IDUL Fitri, atau yang juga dikenal sebagai Hari Raya Lebaran, adalah salah satu perayaan penting dalam agama Islam yang dirayakan setelah bulan Ramadhan sebagai bulan puasa. Idul Fitri memiliki makna yang sangat dalam bagi umat Muslim, karena selain sebagai momen untuk merayakan berakhirnya bulan puasa, juga sebagai waktu untuk saling memaafkan, mempererat hubungan sosial, dan menunjukkan kasih sayang kepada sesama manusia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri menjadi tren yang semakin marak terjadi.
Fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri dapat dilihat dalam berbagai aspek. Mulai dari memamerkan baju baru, makanan lezat, hiasan rumah yang mewah, hingga liburan atau perjalanan keluar negeri. Media sosial dipenuhi dengan foto-foto dan cerita-cerita tentang bagaimana seseorang merayakan Idul Fitri dengan cara yang glamor, mewah, dan mengesankan. Terkadang, dalam upaya untuk memamerkan diri, beberapa orang bahkan terlibat dalam kompetisi sosial untuk menunjukkan siapa yang memiliki pakaian terbaru, hiasan rumah terbaik, atau liburan paling mewah.
Fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri dapat menjadi kontroversial karena melibatkan banyak aspek yang harus diperhatikan. Pertama, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri dapat menciptakan tekanan sosial bagi orang yang merasa harus memamerkan diri atau hidup mereka di media sosial. Terkadang, seseorang merasa perlu untuk menunjukkan kesuksesan, kemewahan, atau popularitas mereka kepada orang lain melalui media sosial sebagai bentuk pengakuan atau validasi sosial. Hal ini dapat menciptakan tekanan yang berlebihan, karena seseorang merasa harus terus berusaha untuk tampil sempurna, menarik, atau sukses di media sosial, tanpa memperhatikan dampak negatifnya terhadap kesehatan mental dan emosional.
Kedua, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri dapat merusak nilai-nilai spiritual dan sosial dari perayaan Idul Fitri itu sendiri. Idul Fitri seharusnya menjadi waktu yang diisi dengan kegiatan yang bernilai spiritual, seperti shalat Id, berdoa, berdzikir, dan saling memaafkan. Namun, ketika perayaan Idul Fitri diubah menjadi ajang untuk memamerkan diri, fokus dari makna sejati dari perayaan tersebut menjadi teralihkan. Penekanan diberikan pada penampilan luar dan materi, sedangkan nilai-nilai seperti pengampunan, kerukunan, dan kasih sayang seringkali terabaikan. Ini dapat mengubah esensi dari perayaan Idul Fitri, dari momen spiritual dan sosial menjadi ajang pamer di media sosial yang bersifat sekuler.
Ketiga, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri dapat memperkuat kesenjangan sosial dan memicu persepsi yang tidak sehat tentang status sosial. Dalam masyarakat yang masih menganut nilai-nilai materialistik, tampilan di media sosial saat Idul Fitri bisa menjadi ukuran prestise atau status sosial seseorang. Orang yang mampu memamerkan kemewahan atau gaya hidup yang terlihat glamor di media sosial dianggap lebih sukses, lebih kaya, atau lebih terhormat. Sebaliknya, mereka yang tidak bisa memamerkan hal-hal tersebut bisa merasa minder, terpinggirkan, atau kurang dihargai dalam lingkup sosial mereka. Hal ini dapat memperkuat kesenjangan sosial dan meningkatkan tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang tidak sehat.
Fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri juga dapat menimbulkan efek negatif pada kesehatan mental dan emosional seseorang. Ketika seseorang terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial, terutama saat melihat postingan yang memamerkan kehidupan mewah atau glamor, bisa memicu perasaan cemburu, iri, atau tidak puas dengan hidup mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa menyebabkan rendahnya harga diri, kecemasan sosial, atau bahkan depresi. Selain itu, ketergantungan pada pengakuan atau validasi sosial melalui media sosial juga bisa mengganggu kesehatan mental dan emosional, karena seseorang menjadi sangat bergantung pada respons dan apresiasi dari orang lain di dunia maya.
Tidak hanya itu, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri juga dapat membentuk budaya konsumsi yang berlebihan dan tidak berkelanjutan. Masyarakat sering kali terjebak dalam siklus belanja berlebihan untuk memenuhi tuntutan penampilan di media sosial. Mulai dari membeli baju baru yang mewah, pergi berlibur ke tempat-tempat eksotis, hingga menghias rumah dengan dekorasi yang mahal, semuanya dilakukan untuk tampil sempurna di media sosial. Konsumsi yang berlebihan ini tidak hanya berdampak negatif pada lingkungan, misalnya penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan peningkatan limbah, tetapi juga dapat memperkuat budaya konsumerisme yang tidak berkelanjutan dan mengabaikan nilai-nilai keberagaman, kesederhanaan, dan keberlanjutan.
Selain itu, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri juga dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam hubungan sosial. Ketika perayaan Idul Fitri diubah menjadi ajang pamer di media sosial, fokus seringkali hanya pada diri sendiri dan upaya untuk memamerkan diri, tanpa memperhatikan atau menghargai pengalaman dan perasaan orang lain. Hal ini dapat merusak hubungan sosial yang seharusnya didasarkan pada saling menghormati, menghargai, dan saling memaafkan. Selain itu, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri juga bisa menciptakan kesenjangan antara realitas dan citra yang ditampilkan di media sosial. Banyak orang yang cenderung hanya memamerkan sisi terbaik dari hidup mereka di media sosial, termasuk saat merayakan Idul Fitri. Mereka hanya memposting foto-foto indah, momen bahagia, dan kegiatan sosial yang terlihat sempurna, tanpa menampilkan kesulitan, tantangan, atau perasaan yang mungkin mereka alami. Hal ini bisa menciptakan citra yang tidak realistis dan tidak autentik tentang Idul Fitri, sehingga mengabaikan kompleksitas dan keragaman pengalaman yang sesungguhnya dialami oleh masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini bisa merusak pemahaman yang sehat tentang realitas sosial dan mengurangi rasa empati dan pengertian antara sesama manusia.
Selain itu, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri juga dapat mengabaikan nilai-nilai sebenarnya dari perayaan Idul Fitri itu sendiri. Idul Fitri seharusnya merupakan momen yang penuh makna, di mana umat Muslim merayakan kemenangan setelah menjalani bulan suci Ramadan, merayakan persaudaraan, saling bermaaf-maafan, dan menjalin hubungan sosial yang lebih baik. Namun, saat perayaan Idul Fitri diubah menjadi ajang pamer di media sosial, nilai-nilai tersebut bisa terkikis dan digantikan oleh pencitraan yang dangkal, permusuhan sosial, dan materialisme yang berlebihan. Oleh karena itu, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri bisa menghilangkan makna yang sebenarnya dari perayaan tersebut dan menggeser fokus pada hal-hal yang seharusnya bukan inti dari perayaan tersebut.
Sebagai solusi, penting bagi kita untuk menyadari dampak negatif dari fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini. Pertama, kita perlu memiliki pemahaman yang sehat tentang penggunaan media sosial dan memahami bahwa apa yang ditampilkan di media sosial hanyalah potongan kecil dari kehidupan seseorang dan tidak selalu mencerminkan kenyataan secara utuh. Kita perlu menghindari membandingkan diri kita dengan orang lain di media sosial dan belajar untuk menghargai keberagaman pengalaman dan perasaan yang sesungguhnya.
Kedua, kita perlu mengedepankan nilai-nilai keberagaman, kesederhanaan, dan keberlanjutan dalam perayaan Idul Fitri kita. Sebaiknya kita menghindari kemewahan yang berlebihan, konsumsi yang tidak berkelanjutan, dan pencitraan yang dangkal. Sebaliknya, kita bisa lebih fokus pada nilai-nilai persaudaraan, kebersamaan, dan keikhlasan dalam merayakan Idul Fitri, serta berusaha untuk menjalin hubungan sosial yang sehat dan bermakna dengan sesama manusia.
Ketiga, kita perlu meningkatkan literasi media sosial dan kritis dalam menghadapi konten yang ada di media sosial, termasuk konten terkait Idul Fitri. Kita harus bisa memfilter konten yang kita konsumsi, mengenali potensi pencitraan atau pemalsuan, serta tidak mudah terpengaruh oleh standar kecantikan, status sosial, atau gaya hidup yang ditampilkan di media sosial. Penting untuk memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang realitas sosial yang kompleks dan tidak terjebak dalam ilusi dunia maya yang seringkali hanya menampilkan sisi terbaik dari kehidupan orang lain.
Keempat, penting bagi kita untuk tetap menghargai nilai-nilai tradisional dan spiritual dalam perayaan Idul Fitri. Idul Fitri seharusnya menjadi momen yang lebih dari sekadar ajang pamer di media sosial, melainkan momen yang membawa kita lebih dekat kepada nilai-nilai keagamaan, seperti ketaqwaan kepada Allah, kemandirian, kesederhanaan, persaudaraan, dan keberdayaan sosial. Kita perlu mengingatkan diri kita sendiri tentang nilai-nilai ini dan menjadikan perayaan Idul Fitri sebagai momen introspeksi diri, perenungan, dan refleksi atas diri kita sendiri.
Kelima, kita perlu menjadi pengguna media sosial yang bertanggung jawab. Sebelum membagikan konten di media sosial, kita perlu berpikir dua kali tentang niat dan dampak dari konten yang akan kita bagikan. Kita harus berupaya untuk menghindari pamer secara berlebihan, menciptakan konten yang autentik dan bermakna, serta mengedepankan nilai-nilai positif yang dapat menginspirasi dan memotivasi orang lain.
Kesimpulannya, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri bisa menjadi ajang yang merugikan, karena dapat menciptakan tekanan sosial, kesenjangan antara realitas dan citra, mengabaikan nilai-nilai sebenarnya dari perayaan Idul Fitri, dan merusak makna perayaan tersebut. Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan kesadaran dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi fenomena ini. Kita perlu memiliki pemahaman yang sehat tentang penggunaan media sosial, mengedepankan nilai-nilai keberagaman, kesederhanaan, dan keberlanjutan dalam perayaan Idul Fitri, meningkatkan literasi media sosial dan kritis, menghargai nilai-nilai tradisional dan spiritual, serta menjadi pengguna media sosial yang bertanggung jawab. Dengan demikian, kita dapat menghadapi fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri dengan bijaksana dan menjadikan perayaan ini sebagai momen yang lebih bermakna, autentik, dan bernilai dalam menjalin hubungan sosial dan menghargai nilai-nilai keagamaan kita.***
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Padang