SEJUMLAH fenomena narasi kebencian di media sosial lantaran perbedaan waktu hari raya, menyadarkan kita tentang keragaman dan perbedaan yang ternyata belum diterima secara utuh. Terlepas dari motif maupun pemicunya, satu hal yang faktual bahwa realitas pluralitas dan multikulturalitas sebagai jati diri bangsa belum menjadi kesadaran mendalam, bahkan di sebagian kalangan terpelajar sekalipun. Padahal sudah lebih satu dekade kita dijejali dengan doktrin dan ajaran tentang toleransi, kerukunan, hingga moderasi beragama untuk mematri sikap menghadapi keragaman dan perbedaan sebagai realitas yang taken for granted dalam kehidupan berbangsa bernegara. Hikmah penting yang mesti dipetik bahwa internalisasi nilai-nilai keberagaman harus terus digalakkan. Kedewasaan semua anak bangsa menyikapi keragaman dan perbedaan masih perlu terus diperkokoh. Kita khawatir jika fenomenanya seperti puncak gunung es yang ternyata di tingkat akar rumput jauh lebih besar dan massif.
Indonesia dan Keberagaman
Tidak berlebihan jika almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengidentikkan negeri ini dengan keberagaman. Dalam bahasa Gus Dur, “kalau tidak ada keberagaman, tidak perlu ada Indonesia (Alissa Wahid, 2020). Dengan kata lain, penolakan terhadap realitas keberagaman sama saja mengangkangi eksistensi Indonesia sendiri. Secara historis, jauh-jauh hari para founding father kita sudah menyadari keberagaman sebagai realitas yang tidak bisa diingkari. Penetapan Bhinneka Tunggal Ikasebagaisemboyan, merupakan pilihan dan diksi yang tepat mewakili realitas sekaligus idealitas bangsa. Uniknya, keberagaman di negeri ini hampir terjadi pada setiap aspek. Tidak saja pada dimensi sosio-kultural seperti etnis, budaya, dan bahasa, tetapi juga dimensi teologis yakni agama dan kepercayaan, bahkan beberapa tahun belakangan justru lebih fenomenal dan lebih banyak dipersoalkan ketimbang yang lain. Ini wajar mengingat sifat agama yang urgen, vital, fundamental, sekaligus emosional dan sensitif.
Keberagaman teologis di Indonesia, selain berwujud macam-macam agama dan kepercayaan, juga secara internal dalam entitas sebuah agama sendiri terdapat sejumlah paham, aliran, dan ormas yang beragam dan dinamis. Masing-masing tidak saja memiliki sejumlah perbedaan pemahaman atas teks-teks keagamaan, tetapi satu sama lain juga banyak beririsan pada aspek kesamaan. Bahkan, dalam sebuah ormas pun masih terdapat perbedaan secara individual sehingga menambah kompleksitas dan dinamikanya. Dalam konteks kasus hisab-rukyat penentuan hari raya kemaren misalnya, beberapa pesantren berbasis NU di Jawa Timur berhari raya Jum’at 21 April 2023, karena mendasarkannya pada hisab (suaramerdeka.com/21 April 2023). Begitu pula sebaliknya, tidak menutup kemungkinan ada warga Muhammadiyah secara personal mengikuti metode rukyat. Artinya, mengidentifikasi secara rigid dan ketat ormas keagamaan dengan pemahaman tertentu, apalagi kemudian menghadap-hadapkannya dengan ormas lain, menjadi absurd. Sangat tepat ungkapan petinggi Muhammadiyah Abdul Mu'ti bahwa perbedaan Idul Fitri, bukan antara Muhammadiyah dan NU, tetapi antara umat Islam yang menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal dengan imkanur ru'yah (republika.co.id/19/4/2023).
Hakekat Keberagaman
Realitas keberagaman yang sangat kompleks dan dinamis di negeri ini pada satu sisi menjadi berkah, sekaligus di sisi lain sebagai batu ujian. Keberagaman diyakini sebagai sifat alam semesta yang merupakan wujud sunnatullah atau kehendak Khalik Sang Pencipta. Lantaran keberagamanlah muncul relasi, interaksi, komunikasi, yang pada gilirannya membangun peradaban. Keberagaman juga memicu dan memacu prestasi, kontestasi, dan eksplorasi. Di bidang ilmu pengetahuan, keberagaman teori dan perpsektif telah melahirkan aneka khazanah sain dan pengembangan teknologi yang luar biasa. Dalam konteks hisab-rukyat yang terus diperdebatkan misalnya, keberagaman tersebut telah memunculkan pendalaman keilmuan yang sangat pesat di kedua pihak, baik terkait dengan dunia astronomi maupun teknologi instrumen penjelajahan ruang angkasa.
Namun, di sisi lain keberagaman sekaligus batu ujian mengukur sejauh mana kita mampu tidak menjadikannya pemicu dan pemacu konflik. Egoisme, kepentingan kelompok, merasa paling benar, dan hasrat menghegemoni, harus diletakkan di atas kepentingan bersama dengan prinsip satu sama lain saling memberi ruang untuk eksis, saling menghormati, dan saling menghargai. Dalam konteks inilah urgensitas nilai-nilai toleransi, kerukunan, dan moderasi. Sepanjang perjalanannya yang sudah hampir empat dekade, bangsa ini terbukti berhasil merawat keberagaman dengan segala rintangan dan halangan. Sangat miris tentunya jika ke depan masing-masing kita justru mengedepankan ego sektoral dan mengabaikan keberagaman yang sejatinya tidak bisa ditawar-tawar.
Adalah keliru jika kita komitmen dengan kesatuan, persatuan, kebersamaan, serta mengusung pluralisme, multikulturalisme, toleransi, kerukunan, dan moderasi beragama, namun pada saat yang sama kita tidak bisa menerima perbedaan. Semua jargon itu justru diperlukan ketika kita dihadapkan pada realitas keberagaman. Intinya adalah kesediaan berlapang dada dengan orang lain yang berbeda, serta menempatkannya pada posisi yang sama sejajar dengan kita. Keberagaman harus dimaknai secara positif sebagai anugerah dan ketetapan Tuhan, bukan kehendak manusia. Karenanya, pihak yang berbeda justru dijadikan partner dalam karya-karya kebaikan, bukan sebaliknya sebagai rival yang harus dimarginalkan. Keberagaman bukan penyeragaman, tetapi saling mengakui perbedaan dan eksistensi masing-masing. Mengutip Mukti Ali, mantan Menteri Agama dan Bapak Kerukunan Beragama, bahwa dalam menyikapi keragaman diperlukan sikap agree in disagreement, setuju bahwa kita memang berbeda. Dengan realitas perbedaan itulah jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan justru diperlukan.
Dr. Faisal Zaini Dahlan, MAg adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang