif memasukkan yang indah tentang Minangkabau. Hingga usia ke 77 ini, saya terus menjaga minat keminangkabauan. Kerja kita mulai kini, bagaimana minat ini ada regenerasinya. Maka saya melihat generasi mendatang terancam kehilangan ikatan dengan budaya dan soal sosial dan bahasa, maka kita ingin perjuangkan kembali meneruskan Pusat Dunia Minangkabau di bawah Unand (Universitas Andalas).
Tan Sri, saya dengar Anda punya gagasan besar soal Minangkabau?
Kami sudah merencanakan buku soal sejarah Minangkabau diberikan tinjauan substantif Praislam. Kebesaran Minangkabau sebenarnya sebelum Islam. Selepas Islam, banyak yang tidak berkembang. Sebelum Islam, orang adat Minangkabau dengan sistem matrilinealnya, tersohor, berdikari, berani, mempunyai alam mistik, dan panca indera tagok (kuat). Saya berpendapat, Islam muncul, pergaduhan berlaku. Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, kemunculannya mematikan sebagian budaya dan adat Minang. Dengan begitu mati dunia mistiknya. Kalau kita pergi ke Lima Kaum, ada Batu Batikam. Apa artinya? Minangkabau sebelum Masehi sudah mempunyai kuasa-kuasa yang sehari-hari hanya dengan alam cakrawala. Rahasia itu sudah putus. Sebab, sebagian ulama kita terlalu menekankan, setiap gaib jangan dipercaya karena syirik. Padahal dalam Alquran dikatakan, yang gaib itu rahasianya di tangan Tuhan. Jadi apabila Imam Bonjol dengan segala kuasa pembaharuannya menenggelamkan adat, terbagi masyarakat Minangkabau dua, yakni pro Paderi dan kontra, sampai sekarang. Bagaimana pun budaya Minangkabau mesti utuh dan diselamatkan. Maka pusat budaya Minangkabau kita usahakan dari segi bahasa, budaya, ekonomi dan sosiopolitik di masa mendatang. Ini penting agar tidak menjadi wacana. Ini corak perjuangan kita di masa depan. Dalam bahasa Minang banyak keindahan, banyak makna, tapi tidak dijadikan perisai. Orang-orang dahulu punya falsafah yang tinggi dan kuat. Kita sekarang sesuaikan dengan Revolusi 4.0. Kita tidak buat itu, maka kita selalu jadi pak turuik.
Kita punya falsafah hidup yang bagus untuk kehidupan. Kita ada local wisdom (kearifan lokal), seperti perumpaan, pantun, peribahasaan. Kita punya falsafah alam yang bagus. Kita harus ikut naluri asas Minangkabau. Kondsi sekarang kita lupa, kita materialistik, sehingga tidak bisa menyesuaikannya. Saya berani katakan, apabila hilang sawah padi, kita tidak ada wujud lagi.
Apa nilai yang tergerus oleh Paderi?
Nan bana itu berdiri sendirinya. Ini amalan sebelum perjanjian 1848. Dikatakan adaik basandi syarak, sarak basandi kitabullah. Kitabullah (Alquran) pemutus. Saya berpendapat pemutusnya Alquran, bukan ulama. Sehingga tidak bisa didiskusikan lagi. Orang takut. Padahal tidak masalah. Alam gaib misalnya, disebut 12 kali dalam Alquran. Itu rahasia Tuhan. Kenapa kita takut, lalu bagaimana orang-orang suluk? Jadi saya berpendapat, harusnya jangan keterlaluan menghukum amalan adat kita yang baik. Doktrin itu diputuskan dalam Perjanjian atau Sumpah Marapalam. Sehingga, kalau diibaratkan, Inggris menghidupkan legenda Robin Hood lagi, sementara kita hilang cerita Cindua Mato.
Buku sejarah Praislam Minangkabau, bagaimana menurut Anda?
Penting untuk ditonjolkan, disoalkan pencapaian hebat saat itu. Sejak Maharaja Diraja datang dalam tambo, Cati Bilang Pandai. Buku ini ditulis empat orang. Saya menunggu manuskripnya. Target akhir tahun ini.
Nah, bagaimana dengan ide Anda soal pembangunan gedung Pusat Dunia Minangkabau?
Pembiayaan gedung kami akan rundingkan. Intinya, jangan dari (pe)rantau saja. Tentu mestinya dari pemerintah juga, lalu perantau, dan mendirikan lembaga khusus (seperti yayasan). Saya berikan kewenangan soal rancangan anggaran ke Unand. Untuk isinya, gambaran nantinya, kita duplikasikan semua dokumen dan arsip soal Minangkabau yang terserak. Sehingga ketika belajar Minang, orang yah ke Padang.
Bagaimana pembelajaran (kurikulum) keminangan yang Anda lihat saat ini?
Saya melihat ada pengajaran berbasis kurikulum (mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau) diketepikan. Menurut saya ini salah. Harus ditentukan apanya yang tidak elok, dan itu yang diperbaiki. Kalau elok diajarkan ke generasi yang baru. Bana berdiri sendirinya. Apa yang benar itu kita ikuti. Perbandingan nilai mesti dibuat. Saya menganjurkan kurikulum menjurus kerukunan, rancak seiya, ini konsensus, kan bagus, mesti dibawa.
Ada pendapat Anda tentang eksistensi badan atau lembaga yang mengurus adat seperti LKAAM, KAN?
Jangan dicampurkan adat dengan politik. Sehingga orang adat menjadi perantara, perkakas. Itu tidak bisa. Sebab orang kita digagaskan menghidupkan adat sistem yang sangat rukun, bahkan itu sejak sebelum Islam sampai. Okelah Islam sampai, mana yang tegores, mana tajam, silahkan katakan. Tapi karena adat indah, tidak terkatakan. Realitas di bawah dibawa nilai, jangan ditolak semuanya, tapi yang penting falsafah alam harus kita pakai.
Kondisi Minang di ranah (kampung halaman) dari kacamata Anda (sebagai perantau)?
Jauh dari adat. Budaya tinggi lah hilang. Misal kata nan empat. Hormat kepada orang tua selain hormat menghormati. Budaya tinggi mau habis. Siapa yang mau memperbaiki? Saya berharap dipusatkan untuk perbaikannya dalam waktu singkat.
Di Malaysia sendiri sebagai rantau Anda, bagaimana?
Di rantau lain. Minang tidak mentabir Malaysia dan Singapura, tak seperti Sumatra Barat. Populasi Minang di Malaysia kita perkirakan ada 500 ribu jiwa, dengan konsentrasi utama di Negeri Sembilan. Negeri Sembilan, aplikasi adat masih jalan. Minang saya misalnya, masih menjurus ke alam 1940-an. Asli. Tidak campur. (Osh)