Langgam.id - Akibat anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) Swadaya (tidak memiliki kemitraan dengan perusahaan), Satuan Tugas (Satgas) Direktorat Jendral (Ditjen) Perkebunan Kementerian Pertanian mendatangi sejumlah perusahaan sawit di Pasaman Barat (Pasbar).
Kedatangan Satgas Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian itu untuk meninjau sejumlah perusahaan sawit yang ada di daerah itu.
Di antara perusahaan sawit yang didatangi, yaitu PT. Bakrie Pasaman Plantation Sungai Aur dan dilanjutkan ke PT. BSS Gunung Tuleh.
Peninjauan langsung dilakukan sebagai upaya kongkrit kementerian untuk melihat persoalan yang ada dan mencari solusi terbaik terhadap situasi turunnya harga TBS di kalangan petani swadaya.
Hasil temuan di lapangan, harga TBS swadaya di Pasbar masih di bawah harapan. Jadi, satgas mendorong petani sawit swadaya untuk membuat kelompok tani dan menjalin kerjasama dengan PKS, sehingga situasi harga TBS bisa lebih terkendali dan bisa disepakati oleh kedua belah pihak sesuai harga yang ditetapkan oleh tim Satuan Tugas TBS dari Dinas Perkebunan kabupaten dan provinsi.
"Ada perbedaan harga yang diberikan perusahaan kepada pekebun swadaya dengan kelompok mitra perusahaan. Alasannya, hasil kebun swadaya itu kualitasnya masih dipertanyakan, mulai dari bibit dan lain sebagainya. Makanya perlu kemitraan itu, soalnya kemitraan itu sendiri yang akan membantu petani saat harga turun seperti sekarang ini," ujar Togu Rudianto Saragih, salah seorang anggota satgas Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Pasbar, Edrizal mendorong petani sawit di Pasbar untuk membentuk kelompok tani sebagai upaya untuk menjaga kestabilan harga jual TBS.
"Kami ingin mendorong petani sawit untuk menbentuk kelompok dan membangun kemitraan dengan perusahaan. Setiap kelompok yang dibentuk nantinya akan kita bina. Hal ini perlu dilakukan, sehingga pemerintah dapat melakukan intervensi sesuai harga," ujar Endrizal.
Dikatakan Edrizal, setelah adanya kemitraan, jika PKS melakukan pembelian dengan harga yang tidak sesuai dengan ketetapan, maka tim dinas perkebunan provinsi dan kabupaten akan menindak tegas.
Lalu, Manager Keuangan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kalasan Siregar menilai, anjloknya harga TBS terjadi sejak akhir April 2022, ketika ada kebijakan dari pemerintah untuk menutup kran ekspor Crude Plam Oil (CPO) dan turunannya. Pasar bereaksi, sehingga harga turun.
"Kran ekspor ditutup, sementara suplay banyak, penjualan terhenti, akhirnya ketersedian CPO menumpuk di pabrik. Harga patokannya juga semakin turun," ujar Kalasan.
Sementara, untuk harga TBS kemitraan, kata Kalasan, penetapan harga yang diberlakukan sesuai dengan ketetapan dinas perkebunan melalui rapat yang rutin dilaksanakan setiap minggunya.
Lalu, untuk harga TBS dari petani swadaya, patokan PKS itu spot market atau harga CPO yang berlaku di hari itu. Jika harga CPO turun, maka harga pokok pembelian juga turun.
"Kondisi seperti ini secara bisnis merugikan perusahaan. Pemasukan tidak ada, maka penjualan terbatas, sementara kita menampung juga buah dari masyarakat dan plasma," paparnya.
Kalasan melanjutkan, bahwa ekspor saat ini memang sudah dibuka, namun pasar luar negeri belum merespons dengan baik, karena eksportir belum mendapat pembeli dengan harga yang pas, jadi mereka menahan untuk menjual.
Baca juga: Ada Isu Perusahaan Sawit Tolak TBS Rakyat, Sutan Riska Ancam Soal Perizinan
Dalam kondisi tersebut, menurut Kalasan, pihaknya tetap menerima penjualan TBS dari mitra dan melalukan sistem buka tutup untuk pihak ketiga atau petani swadaya dengan mempertimbangkan kondisi yang ada di pabrik atau penumpukan stok CPO.
"Tidak bisa diprediksi kapan situasi ini akan berakhir, regulasi yang ada juga kita tidak bisa prediksi. Namun, secara umum menurut analisa saya, kondisi ini akan membaik selama dua bulan kedepan," katanya.