Jejak orang-orang Minangkabau ditemukan di daerah Kedaluan di kecamatan Kuwus dan Kuwus Barat, Kabupaten Manggai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat ini, empat desa di kecamatan tersebut diyakini melestarikan bukti historis dari kedatangan orang-orang Minangkabau ke Kedaluan ribuan tahun yang lalu. Kedaluan sendiri berarti yurisdiksi dalu (Raja Muda).
Keempat desa, atau beo sebagaimana penduduk desa menyebutnya, adalah Beo Teno di mana jejak orang Minangkabau bernama Pesau ditemukan; Lembah Kolang di mana kuburan Pesau ditemukan; Beo Ndaung di mana sampan yang sudah mengeras atau memfosil; dan Beo Runa di mana ditemukan situs jejak kaki laki-laki dan perempuan asal Minangkabau yang diukir di batu besar.
Namun, kisah-kisah asal-usul orang Kolang hanya diwariskan secara lisan. Beberapa percaya bahwa leluhur mereka berasal dari Minangkabau, tetapi yang lain percaya bahwa leluhur orang-orang Kolang berasal dari India, karena beberapa ukiran tua di batu-batu besar diyakini menggambarkan peta India.
Mereka yang ingin tahu tentang situs arkeologi di Beo Runa dapat mencapai desa ini dari Wajur di kecamatan Kuwus Barat, sekitar 5 kilometer dari desa dengan sepeda motor. Namun, bagian jalan berbatu dan bergelombang sering kali memaksa pelancong untuk turun dari sepeda motor dan memanjat jalan berbukit menuju desa. Banyak bagian jalan di Kolaluan Kolang belum diaspal.
Penjaga situs wisata Beo Runa, Hubertus Dantol mengatakan Runa adalah desa tertua di Kedaluan Kolang, yang terletak sejajar dengan Pantai Nangalili di pantai selatan Kabupaten Manggarai Barat.
Dantol mengatakan ribuan tahun yang lalu, air laut dari Nangalili memasuki Lembah Kolang dan mencapai desa Runa. Sementara itu, pasangan Minangkabau kebetulan berlayar di daerah itu dalam perjalanan ke desa kuno/pusat perdagangan Warloka melalui Nangalili. Pasangan tersebut yangberada di sampan mereka hanyut ke desa Runa, dan tinggal untuk malam itu. Namun, keesokan paginya air laut telah mereda, sehingga pasangan itu tidak dapat melanjutkan perjalanan mereka, dan memutuskan untuk tinggal di Runa.
Dikenal sebagai Sangkil Magil dan Solem Botek Letem Lana, pasangan ini disebut-sebut sebagai leluhur masyarakat Runa. Mereka adalah orang-orang yang mengukir jejak kaki di atas batu besar bersama dengan ukiran lainnya, termasuk alat kelamin pria dan wanita, peta dan sebuah bangunan yang menyerupai rumah adat Minangkabau.
Setidaknya enam situs, menurut Dantol, diyakini sebagai jejak orang Minang. Situs-situs tersebut ditandai dengan tumpukan batuan globular (Watu Mbollong), batu-batu seperti altar (Compang Runa), batu yang memiliki prasasti atau gambar, dan gua yang dalam bernama Liang Segha Dewa.
Dantol menjelaskan, tahun 1971, Ande Batul, Pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, perwakilan Kecamatan Kuwus mengunjungi situs-situs ini. Saat itu, semua situs dikunjungi. Pesannya saat itu adalah Beo, kampung Runa adalah Beo, kampung bersejarah di Manggarai Raya karena ada bukti sejarah berupa tulisan dan gambar di bebatuan besar di sekitar kampung tersebut.
Banyak orang luar menyebut bahwa peta di bebatuan besar itu adalah peta Negara India. Belum ada arkeolog dan peneliti dari luar Manggarai Raya yang melakukan penelitian tentang situs-situs ini. Karenanya, Dantol menyatakan harapannya agar situs-situs tersebut diteliti oleh para arkeolog. UNESCO menjadikan kawasan ini sebagai konservasi warisan budaya Asia Pasifik.
Masyarakat adat yang menempati daerah itu disebut Wae Rebo. Mayoritas masyarakat Wae Rebo adalah penganut Katolik. Sebelumnya, perlawanan masyarakat terhadap agama Katolik sangat gencar melihat fakta bahwa budaya Flores mati setelah banyak yang menganut Katolik. Setelah berabad-abad misi Eropa, masyarakat akhirnya menerima Katolik setelah menerima petunjuk dari roh leluhur mereka untuk mempraktikkan Katolk di samping tradisi leluhur.
Pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda mencoba melarang penduduk asli menjalani tradisi primitif mereka di Wae Rebo. Susahnya akses menyulitkan pemerintah colonial untuk mengendalikan daerah tersebut. Tetapi orang-orang Wae Rebo lebih setia kepada leluhur mereka daripada kepada pemerintah Belanda. Sekilas, Wae Rebo tampaknya relative kebal dari kekuatan homogenisasi Indonesia modern dan globalisasi.
Pria desa dengan bangga mengenakan tekstil ikat bergaya Manggarai dan hiasan kepala batik karena mereka cenderung kepada aktivitas perkebunan dan peternakan, atau mengumpulkan bahan di hutan. Wanita mengajar anak-anak kearifan lokal dalam bahasa Manggarai, memasak di atas kayu bakar dan menenun pakaian untuk keluarga.
Namun demikian, orang-orang Wae Rebo relatif berpendidikan dan mengetahui tentang dunia luar karena desa kembaran Wae Rebo, yakni Kombo, berada di dataran rendah. Hampir semua penduduk Wae Rebo memiliki rumah di Kombo, dan sebaliknya.
Di Kombo ada sekolah dasar untuk anak-anak Wae Rebo dan sekolah menengah di Dintor dengan asramanya. Orang tua mengunjungi anak-anak mereka pada hari Sabtu dan menghadiri misa di sana pada hari Minggu. Setelah menjual kopi dan cengkeh di pasar dataran rendah pada hari Senin dan berbelanja untuk kebutuhan mereka, mereka kembali ke Wae Rebo selama seminggu.
Ini seperti hidup di dua dunia; dunia semi-modern di Kombo, dan dunia primitif di Wae Rebo. Di Kombo orang memakai celana pendek, tetapi setiap kali pulang ke Wae Rebo, mereka mengenakan pakaian tradisional. Itu terjadi secara otomatis.
*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas