Oleh: Rezkya Afril
Apa artinya produktif, jika setiap malam kita merasa kosong dan tak terhubung dengan diri sendiri?
Setiap pagi, ketika alarm ponsel berbunyi, tangan saya hampir selalu langsung meraih gawai di samping bantal. Sambungan internet yang menyala semalaman membuat notifikasi berdatangan, mulai dari pesan singkat, pembaruan berita, hingga pengingat target harian. Belum sempat menarik napas panjang atau duduk dengan tenang, saya sudah membuka satu per satu. Hari baru pun dimulai begitu saja.
Segalanya berjalan cepat, otomatis dan nyaris tanpa jeda. Dalam kepadatan itu, ada sesuatu yang pelan-pelan hilang. Tubuh saya bergerak mengikuti rutinitas, tetapi jiwa terasa tertinggal entah di mana. Saya hadir secara fisik, tetapi tidak sepenuhnya hidup dalam momen yang saya jalani.
Ketika malam tiba dan seluruh aktivitas selesai, keheningan sering kali menjadi ruang bagi pertanyaan-pertanyaan yang tak sempat muncul di tengah riuhnya hari. Dalam diam, saya bertanya kepada diri sendiri: apakah saya benar-benar hadir sebagai manusia?
Kita hidup dalam era yang mengagungkan produktivitas. Rutinitas diatur melalui pengingat digital, target harian ditentukan lewat aplikasi, dan pencapaian dipantau melalui papan tugas daring. Semua tampak sistematis dan efisien. Namun, di balik keteraturan itu, muncul kegelisahan yang sulit ditepis. Mengapa banyak orang tetap merasa hampa, meski nyaris setiap jamnya digunakan untuk sesuatu yang "bermanfaat"?
Fenomena ini tidak asing, terutama bagi generasi yang akrab dengan dunia digital. Hari-hari dijalani dalam irama cepat tanpa jeda yang memadai. Pagi dimulai dengan notifikasi, siang diisi rapat atau pertemuan daring, dan malam pun tidak sepenuhnya bebas dari layar. Tubuh terus bergerak, tetapi kesadaran tidak selalu ikut serta. Kita seperti menjalani hidup di atas treadmill: sibuk, tapi tidak ke mana-mana.
Psikologi menyebut kondisi ini sebagai time confetti, yaitu keadaan ketika waktu terpecah menjadi serpihan kecil akibat gangguan digital dan tuntutan multitugas. Kita terus melompat dari satu aktivitas ke aktivitas lain tanpa pernah benar-benar fokus atau hadir sepenuhnya. Akibatnya, bukan hanya kualitas kerja yang terganggu, tetapi juga relasi personal, daya pikir mendalam, bahkan kesehatan mental.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi gangguan emosional seperti kecemasan dan depresi di Indonesia meningkat dari 6 persen pada 2013 menjadi hampir 10 persen pada 2018. Itu pun sebelum pandemi melanda. Dalam situasi pascapandemi yang penuh tekanan sosial dan ekonomi, angka ini sangat mungkin melonjak lebih tinggi meski tidak selalu tampak di permukaan. Laporan World Health Organization (WHO) bahkan menyebut bahwa gangguan kecemasan dan depresi secara global naik lebih dari 25 persen setelah pandemi.
Di saat yang sama, studi dari UCLA menyatakan bahwa kebahagiaan tidak semata soal banyaknya waktu luang, tetapi bagaimana waktu itu digunakan. Membaca tanpa gangguan, mengobrol dengan teman, atau sekadar menikmati kopi tanpa gawai terbukti memberikan rasa keterhubungan yang lebih mendalam ketimbang rutinitas multitugas yang membuat kita seolah "sibuk", padahal kosong secara batin.
Sayangnya, budaya produktivitas sering kali menciptakan tekanan untuk selalu tanggap dan responsif. Waktu jeda dianggap tidak efisien, bahkan dipersepsikan sebagai kemalasan. Orang yang memutuskan untuk tidak segera membalas pesan dianggap lamban atau tidak profesional. Padahal, justru di sanalah letak keseimbangan yang hilang.
Saya pernah mencoba sebuah eksperimen sederhana: keluar sebentar untuk membeli nasi bungkus tanpa membawa ponsel. Awalnya, perasaan waswas segera datang. Bagaimana kalau ada pesan penting? Apakah ponsel saya aman ditinggal? Tapi beberapa menit kemudian, rasa cemas itu mereda, tergantikan oleh hal-hal yang lebih nyata, aroma Nasi Padang yang menggoda, obrolan santai tukang ojek di pinggir jalan, aktivitas orang-orang yang biasanya saya lewati begitu saja.
Kejadian sederhana itu menyadarkan saya bahwa menjadi manusia bukan melulu soal pencapaian, melainkan soal kehadiran. Hadir secara utuh. Sadar akan napas yang dihirup. Menatap langit senja tanpa merasa harus memotretnya. Mendengarkan lawan bicara tanpa tergoda membuka gawai. Menikmati pengalaman tanpa buru-buru menjadikannya unggahan di media sosial.
Sejak saat itu, saya mulai mengevaluasi kebiasaan digital yang selama ini saya anggap wajar. Lalu mencoba membangun dua kebiasaan baru. Pertama, menyediakan waktu lima hingga sepuluh menit setiap hari tanpa gawai, hanya untuk diam dan duduk tenang. Bukan untuk produktif, bukan untuk meditasi terstruktur, hanya untuk membiarkan pikiran bernafas. Kedua, mencatat tiga hal kecil yang saya rasakan hari itu bukan sekadar capaian, melainkan pengalaman yang benar-benar menyentuh kesadaran: tertawa bersama teman, mendengarkan lagu sambil berkendara, atau menikmati sore yang sunyi di tepi pantai.
Selain itu, kita bisa mulai menerapkan prinsip digital minimalism, mengatur notifikasi, membatasi waktu layar, dan memilih aplikasi yang benar-benar mendukung tujuan hidup, bukan sekadar menghabiskan perhatian. Menghidupkan kembali ruang bersama tanpa layar, seperti makan malam tanpa gawai atau berjalan kaki sambil mengobrol, juga bisa menjadi langkah sederhana untuk mengembalikan makna interaksi manusiawi.
Saya tidak sedang menawarkan gaya hidup baru, apalagi mengajak untuk meninggalkan teknologi. Dunia digital sudah menjadi bagian dari hidup kita, dan perannya tak bisa disangkal. Namun, saya ingin mengajak kita semua untuk berhenti sejenak dan bertanya: apakah hari ini kita benar-benar hadir?
Hadir, bukan sekadar hadir di ruang fisik atau daring. Hadir dalam arti menyadari keberadaan kita, merasa terhubung dengan diri sendiri dan sekitar, dan mengalami waktu secara utuh, bukan dalam serpihan kecil yang tercerai-berai.
Mungkin, di tengah dunia yang makin cepat, makin bising, dan makin canggih, pertanyaan paling penting yang bisa kita ajukan setiap hari bukanlah “apa target hari ini?”, melainkan “apa yang sungguh-sungguh saya rasakan hari ini?”
Dan siapa tahu, dengan bertanya itu, kita perlahan bisa kembali menemukan makna yang sempat hilang.
Dalam dunia yang terus bergerak, barangkali yang paling berani adalah diam sejenak dan benar-benar merasa. (*)
Rezkya Afril Mahasiswa Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang