Harga Suara, Harga Diri: Catatan Krisis Tentang Politik Uang

Oleh: Surya Delfi Lestari

Politik uang, atau dalam istilah yang populer di masyarakat dikenal sebagai “serangan fajar,” adalah fenomena yang hampir menjadi tradisi setiap kali pemilu digelar. Meskipun praktik ini telah berlangsung sejak lama, kasus politik uang semakin marak dan terang-terangan pada Pemilu 2024.

Politik uang dapat didefinisikan sebagai praktik membeli suara rakyat dengan imbalan uang, sembako, kain sarung, atau barang lainnya, yang diberikan oleh kandidat pemimpin. Praktik ini jelas tidak etis dalam sistem demokrasi dan melanggar prinsip "free and fair elections".

Namun ironisnya, meskipun ada ancaman sanksi hukum, fenomena ini tetap menjadi pemandangan umum di berbagai daerah dan kalangan.

Fakta yang memprihatinkan dari Pemilu 2024 adalah hampir semua kandidat diduga terlibat dalam politik uang. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengungkapkan bahwa meskipun politik uang sering dilakukan, efektivitasnya sebenarnya sangat rendah.

Menurut survei SMRC pada Oktober-November 2023, politik uang hanya efektif dalam 1 dari 10 kasus. "Politik uang ini mahal dan cenderung tidak efisien. Kandidat sering tidak tahu secara pasti siapa yang akan mendukung mereka setelah menerima uang atau hadiah," kata Saiful Mujani dalam diskusi daring bertajuk “Potensi Politik Uang Pemilu 2024”.

Dilema ini menciptakan ketidakpastian besar bagi para kandidat. Untuk mendapatkan satu suara, mereka harus menyebar uang atau hadiah kepada 10 orang. Dengan kata lain, setiap suara yang diperoleh melalui politik uang membutuhkan investasi yang besar tanpa jaminan hasil. Situasi ini menjadikan pemilu sebagai kompetisi yang sangat mahal. "Akhirnya, politik uang menjadi pemborosan besar," ujar Saiful.

Lebih jauh, profil masyarakat yang paling rentan terhadap pengaruh politik uang umumnya adalah kelompok perempuan, warga pedesaan, masyarakat berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, dan berusia di atas 55 tahun.

Dalam konteks ini, gender inequality dan economic disparity menjadi faktor penting yang memicu kerentanan masyarakat terhadap politik uang. Perempuan, yang sering menghadapi kesulitan ekonomi lebih besar dibandingkan laki-laki, cenderung lebih mudah terpengaruh. “Perempuan dan lansia menjadi target utama. Ini sangat menyedihkan karena mereka sering dieksploitasi oleh kepentingan politik,” tambahnya.

Melihat realitas ini, pada pemilu kemarin, Bawaslu Kabupaten Pasaman Barat menyiapkan tim pemantauan dan patroli selama masa tenang sampai pencoblosan yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024 sebagai antisipasi politik uang.

“Masa kampanye akan berakhir pada 23 November, selanjutnya masuk masa tenang. Masa ini akan kita pantau karena pasangan calon tidak boleh melakukan kampanye lagi. Patroli itu juga dalam rangka antisipasi permainan uang atau politik uang nantinya. Kami mengajak masyarakat untuk bersama-sama memantau dan mencegah politik uang”.

Ia juga mengatakan, tim yang akan melakukan pemantauan ini adalah anggota panitia pengawas pemilu dan pengawas di tingkat nagari (desa) di 11 kecamatan dan 90 nagari (desa) yang ada di Pasaman Barat. Hal ini juga dibenarkan oleh Ketua KPU Pasaman Barat Alfi Syahrin di Simpang Empat. Sebagaimana penulis kutip di Antara Sumbar pada berita “Bawaslu Pasaman Barat siapkan tim awasi politik uang dimasa tenang."

Pembentukan tim ini merupakan usaha dari Bawaslu untuk mencegah politik uang. Namun, fakta yang dapat kita lihat ialah masih banyak tim-tim sukses dari kandidat calon yang melakukan politik uang secara diam-diam. Ini terjadi karena masyarakat hanya diam saja, tidak ada yang melaporkan terkait tindakan tersebut. Bahkan masyarakat menikmati tindakan politik uang tersebut.

Faktor utamanya ialah masalah ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat, masalah ini mendukung sebagian masyarakat untuk menerima uang dan materi lainnya yang diberikan sebagai cara cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Di samping itu, konsekuensi dari politik uang tidak hanya berhenti pada proses pemilu. Pemimpin yang terpilih melalui praktik ini cenderung melihat jabatannya sebagai investasi yang harus "dikembalikan" melalui praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

The cycle of corruption ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana rakyat terus menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai keadilan sosial, justru menjadi alat legitimasi bagi pemimpin yang tidak berintegritas.

Pemilu 2024, jika dilihat dari fenomena politik uang yang melingkupinya, ibarat angin: kehadirannya terasa, tetapi wujudnya tidak jelas. Politik uang begitu nyata, namun tetap sulit dibuktikan karena kurangnya bukti konkret dan keberanian masyarakat untuk melapor.

Di satu sisi, pasangan calon diuji integritasnya untuk bersaing secara adil dan jujur. Di sisi lain, masyarakat juga diuji dengan "suap" yang menggiurkan, terutama dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Pertanyaan penting yang harus kita renungkan adalah: berapa harga suara kita? Apakah seratus ribu rupiah, dua ratus ribu, selembar kain sarung, atau satu paket sembako cukup untuk menukar masa depan kita selama lima tahun ke depan?

Jika suara kita bisa dibeli hari ini, maka jangan kaget jika pemimpin yang kita pilih menjual kepentingan kita di masa depan. Politik uang bukan hanya merugikan kita secara individu, tetapi juga melemahkan fondasi demokrasi dan memperburuk ketimpangan sosial.

Dan sangat penting bagi masyarakat untuk menolak politik uang dan memilih pemimpin yang memiliki moralitas tinggi, kompetensi, dan integritas. Partisipasi aktif masyarakat dalam melaporkan pelanggaran politik uang juga sangat diperlukan untuk memastikan pemilu yang adil dan bermartabat.

Memilih pemimpin adalah investasi untuk masa depan, bukan transaksi jangka pendek. Mari kita hentikan praktik politik uang demi demokrasi yang lebih sehat dan masa depan yang lebih baik.

Kata penutup tulisan ini cukup sederhana : "Jika harga suara kita hanya seharga sembako, maka jangan heran jika masa depan kita juga dijadikan bahan obral."

Penulis: Surya Delfi Lestari (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Perilaku merendahkan orang lain dengan ejekan biasanya terjadi ketika seseorang tidak mampu membantah pendapat lawan melalui argumen rasional
Respon Bijak terhadap Argumentum Ad Hominem: Telaah Al-Qur'an dan Teladan Nabi
Menganalisis Kesehatan Mental di Era Digital
Menganalisis Kesehatan Mental di Era Digital
Potensi Ego Sektoral dalam Trias Politika di Era Kepemimpinan Prabowo
Potensi Ego Sektoral dalam Trias Politika di Era Kepemimpinan Prabowo
Media Sosial dan Kesehatan Mental Gen Z
Media Sosial dan Kesehatan Mental Gen Z
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyalahgunaan atau penyelewengan uang negara, perusahaan, organisasi, yayasan
Korupsi, Kekuasaan dan Rakyat yang Hanya Bisa Tertawa Pahit
K-Pop dan K-Drama Sebagai Alat Diplomasi Budaya Korea di Indonesia
K-Pop dan K-Drama Sebagai Alat Diplomasi Budaya Korea di Indonesia