Oleh: Rafki RS
Cukup banyak pihak yang “terkaget-kaget” membaca tulisan “jahil” dari Professor Zulfan Tadjoeddin dari Western Sydney University yang berjudul “Filantropi dan Anatomi Kapitalisme Religius” karena langsung menukik membandingkan antara lembaga filantropi Amerika yang berbuat banyak untuk kemanusiaan sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang dengan lembaga donasi yang saat ini sedang diterpa masalah hukum yaitu ACT dan Kitabisa dotcom. Prof. Zulfan langsung menggali sisi negatif dari tindakan oknum pengurus ACT (tanpa menuliskan sisi positifnya) kemudian membandingkannya dengan sisi positif dari aksi para filantropis barat (juga tanpa menggali sisi negatifnya). Tentu kita bisa memahami tujuan dari Prof. Zulfan dalam hal ini untuk memantik diskusi dan kalau bisa memunculkan pemikiran dan ide baru jika dilakukan dialektika terhadap perbandingan tersebut. Maka tulisan ini berusaha untuk melakukan dialektika tersebut karena dalam tulisan-tulisan sebelumnya Prof. Zulfan terasa belum sampai karena belum memberikan solusi alternatif untuk menekan dampak negatif berupa moral hazard dari kapitalisme religius tersebut.
Ketika berdiskusi secara langsung dengan Prof. Zulfan yang difasilitasi oleh Prof. Syafruddin Karimi yang merupakan admin grup WhatsApp Forum Ekonomi Sumbar (FES), banyak pihak termasuk saya dan Prof. Azmi meminta Prof. Zulfan untuk melanjutkan tulisan tersebut dengan memberikan berbagai alternatif solusi dan ide baru untuk membuat kapitalisme religius yang terlanjur distigma negatif menjadi positif dan bermanfaat bagi manusia Indonesia yang tentu saja berbeda dari negara-negara yang sudah lebih dulu mapan dan maju. Setelah diskusi online kemudian Prof. Zulfan memunculkan tulisan berikutnya yang berjudul: “Ada Apa dengan Kapitalisme Religius (KR)”. Dalam tulisan lanjutannya ini, Prof. Zulfan kemudian berusaha mengemukakan gagasan welfare state yang banyak diterapkan di negara-negara Eropa sebagai alternatif yang lebih baik untuk menekan KR yang berujung pada penyelewengan dana seperti yang dilakukan para oknum di ACT. Prof. Zulfan menyarankan yayasan seperti ACT tidak perlu ada jika negara bisa hadir untuk melayani seluruh kebutuhan dasar masyarakat seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa. Sama seperti filantropis Amerika yang dikemukakan dalam tulisan sebelumnya, ide ini juga terlihat lebih baik karena digali hanya sisi positifnya saja. Sehingga perlu kiranya dibuat tulisan penyeimbang agar muncul keseimbangan dan syukur-syukur muncul ide dan gagasan baru yang lebih cocok diterapkan di Indonesia ketimbang mengadopsi dari negara-negara yang sudah duluan mapan tersebut.
Baca Juga: Ada Apa dengan Kapitalisme Religius (KR)?
Kita mungkin bisa mulai dari aksi filantropi Amerika yang dijadikan pembanding ACT oleh Prof. Zulfan dalam tulisannya. Dari sekian banyak “aksi baiknya” itu tentu filantropi Amerika tidak lepas juga dari kandungan nilai negatif dalam tindakannya. Sudah bukan rahasia umum lagi karena pajak progresifnya, para orang kaya di Amerika berusaha menghindar untuk membayarnya dengan membentuk berbagai macam yayasan, lembaga amal, yang lebih dikenal dengan filantropi. Tentu saja hal ini merupakan moral hazard yang hampir sama seperti apa yang dilakukan oleh oknum pengurus ACT yang santer diberitakan itu. Bayangkan saja, Amerika memajaki para orang kaya ini sampai 80% atau istilahnya top marginal tax rate. Dalam bukunya yang berjudul: “The Triumph of Injustice: How the Rich Dodge Taxes and How to Make Them Pay (2019),” Emmanuel Suarez menerangkan bahwa perpajakan di AS khususnya pajak penghasilan dianggap adil secara konsep. Dimana ketika seorang warga AS memperoleh pertumbuhan penghasilan, nilai pajak yang harus dibayarkan akan bertambah, begitu juga sebaliknya.
Suarez kemudian menghitung rata-rata pajak penghasilan yang harus dibayar oleh warga AS sehingga muncul angka rata-rata 20.000 USD per tahun pada tahun 2019. Jadi tidak ada seharusnya yang membayar pajak nol dolar per tahun. Namun, faktanya berdasarkan laporan investigasi ProPublica, Jeff Bezos, yang pernah jadi orang terkaya sejagad itu ternyata tidak membayar pajak penghasilan sepeser pun dalam rentang tahun 2007 sampai 2011. Juga Elon Musk yang juga masuk jajaran terkaya sejagad itu tidak membayar pajak penghasilan sepeser pun pada tahun 2018. Lalu orang-orang terkaya Amerika lainnya seperti Michael Blomberg pemilik Blomberg sekaligus mantan Walikota New York, begitu juga Carl Icahn, George Soros, Warren Buffet, Bill Gates, Rupert Murdoch, dan Mark Zuckerberg tercatat pernah tidak membayar pajak penghasilan sama sekali. Padahal seharusnya mereka membayarkan 80% dari penghasilannya tersebut sebagai pajak.
Orang-orang terkaya Amerika inilah yang kemudian muncul dengan berbagai macam yayasan filantropinya yang “katanya” ingin membantu orang-orang di seluruh dunia dengan alasan kemanusiaan. Padahal sebelumnya mereka jelas-jelas mengemplang pajak yang seharusnya bisa dibagikan oleh negara untuk orang miskin di AS yang tentu saja ini lebih parah daripada moral hazard yang dilakukan oleh oknum-oknum pengurus ACT yang ada dalam tulisan Prof. Zulfan itu. Sayangnya pengemplangan pajak oleh orang kaya Amerika ini tidak diungkap dalam tulisan tersebut sehingga perlu dijelaskan dalam tulisan ini. Lalu bagaimana mungkin sama-sama memiliki moral hazard yang melatarbelakanginya, kemudian filantropis Amerika ini bisa menjadi lebih baik dari apa yang dilakukan oleh ACT dan oknum di dalamnya? Bukankah secara dampak sosial aksi kemplang pajak yang dilakukan oleh para orang-orang terkaya Amerika itu lebih dahsyat daripada permasalahan gaji 250 juta per bulan dari 2 Triliun uang yang didapatkan oleh ACT? Belum seujung kukunya dampak sosial negatif yang mereka timbulkan jika dibandingkan dengan penggelapan pajak puluhan miliar dolar Amerika yang dilakukan para pemilik yayasan filantropi Amerika tersebut. Belum lagi, lobi-lobi yang terus mereka lakukan di AS untuk bisa menurunkan tarif pajak penghasilan. Dana pajak yang terkumpul di AS pun lebih banyak digunakan untuk militer ketimbang untuk jaminan kesehatan ala BPJS di Indonesia, lagi-lagi karena lobi-lobi para pemilik usaha senjata yang sudah kaya di negara tersebut. Ketika kemudian mereka mendirikan yayasan filantropi apakah mereka kemudian bisa terbebas dari dosa-dosanya itu?
Dipelopori para pebisnis yang memiliki dana melimpah, mereka menghasut kalangan menengah ke bawah untuk mengeliminasi pajak. Mereka menyebut siapapun dapat menjadi seperti Rockefeller untuk kemudian mendorong aksi-aksi demosntrasi hingga lobi-lobi politik untuk mencapai tujuan mereka. Hasilnya, pada masa pemerintahan Ronald Reagen kelompok ini berhasil menekan tarif pajak penghasilan dari 70 persen menjadi 28 persen saja. Apakah ini bukan merupkan moral hazard tapi karena dibungkus dengan tindakan kemanusiaan menjadi tidak kelihatan buruknya? Ini adalah sisi negatif dari para kelompok Kapitalisme "Irreligius" (KI) sebagai pembanding sisi negatif Kapitalisme Religius (KR) dalam tulisan Prof. Zulfan.
Dalam mengkaji segala sesuatu tentu haruslah dikaji kedua-dua sisinya karena segala sesuatu itu diciptakan serba dua untuk menunjukkan realitas yang lainnya. Tanpa malam tentu kita tidak akan tahu adanya siang, tanpa adanya sifat buruk tentu kita tidak akan paham apa itu berbuat baik, dan lain-lain. Dalam filsafat I Ching tentang realitas Tao, Tao sebagai aliran dan perubahan yang terus menerus. Dimana terdapat dua kutub yang membatasi perubahan tersebut yaitu ‘Yin’ dan ‘Yang’ yang senantiasa membentuk keseimbangan dinamis. Sehingga jika hanya dibahas satu sisi saja, sebagaimana dalam tulisan Prof. Zulfan, akan timpang rasanya dan para pembaca tidak mendapatkan gambaran yang utuh dari lukisan yang ingin ditampilkan. Dalam Alquran sendiri telah dinyatakan bahwa: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)” (QS. Az Zariyat: 49). Dalam dunia jurnalistik ada istilah cover both side.
Saya setuju, bahwa merupakan alamiah saja jika mensejalankan antara relijiulitas dengan tindakan mengumpulkan harta (kapitalisme) oleh manusia. Karena manusia memiliki sifat keduanya yaitu menyukai untuk menjadi kaya tapi juga sekaligus juga memiliki sifat rindu akan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam setiap tindakannya dalam hidup. Dalam salah satu Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar R.A menyatakan “Bekerjalah untuk duniamu seakan engkau akan hidup untuk selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati besok pagi.” Ini maknanya menurut saya adalah perlunya keseimbangan dalam hidup kita ini. Termasuk dalam menulis sesuatu yang dipublikasikan ke publik.
Memang bagi sebagian orang akan susah rasanya mencampurkan kedua hal yang bertolak belakang ini. Sifat relijius yang dekat dengan ajaran spritualitas dan biasanya suci dari keinginan duniawi tentunya berbeda dengan sifat suka menumpuk kekayaan (kapitalis) yang materalistik yang selalu mengejar keinginan duniawi. Satu ke Barat satunya lagi menuju ke Timur tentunya akan susah jika mau disatukan dalam satu istilah “Kapitalisme Religius” sehingga banyak yang beraggapan dan menanggapi negatif terhadap Prof. Zulfan akibat terbitnya tulisan tersebut.
Tapi harus kita pahami bersama bahwa Prof. Zulfan berusaha mensintesakan keduanya melalui tesis dan antitesis sebagaimana yang dikemukakan dalam dunia Hegel. Kapitalisme sebagai sebagai tesis dan semangat religius sebagai antitesisnya. Ketika dipadukan, akan memunculkan “Kapitalisme Religius” sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Zulfan dalam tulisannya. Tinggal kita berusaha mencari solusi dan ide pemikiran baru diantara tesis dan antitesis tersebut untuk bisa diterapkan di Indonesia yang memiliki ciri dan karakter berbeda dari negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa.
o0o
Kemudian kita coba masuk ke dalam konsep welfare state sebagaimana yang dikemukakan dalam tulisan lanjutan dari Prof. Zulfan setelah diskusi online FES via zoom meeting, harus dipahami bahwa ada beberapa model dasar dari welfare state tersebut. Ada yang disebut dengan istilah model universal, model korporasi, model residual, dan ada juga model minimal.
Model institutional memandang bahwa kesejahteraan sosial adalah hak seluruh warga negara, sehingga pelayanan dilakukan secara tetap serta tidak memandang kedudukan sosial dan ekonomi masyarakat. Negara yang menerapkan model institutional adalah Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark.
Model Koorporasi adalah model welfare state dengan sistem jaminan sosial yang dilakukan secara melembaga dan luas, tetapi kontribusi terhadap pembagian jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan buruh. Model koorporasi diterapkan di negara Jerman dan Austria.
Model residual menerapkan pelayanan yang selektif dan dipengaruhi paham konservatif dan didorong oleh ideologi pasar bebas. Negara memberi pelayanan sosial berupa pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelompok orang miskin, penganggur, penyandang cacat, dan lansia yang tidak kaya. Model residual memiliki cakupan yang luas, tetapi jumlah pelayanan relatif kecil dan berjangka pendek. Perlindungan sosial dan pelayanan dilakukan secara temporer, diberikan secara ketat, efisien, dan dalam waktu singkat. Negara yang menganut model residual adalah Amerika Serikat, Australia, dan Inggris.
Model minimal ditandai dengan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program jaminan sosial dan kesejahteraan diberikan secara sporadis atau tidak merata, parsial, dan minimal. Umumnya diberikan kepada pegawai negeri, anggota TNI dan POLRI, serta pegawai swasta yang mampu membayar premi. Model residual menggunakan anggaran yang sangat kecil dalam belanja sosial karena negara penganutnya masih tergolong negara miskin atau keinginan (political will) akan pembangunan sosialnya masih rendah. Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut model minimal ini. Dapat dilihat dari landasan dasarnya yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial masih tergolong kecil. Negara lain yang menganut model ini adalah Brazil, Spanyol, Sri Lanka, dan Filipina.
Membaca tulisan beliau tentang welfare state, tentu kita bisa menduga yang diinginkan Prof. Zulfan adalah model welfare state institusional sebagaimana yang diterapkan di Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark. Prof. Zulfan menawarkan hal ini dilakukan juga di Indonesia agar lembaga donasi seperti ACT tidak perlu lagi beroperasi. Namun tentu saja ini akan sulit dijalankan di Indonesia karena APBN Indonesia belumlah mampu secara anggaran untuk menanggung segala beban sosial masyarakat, sebagaimana negara-negara Eropa tersebut yang sudah duluan maju. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, masih ada celah untuk lembaga-lembaga donasi untuk terus bermunculan di Indonesia untuk mengisi celah yang ditinggalkan Institusi Pemerintah di Indonesia tersebut. Indonesia akan tetap menerapkan welfare state model minimal karena adanya keterbasan anggaran pemerintah dan lembaga-lembaga dan yayasan yang mengumpulkan donasi untuk kemanusiaan akan masih terus bermunculan.
Kemudian ketika kita membahasa moral hazard tentunya ini juga sudah menjadi sifat alamiah dari manusia juga. Dimana orang yang tidak kuat imannya tentu saja akan selalu digoda oleh aset orang lain yang dikumpulkannya apalagi jika sistem pengawasannya sangat lemah yang memunculkan kesempatan untuk melakukan penyelewengan. Penyelewengan ini termasuk juga terjadi di insitusi-insitusi pemerintahan yang kita kenal dengan istilah korupsi oleh pejabat negara.
Ketika korupsi terjadi di berbagai kementerian di Indonesia ataupun oleh kepala daerah, apakah lembaganya langsung dibubarkan? Tentu tidak demikian adanya. Ketika terjadi korupsi tentu oknum-oknumnya ini yang “diambil” dan institusinya dibiarkan berjalan seperti biasanya. Begitu juga seharusnya yang terjadi pada lembaga seperti ACT. Ketika oknumnya melakukan penyelewengan dana untuk kepentingan pribadi maka mereka harus “dibersihkan” dan menerima ganjaran, tapi ACT-nya tetap bisa berjalan dengan semua aksi sosialnya yang manfaatnya telah diakui menimbulkan dampak sosial positif yang lumayan masif dan luas. Tidak adil rasanya ada tuntutan membubarkan ACT hanya karena ulah segelintir oknumnya yang melakukan penyelewengan.
Dari adanya kejadian ACT dan beberapa lembaga donasi lainnya yang cenderung memberi kesempatan penyelewengan dana masyarakat, tentu pemerintah ataupun masyarakat serta lembaga keagamaan yang ada bisa merumuskan sistem yang kuat untuk meminimalisir kebocoran. Walaupun untuk menihilkan penyelewengan itu merupakan sesuatu yang mustahil, tapi kita bisa berusaha mencegahnya, ataupun mendeteksinya secara dini, agar dampak negatifnya tidak begitu luas dan merugikan. Mungkin bisa dimulai dengan memperbaiki Undang-Undang Yayasan yang sudah relatif tua tersebut. Hal ini menjadi bagian solusi dari tulisan ini dan tulisan Prof. Zulfan yang dibahas sebelumnya.
Tapi saya tentu tidak berani menawarkan solusi terhadap tulisan beliau sebelumnya, karena tentu beliaulah yang lebih paham kemana arah tulisan tersebut sebenarnya. Saya dan para pembaca lainnya masih mengharapkan lanjutan dari tulisan tersebut yang melahirkan solusi dari sintesis yang dilakukan yang cocok dengan kondisi Indonesia. Bukan membawa solusi filantropi Amerika yang juga cacat secara moral, serta welfare state model institusional Eropa ke Indonesia, yang tentu saja tidak akan bisa cocok jika diaplikasikan di negara kita.
Saya yakin Prof. Zulfan memiliki solusi cerdas yang mungkin masih beliau simpan sebagai tulisan pamungkas nantinya, untuk membuat Indonesia lebih baik lagi dalam mengelola dana masyarakat ke depannya. Karena beliau merupakan dosen dari Universitas ternama di Australia yang sudah diakui kepakarannya. Sementara saya hanyalah seorang mahasiswa yang saat ini sedang berjuang untuk lolos mendapatkan publikasi ilmiah pada jurnal terindeks Scopus minimal Q3 sebagai syarat menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Andalas. Eh… ternyata untuk bisa terbit relatif cepat di jurnal terindeks Scopus, kita mahasiswa harus menyiapkan dana puluhan juta untuk kepentingan Article Publication Charge (APC). Sehingga kemudian saya berfikir ini juga merupakan “kapitalisme” di dunia akademik yang dilakukan oleh para jaringan publisher internasional. Sayangnya praktek ini didukung institusi perguruan tinggi di Indonesia dengan mempersyaratkan artikel wajib terbit di jurnal internasional terindeks Scopus minimal Q3, untuk bisa ikut ujian doktor di perguruan tinggi di Indonesia. Seharusnya perguruan tinggi di Indonesia jangan mau didikte oleh jaringan publisher jurnal internasional ini. Tapi apa mau dikata hal ini masih terus berjalan di seluruh Indonesia. Apakah Prof. Zulfan akan membuat tulisan juga nantinya yang berjudul “Kapitalisme Akademik (KA)”? Mudah-mudahan saja. (*)
Batam, 31 Juli 2022
Rafki RS
Mahasiswa Program Doktor
Fakultas Ekonomi - Universitas Andalas