Halloween Arab dan Minangkabau Kita

Langgam.id - Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia.

Isral Naska, Ketua Pusat Studi Islam dan Minangakabau Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat. [Foto: Dok. Pribadi Isral]

Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia. Bagaimana tidak, negara tersebut kerap dianggap oleh sebagian orang sebagai representasi sempurna penerapan ajaran Islam. Sebuah anggapan yang sangat lekat karena didukung oleh faktor historis, bahwa Islam turun di sana dan Nabi SAW adalah seorang pria Arab. Ditambah dengan keberadaan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Bagaimana di negara seperti itu ada perayaan Halloween yang disponsori pemerintah?

Menurut berbagai sumber, Halloween adalah budaya mistik pagan Celtic untuk memperingati jiwa-jiwa nenek moyang. Ini kemudian diadopsi oleh Kristen Barat (Western Christian) sebagai salah satu festival keagamaan untuk mengenang mereka yang telah meninggal dan tokoh-tokoh agama. Tidak mengherankan perayaan ini populer di kawasan Eropa dan Amerika Selatan, dan diperkenalkan ke seluruh dunia lewat budaya pop.

Festival ini dikenali secara luas sebagai festival “hantu-hantuan” dimana orang-orang menggunakan kostum hantu, misalnya dalam pawai atau berkeliaran di sebuah lingkungan perumahan (neighborhood) sambil mengusili orang lain. Foto-foto yang beredar dari Arab Saudi memperlihatkan sekolompok orang bertopeng hantu dengan pakaian tradisional Arab yang berupa jubah putih itu.

Mencermati semangat dasar pelaksanaan Halloween -baik dalam bentuk liturginya maupun dalam bentuk populernya-, penulis melihat bahwa perayaan seperti ini sulit dicari penerimaannya dalam ajaran Islam. Memang dunia Islam memiliki tradisi ziarah kubur dan mengingat orang yang telah wafat, namun untuk untuk mengambil pelajaran (i’tibar) dan mengingat kematian (zikrul maut). Sehingga tidak akan mungkin aktivitas rohani ini muncul dalam bentuk festival ala Halloween. Apalagi Muslim diperintahkan untuk menjauhi segala bentuk keburukan dan kesia-siaan.

Namun, Arab Saudi yang terlanjur dianggap oleh sebagian orang sebagai pemerintah Islam rujukan bernegara memperbolehkan perayaan Halloween. Dan tentunya menjadi berita internasional. Media Barat pada umumnya memberikan apresiasi.

Satu-satu fakta yang dapat diverifikasi sampai saat ini adalah perayaan Halloween di Arab Saudi adalah atas izin dan sponsor pangeran Muhammad bin Salman. Ini dimunculkan sebagai bagian dari revolusi budaya yang telah digagas sejak beberapa tahun belakangan ini. Belum tahu kita bagaimana pandangan ulama di sana, atau bagaimana tanggapan masyarakat di sana sebenarnya. Apakah menolak diam-diam, atau tidak peduli sama sekali atau menerima secara aktif. Satu hal yang pasti adalah pengenalan Halloween di Arab Saudi adalah produk kebijakan monarki Arab, yang tidak dapat dicegah oleh siapapun, termasuk kalangan ulama.

Ini sekali lagi menunjukkan kepada kita, bahwa pemerintahan adalah salah satu instrumen paling efektif untuk menerapkan ide-ide tertentu, sekalipun ide tersebut tidak memiliki akar. Terlebih jika pemerintahan tersebut dijalankan dengan prinsip-prinsip tirani. Pandangan berbeda dapat dengan mudah dilenyapkan menggunakan instrumen-instrumen kekuasaan, seperti instrumen hukum dan lain sebagainya.

***

Saya akan fokus saja pada bagaimana kita masyarakat Minangkabau menyikapi hal ini. Kemungkinan apa yang dapat terjadi sehubungan dengan sistem pemerintahan yang diterapkan di Sumatera Barat hari ini. Dan yang paling penting, bagaimana antisipasi dapat dilakukan.

Apakah ide-ide global yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal Minangkabau dapat diterapkan di Ranah Minang? Jawabannya, saya rasa sangat mungkin. Bisa saja ada yang akan membantah jawaban ini dengan argumen bahwa sistem pemerintahan demokrasi tidak mungkin akan melahirkan tirani, sehingga untuk konteks masyarakat Minangkabau tidak akan ada upaya pemaksaan ide asing, penerimaan LGBT misalnya.

Berbagai tulisan sejak dulu telah menyuarakan bahwa pemerintahan tirani dapat muncul dari proses yang demokratis. Buktinya telah berserakan di berbagai penjuru dunia. Sebuah tulisan populer berjudul Democratic Tyranny yang dimuat tahun 1997 telah mengeluhkan hal ini. Tulisan yang ditayangkan di website prospectmagazine.uk ini mengulas berbagai bentuk pemerintahan hasil pemilu demokratis beroperasi layaknya tirani. Penulisnya menyebut “democracy is fluorishing, constitutional liberalism is not” Hingga lebih dari 20 tahun kemudian, hal yang sama masih terus terjadi bahkan semakin banal.

Apakah tidak terlalu berlebihan membayangkan itu akan terjadi di Ranah Minang. Menjawabnya adalah dengan menanyakan balik: Siapa yang sepuluh tahun lampau akan menyangka bahwa perayaan Halloween akan terjadi di Arab Saudi?

***

Sistem pemerintahan yang ada di Minangkabau hari ini adalah produk dari sebuah sistem yang sama sekali tidak dikenal dalam adat Minangkabau. Pemilihan pemimpin pada semua tingkat dan lembaga dilakukan lewat sistem one man one vote (satu orang satu suara). Sistem asing itu dipaksakan berlaku bahkan pada nagari yang notabene adalah nomenklatur asli alam Minangkabau.

Kepemimpinan alam Minangkabau adalah sistem kepemimpinan kolektif kolegial dengan corak yang umumnya mengarah pada meritokrasi. Pada sistem ini, orang menjadi pemimpin karena kecakapan dan kepemimpinan bukan pada suara mayoritas. Minangkabau menyatukan unsur-unsur kecakapan itu pada sistem tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan. Unsur pertama adalah penghulu kaum: orang paling cakap, arif dan bijaksana dari sebuah kaum. Unsur ini adalah yang paling berkepentingan pada keterjagaan harta dan kesejahteraan kaum. Berikutnya adalah alim ulama, unsur yang memberikan pertimbangan syara’ pada keputusan publik. Yang terakhir adalah cadiak pandai, yaitu mereka dengan spesifikasi kemampuan lainnya yang mungkin dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat.

Musyawarah mufakat adalah “perangkat lunak” yang mengendalikan skema interaksi antara ketiga unsur tersebut. Keputusan diambil berdasarkan pertimbangan terbaik, bukan berdasarkan pendapat orang banyak atau pemilik suara mayoritas. Sebab apa yang dipikir orang banyak belum tentu benar dan betul.

Kembali lagi ke sistem pemerintahan bercorak demokrasi liberal yang diaplikasikan di ranah Minang hari ini, satu hal yang pasti adalah akan lahir dari sana pemimpin publik yang disukai orang banyak. Namun belum tentu akan terpilih pemimpin yang sesuai dengan skema kepemimpinan ideal ala alam Minangkabau.

Konsekuensi lain adalah konsepsi kepemimpinan tali tigo sapilin tungku tigo sajarangan tidak memiliki posisi politik yang berdaya. Eksistensi triumvirat Minangkabau (ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai) sepenuhnya berdasarkan keinginan pemimpin politik hasil demokrasi liberal. Hanya jika mereka segan dan hormat pada ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai, ketiga unsur tersebut akan muncul di panggung publik. Jika tidak, maka anggota triumvirat Minangkabau itu sepenuhnya berada di luar sistem. Pendapat dan pandangan mereka tidak mesti harus didengar ketika mengambil keputusan publik. Ini sudah sering kita lihat.

Lalu bagaimana hubungan hal ini dengan kasus Halloween Arab belakangan ini?

Jika karena alasan tertentu pemimpin hasil demokrasi liberal menghendaki festival ini ada di ranah Minang, maka festival tersebut akan ada. Penolakan-penolakan pasti terjadi. Namun pertanyaan yang perlu dijawab adalah sejauh mana penolakan kultural itu memberikan pengaruh di hadapan sistem legal pemerintahan yang sangat powerful? Jika penolakan itu bertahan panjang, seberapa besar skala konflik yang terjadi? Dan berapa banyak waktu dan tenaga yang sia-sia karena konflik tersebut?

***

Taruhlah kita hari ini sepakat untuk memperkuat kembali konsepsi kepemimpinan alam Minangkabau yang menyatukan tiga kekuatan, yaitu Islam, adat budaya dan ilmu pengetahuan. Sebuah ide dengan tujuan agar Minangkabau lebih selamat dari serangan liberal globalism yang merusak. Namun ide ini akan dihadapkan pada banyak sekali pertanyaan pelik yang entah bagaimana menjawabnya.

Pertanyaan pertama, apakah mungkin mewujudkan konsep idealnya dalam kondisi dan realitas hari ini? Jika kita menjawab tidak mungkin, namun ada keinginan agar konsep kepemimpinan legal formal dapat berdampingan dengan konsep kepemimpinan kultural-natural, maka muncul pertanyaan kedua, bagaimana menyandingkan kedua konsep yang terlihat berjauhan itu?

Jika ada pihak yang berpendapat bahwa hal ini tidak perlu dirisaukan karena selama ini Ranah Minang dirasa baik-baik saja, maka muncul pertanyaan lainnya. Bagaimana dengan masalah sosial yang datang silih berganti, apakah itu yang disebut baik-baik saja? Jika ada yang berpendapat bahwa selama ini ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai sangat dihormati dan dirujuk sehingga tidak perlu berpikir macam-macam. Apakah memang demikian realitasnya? Jika iya, sejauh mana jaminan itu akan terus berlanjut?

Baca juga: Inyiak, Budaya Menghormati Harimau oleh Masyarakat Minangkabau

Di saat kita semua mungkin sibuk dengan diskusi-diskusi seperti ini, hal-hal terus berjalan di luar sana. Ada yang kita tahu, ada pula yang tidak kita tahu. Namun satu hal yang pasti adalah, di Arab Saudi, dekat Ka’bah dan kuburan Nabi SAW sudah ada orang-orang merayakan Hallowen. Wallahu’alam.

_
Isral Naska
Ketua Pusat Studi Islam dan Minangkabau Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Baca Juga

Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Nofel Nofiadri
Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Langgam.id - Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia.
Bahasa Minang dalam Tafsir Ulang Keminangkabauan
Nofel Nofiadri
Tafsir Ulang Keminangkabauan