Langgam.id - Perubahan iklim ditengarai salah satu penyebab gerombolan ubur-ubur mendesak pantai di wilayah Pesisir Selatan (Pessel). Hipotesa ini menjadi salah satu hasil seksama yang dilakukan tim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jumat (9/8).
Salah satu peneliti dari Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir KKP Padang, Ulung Jantama Wisha mengatakan, soal indikasi terdamparnya ubur-ubur, sebenarnya banyak faktor, mulai karena lingkungan hingga disebabkan terbawa arus saat mencari makan.
Selain itu, dari segi geografis, ada faktor karena perubahan iklim ekstrem.
"Perubahan iklim ekstrem seperti saat ini di Samudera Hindia. Dia (ubur-ubur) kan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia jadi kejadian ini bisa saja karena perubahan kondisi iklim di Samudera Hindia yang berdampak juga berpengaruh kepada kondisi iklim di sini (Sungai Pinang)," bebernya, di pantai Sungai Pinang, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan.
"Nah ini masih kemungkinan ya. Makanya kami ke sini untuk memastikan apakah karena faktor lingkungan, iklim atau makanan," sambung Ulung.
Terkait kemunculan ubur-ubur jika dalam waktu singkat, ia mengatakan biasanya merupakan waktunya imigrasi atau mencari makanan plankton yang berada di permukaan laut. Selain itu, salah satunya juga terganggu akibat kandungan oksigen.
"Ubur-ubur ini sensitif terhadap panas dan oksigen. Kandungan oksigen dalam air itu yang membuat mereka berpindah ke tempat lain yang sesuai dengan kondisi alam yang sesuai habitatnya," ungkapnya.
Ulung mengakui bahwa kemunculan ubur-ubur di permukaan laut ada musimnya. Akan tetapi biasanya, fenomena itu hanya bertahan beberapa periode hingga hanya satu bulan.
"Nah di sini (Sungai Pinang) ubur-ubur terdampar terus. Ini yang kami cari tahu (penyebabnya). Biasanya musiman atau cuman satu bulan ataupun hanya beberapa periode ya," kata dia.
Ia menambahkan, fenomena kemunculan ubur-ubur merupakan hal yang biasa dan juga pernah terjadi di selatan Jawa meski tidak berlangsung lama. Namun khusus di laut Pesisir Selatan, fenomena ini telah terjadi dalam waktu cukup lama.
"Musiman memang ada tapi yang di sini karena periode sudah lama berarti ada sesuatu yang salah dan aneh di perairan. Makanya kami teliti, atau (mungkin) karena keracunan plankton yang dimakan," jelas Ulung.
Sebelumnya, masyarakat dan nelayan di Pantai Sungai Pinang mengakui fenomena kemunculan ubur-ubur ini hal yang biasa karena selalu terjadi setiap tahunnya.
Namun untuk tahun ini jumlah dan rentan waktu kemunculan ubur-ubur jauh lebih lama dari tahun-tahun sebelumnya. Diketahui, ubur-ubur telah muncul sejak bulan Mei 2019.
Bahkan, selain berdampak kepada tangkapan ikan, munculnya ubur-ubur membuat masyarakat setempat harus lebih waspada untuk mengawasi anak-anak mereka. Sebab, menurut masyarakat efek terkena ubur-ubur membuat badan menjadi gatal.
"Karena efeknya itu badan bisa gatal-gatal dan memerah kalau kena, walaupun ubur-ubur itu sudah mati. Ya kalau anak kami kena palingan obatnya dikasih air panas aja, air panas tawar," kata Jasman, salah seorang nelayan setempat. (Irwanda / Osh)