Jurnal Internasional dan Kampus Non-Literat

Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi

Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi. (IST)

Sekarang ini sedang gencar-gencarnya jurnal-jurnal ilmiah di kampus-kampus di Indonesia menginggriskan diri. Ialah logis belaka jurnal-jurnal yang tercatat atau mencatatkan diri sebagai jurnal internasional melakukan itu. Tetapi anehnya, jurnal-jurnal yang bukan jurnal internasional pun juga ramai-ramai melakukannya. Ada apakah gerangan?

Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan:

Pertama, memperkenalkan potensi penelitian di Indonesia kepada dunia internasional. "Hanya karena hasil-hasil riset kita tidak dipublis dalam bahasa dunia maka seolah-olah riset-riset kita jauh tertinggal. Padahal kalau ditimbang-timbang, beberapa riset juga tidak kalah kualitasnya," begitulah kira-kira kata seorang mentor dari Jakarta yang mengisi sebuah workshop pelatihan untuk pengelola jurnal.

Kedua, dengan dikenal di dunia internasional, otomatik juga akan meningkatkan kerjasama penelitian internasional. Sebab para periset-periset asing maupun lembaga-lembaga riset yang memayungi mereka akan melihat kepada karya-karya riset jika ingin menjalir kerjasama, terutama dalam topik dan tema yang sama. Jika mereka, orang-orang dunia internasional itu, tidak dapat mengakses hasil riset kita karena menggunakan bahasa Indonesia, bagaimana mungkin akan ada jalan untuk kerjasama dengan mereka?

Ketiga, menjaga hak cipta publikasi tetap ada di Indonesia. Memang ada juga riset-riset yang dalam tingkat lokal telah dilakukan, tetapi karena tidak terpublikasikan secara luas, peneliti internasional yang akan melakukan penelitian pada topik yang serupa akan alpa meninjaunya. Saya beberapa kali juga pernah baca buku hasil penelitian sarjana-sarjana asing, yang tinjauan bibliografisnya seringkali mengabaikan karya-karya lokal sehingga menganggap kerja riset mereka mengandung kebaruan saja padahal telah ada studi-studi perintis dari peneliti Indonesia sendiri.

Keempat, meningkatkan akses bagi masyarakat luas untuk mengadopsi dan menerapkan hasil penelitian di lapangan. Jadi, jika sudah begitu maka terciptalah masyarakat ilmiah yang segala tindakan, pikiran, dan sikapnya berbasis kepada hasil penelitian yang terpublikasi dan terjamin tingkat keilmiahannya.

Ada banyak alasan lain yang lebih teknis-prakmatis, semisal a) dengan menjadikannya berbahasa Inggris, akan lebih mudah untuk meningkatkan Sinta, lebih dekat lagi menuju Scopus; b) eits, jangan salah-salah, dengan menjadikannya berbahasa Inggris, prestise suatu jurnal akan terpandang di mata kalayak akademis, lalu prestise kampusnya juga bakalan ikut naik toh.

Baiklah, Pak Mentor. Mau tidak mau, saya mengangguk-angguk juga. Benar juga sih. Tetapi setelah agak lama, saya tercenung-cenung juga. Terbersit juga tanya dalam pikiran:

Masyarakat luas yang dimaksud pada poin empat di atas tentu saja masyarakat dunia, dan sayangnya bukannya masyarakat bangsa kita sendiri. Jika yang dimaksud masyarakat kita sendiri, yang terjadi ialah kebalikannya: dengan berbahasa Inggris maka semakin sulitlah bangsa kita mengakses hasil-hasil riset itu. Jadi, terasa ironi juga, jika riset-riset yang dilakukan periset kita (kebanyakan dibiayai dari dana negara) tapi tidak diperuntukkan bagi kalayak pembaca bangsa kita sendiri. Menyediakan bacaan berlimpah bagi orang kalayak dunia yang bernama masyarakat global di mana bahasa Inggris ialah bahasa pengantarnya? Hendak memberi penyadaran bagi orang lain di dunia sementara membiarkan bangsanya sendiri diliput kebingungan karena kerendahan literasinya?

Lalu apakah ada jalan keluar atas paradoks semacam itu?

Pertama, orang-orang telah lama tidak percaya kepada kalangan akademisi. Tidak saja di Indonesia yang terbelakang, tetapi juga bahkan di negara maju semacam Amerika. The Dead Exercise mengambarkan tentang tabiat literat masyarakat Amerika belum lama ini. Karya itu menohok karena berisi kritik pedas kepada para politisi anti-pengetahuan yang menempatkan para akademisi jadi 'sampah' tak berarti terutama di masa rezim Trump, tetapi ia juga semacam autokritik yang pedih bagi kalangan akademisi sendiri.

Salah satu penyebab degradasi akademisi itu ialah karena diri mereka sendiri. Ketidakmampuan mereka mengkomunikasikan pengetahuan secara baik kepada kalayak luas salah satu di antaranya. Hasil-hasil riset mereka tidak terkomunikasikan dengan baik kepada kalangan awam/umum/publik. Para akademisi sibuk pindah dari satu simposium ke simposium lain, dari ruang seminar ke ruang seminar lain, tetapi luma pada kalayak banyak. Beruntung sekarang, webinar-webinar relatif terbuka untuk diakses segala kalangan. Tetapi itu tidak mengurangi betapa tinggi posisi, terpisah, dan tidak terpahaminya para akademisi itu di tengah masyarakat luas.

Lalu, sekarang, mereka mengharapkan artikel-artikel mereka dipublish di jurnal-jurnal terkenal dan internasional. Tapi siapa yang akan membaca mereka? Ada segelintir orang yang memang menyengaja untuk itu, para peminat yang sama yang jumlahnya sangat terbatas. Para siswa dan mahasiswa ialah dari kalangan yang sedikit lebih banyak yang diharapkan akan mengakses, tetapi ketika jurnal-jurnal itu dipublish dalam bahasa Inggris, angka pengakses dan pembaca dari kalangan itu juga akan semakin lebih anjlok lagi. Lalu untuk apakah akademisi-akademisi maha agung itu meneliti dan meriset jika bukan untuk memuaskan kehausan literasi bangsanya sendiri?

Bolehlah mereka mempublikasikan hasil penelitian mereka di jurnal-jurnal ilmiah berbahasa Inggris, tetapi agar dapat diserap kalayak yang lebih luas tentu perlu juga mereka mempublikasikannya dalam media yang dapat diakses kalangan awam atau masyarakat banyak. Tentu saja hasil-hasil penelitian itu telah diubah menjadi tulisan-tulisan populer dalam bentuk buku maupun (dan terutama) artikel-artikel populer di media massa. Dengan begitu, keberartian hasil-hasil riset itu menjangkau kepada masyarakat yang lebih luas dan efek penyadarannya tidak terbatas di kalangan tertentu saja.

Kedua, jurnal-jurnal itu silahkanlah kalau mau mengumumkan artikel yang dimuatnya dalam bahasa Inggris dengan segala keuntungan yang telah disebutkan di atas, tetapi ingat juga sumbangsih yang harus diberikan bagi pembangunan literasi bangsanya sendiri. Maka, jurnal-jurnal itu sudah sebaiknya bersifat dwibahasa, baik bagi jurnal yang memang sudah berstatus internasional maupun yang masih berstatus jurnal nasional.

Tapi, sebelum lebih jauh melanjutkan, ngemeng-ngemeng, seberapa banyak sih yang membaca hasil penelitian dari para akademisi dan periset dari kampus-kampus di negera yang tak pernah serius kepada pengetahuan?

Bukittinggi, Mei 2022.

Baca Juga

Universitas Andalas (Unand) dan Universitas Negeri Padang (UNP) masuk 10 kampus terbaik di Sumatra versi Webometrics 2024.
Berikut 10 Kampus Terbaik di Sumatra Versi Webometrics 2024, Dua Ada di Sumbar
Dua perguruan tinggi negeri di Sumatra Barat (Sumbar) masuk dalam 20 besar dengan jumlah pendaftar terbanyak UTBK SNBT 2023. Yaitu,
2 PTN di Sumbar Masuk 20 Besar dengan Pendaftar Terbanyak di SNBT 2023
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas
Program IISMA, Unand Lepas 7 Mahasiswa Belajar ke Eropa dan Australia
Program IISMA, Unand Lepas 7 Mahasiswa Belajar ke Eropa dan Australia
Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Masa pendaftaran UTBK-SBMPTN 2022 diperpanjang hingga 16 April.
Masa Pendaftaran UTBK-SBMPTN 2022 Diperpanjang hingga 16 April
Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Sebanyak 172.971 siswa mengikuti proses Seleksi Prestasi Akademik Nasional (SPAN) PTKIN 2022.
172.971 Siswa Daftar PTKIN 2022 Jalur Prestasi Akademik, Pengumuman Kelulusan 15 April