Langgam.id - Hadirnya Masjid Rao Rao bukanlah masjid pertama di Jorong Rao Rao, Nagari Rao Rao, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar). Masjid dengan akulturasi arsitektur 5 budaya itu merupakan pengganti Masjid Usang yang letaknya jauh dari perkampungan.
Didirikan di atas tanah seluas 20x20 meter atau 400 meter persegi dengan luas bangunan 16x16 meter atau 256 meter persegi, Masjid Rao Rao hadir sebagai semangat baru bagi masyarakat untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Pembangunan fasilitas umum di tengah masyarakat pada umumnya akan melewati proses panjang. Hal tersebut diawali dengan musyawarah terkait pendirian hingga akhirnya memutuskan dimana dan kapan fasilitas tersebut akan dibangun. Proses demikian juga tidak luput dalam pembangunan Masjid Rao Rao yang saat ini berada di Nagari Rao Rao, Kecamatan Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar, Sumbar.
Karena posisi pertama di daerah itu yang dikenal dengan nama Masjid Usang jauh dari perkampungan, sehingga mendorong masyarakat untuk membangun masjid baru.
Abdurrahman Datuak Maharajo Indo merupakan salah satu tokoh masyarakat yang ikut terlibat dalam perencanaan mendirikan masjid baru. Merujuk pada letak Masjid Usang yang jauh dari pemukiman, maka diusulkan untuk membangun masjid baru di Tobek Sikobua, dekat dengan pusat nagari.
Setelah disepakati, sebuah masjid masjid baru pun siap untuk dibangun pada tanah kepunyaan masyarakat setempat. Haji Muhammad Thaib, Haji Adam, Siti Reno Lila adalah 3 masyarakat yang bersedia memberikan tanahnya untuk pembangunan masjid. Ketiga orang tersebut merupakan anak kemenakan dari Datuak Malingka dari suku Chaniago Kampuang Dalam.
Sebagai sebuah sarana peribadatan yang akan dimanfaatkan bersama, maka masjid ini pun dibangun dengan gotong-royong. Masyarakat yang ikut terlibat dalam pembangunan itu merupakan anak kemenakan yang berasal dari 4 suku dominan di daerah itu, yaitu Patapang Koto Anyia, Bendang Mandahiliang, Bodi Chaniago dan Koto Piliang.
Partisipasi dalam pembangunan masjid itu tidak hanya melibatkan masyarakat sekitaran Rao Rao. Selain sumbangan berupa uang yang dikumpulkan di kampung, perantau Rao Rao yang berada di beberapa daerah juga turut serta.
20 September 1917, sebuah surat kesepakatan ditandatangani oleh pemuka adat dan nagari yang ada di Rao Rao. Surat tersebut berisi kesepakatan seluruh unsur nagari tentang pembangunan dan penggunaan masjid.
Surat tersebut tidak hanya ditandatangani oleh Abdurrahman Datuak Maharajo Indo yang menjabat sebagai Penghulu Kepala Rao Rao dari suku Koto Piliang. Di samping nama dan tanda tangannya terdapat pula nama Kajo Inan Parmato Lelo yang saat itu menjabat sebagai sebagai Lareh Rao Rao.
Selain 2 tokoh ini, masih ada beberapa orang lain yang ikut terlibat. Beberapa di antaranya adalah penghulu dari 4 suku yang ada di Nagari Rao Rao. Kemudian terdapat Imam Adat dan Imam Jum’at, Bilal Adat, dan Bilal Jum’at. Selanjutnya Khatib Adat, Manti Adat, Kadi Nagari dan Hakim Lumbuang.
12 penghulu yang terlibat ialah Datuak Djadjati sebagai Penghulu Suku Patapang Kutianyia, Datuak Bagindo Saramo Penghulu sebagai Suku Bendang Mandahiliang, Datuak Parmato Alam sebagai Penghulu Suku Patapang Kutianyia, Datuak Parmato Alam Nan Tuo sebagai Penghulu Suku Patapang Kutianyia, Datuak Marajo sebagai Penghulu Suku Koto Piliang, Datuak Marah Panghulu sebagai Penghulu Suku Bodi Chaniago.
Selanjutnya Datuak Laksmana sebagai Penghulu Suku Bendang Mandahiliang, Datuak Sahi sebagai Penghulu Suku Patapang Kutianyia, Datuak Marajo Besar sebagai Penghulu Suku Patapang Kutianyia, Datuak Sari Pado sebagai Penghulu Suku Patapang Kutianyia, Datuak Sinaro Sati sebagai Penghulu Suku Bodi Chaniago, Datuak Malano sebagai Penghulu Suku Bodi Chaniago.
Sementara 15 orang lainnya adalah Haji Ismail sebagai Imam Adat Chaniago, satu orang Imam Jum’at Kutianyia, satu orang Imam Jumat Piliang, Haji Ja’far sebagai Imam Jum’at Mandahiliang, seorang Bilal Adat Piliang Khatib Adat Mandahiliang dan Khatib Batuah sebagai Khatib Adat Chaniago.
Seterusnya masih ada Pakiah Mak Iah sebagai Bilal Jum’at Piliang, Ahmad Angku Mudo sebagai Kadi Nagari, Haji Marzuki sebagai Bilal Adat Chaniago, Manti Rajo sebagai Manti Adat Piliang, Rajo Tan Mangkuto sebagai Manti Adat Mandahiliang, Pakiah Ahmad sebagai Bilal Jum’at Chaniago serta 2 orang Hakim Lumbuang.
Barangkali akan muncul pertanyaan tentang surat yang disepakati pada tahun 1917 tersebut, sementara masjid didirikan pada tahun 1908. Pembuatan surat kesepakatan ini kuat dugaan berkaitan dengan pemanfaatan masjid setelah proses pembangunan yang terbilang memakan waktu yang relatif panjang.
Hal tersebut merujuk pada bentuk arsitektur bangunan Masjid Rao Rao yang sama sekali berbeda dengan masjid kuno yang dibangun sebelumnya. Apabila masjid-masjid kuno di Minangkabau pada umumnya dibangun dengan kayu sebagai meterial dasar, maka pada Masjid Rao-Rao kayu hanya digunakan sebagai material tambahan. Sebab material utama bangunan masjid ini sudah menggunakan semen.
Penggunaan material semen atau beton pada bangunan di Minangkabau mulai marak dimulai sejak pertengahan abad ke-19 hingga setelahnya. Untuk bangunan masjid, pada umumnya masjid yang didirikan sejak awal abad ke-20 sudah mulai menggunakan bahan semen, salah satu di antara masjid-masjid itu adalah Masjid Rao-Rao.
Perubahan material inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang membuat pembangunan ini berlangsung lama. Ditambah juga dengan pembangunan masjid yang dimodali dengan hasil swadaya masyarakat dan perantau.
Foto masjid Rao Rao pernah dimuat dalam Pandji Poestaka, No. 8 Tahoen II yang terbit pada 21 Februari 1924. Foto tersebut memiliki keterangan “Mesdjid Rao-Rao, Onderafdeeling Batoesangkar (Soematera Barat)". Selain itu, informasi lain yang ikut menyertai foto tersebut adalah "Ongkos memboeat mesdjid itoe lebih dari f40.000, jaitoe oeang joeran Moeslimin di Rao-rao”
Kondisi masjid yang berada pada foto tersebut tidak berbeda jauh dengan kondisi masjid di masa sekarang. Arsitektur saat ini masih sama dengan saat masjid baru selesai dibangun. Hanya saja, beberapa ornamen pada bagian atap gabel di bagian depan masjid saat ini sudah tidak dapat ditemukan lagi.
Keberadaan Masjid Rao Rao yang dibangun dengan konstruksi yang megah pada awal abad ke-20 itu masih dapat disaksikan hingga masa sekarang. hal itu tentu tidak terlepas dari keberadaan orang-orang yang terlibat dalam pembangunan masjid. Sebagai fasilitas peribadatan masyarakat di dalam nagari, pembangunan Masjid Rao Rao kemudian melibatkan seluruh elemen masyarakat dari tahap persiapan hingga pemanfaatan. (Syahrul Rahmat/ZE)