Dalam sejarah bangsa Indonesia, perjalanan ekonomi nasional selalu diwarnai oleh upaya mencapai kemandirian, sekaligus terjebak dalam jerat globalisasi dan ketimpangan yang semakin membuncah. Di tengah harapan akan pertumbuhan ekonomi yang terus menggeliat, bersembunyi realitas pahit lain: jurang ketimpangan semakin lebar, penguasaan sumber daya oleh segelintir elit semakin kokoh, sementara mayoritas masyarakat berjuang dalam dinamika pasar yang tidak adil.
Joseph E. Stiglitz, seorang ekonom yang telah lama menyuarakan kritik keras terhadap globalisasi dan ketidaksetaraan, memberikan analisis yang tajam dan relevan dalam menggambarkan fenomena ini. Melalui karya-karyanya seperti The Price of Inequality, Globalization and Its Discontents, Freefall, The Great Divide, hingga People, Power, and Profits, kita dapat menyusun kritik yang lebih tajam terhadap kebijakan ekonomi Indonesia saat ini yang semakin terpaku pada neoliberalisme.
Di balik kritik ini, ada pertanyaan: apakah pembangunan ekonomi yang dirancang oleh segelintir elite dengan janji kesejahteraan benar-benar mampu meminimalkan penderitaan rakyat kecil? Atau justru melanggengkan ketidakadilan struktural yang semakin kuat?
Ketimpangan Struktural dan Neokolonialisme Ekonomi di Indonesia
Stiglitz dalam bukunya The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future mengajukan tesis utama bahwa ketidaksetaraan bukanlah hasil dari proses pasar yang alami, melainkan konsekuensi dari pilihan kebijakan yang disengaja. Di Indonesia, argumen ini semakin terlihat jelas dalam berbagai kebijakan ekonomi yang, alih-alih menyejahterakan seluruh masyarakat, justru memperkuat dominasi ekonomi oleh segelintir oligarki. Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa koefisien Gini Indonesia, meski sempat membaik, tetap menunjukkan ketimpangan yang signifikan, dengan wilayah perkotaan menunjukkan tingkat ketimpangan lebih besar dibandingkan pedesaan. Fenomena ini mengingatkan kita pada bagaimana kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elit, sementara mereka yang berada di lapisan bawah ekonomi semakin tertinggal. Stiglitz, dengan sinis menggambarkan hal ini sebagai “kapitalisme tanpa rem” di mana pasar dibiarkan beroperasi dengan sedikit atau tanpa regulasi, membiarkan ketidakadilan menjadi norma yang diterima.
Dalam konteks Indonesia, sistem ekonomi yang didorong oleh prinsip-prinsip neoliberalisme, dengan deregulasi dan privatisasi sebagai inti kebijakan, mencerminkan bentuk neokolonialisme ekonomi modern. Sumber daya alam Indonesia dikuasai oleh korporasi besar, baik domestik maupun asing, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton dalam proses ekploitasi yang berlangsung. Ini tidak berbeda jauh dari kolonialisme ekonomi yang pernah dialami bangsa ini di masa penjajahan, hanya kali ini bentuknya lebih halus dan di bawah kendali pasar global yang lebih "maju". Stiglitz, dalam Globalization and Its Discontents, menunjukkan bagaimana globalisasi yang didikte oleh institusi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia sebenarnya memperkuat dominasi negara-negara maju atas negara-negara berkembang. Di Indonesia, kebijakan "penyesuaian struktural" yang diadopsi pasca-krisis 1998 telah membuat negara ini lebih bergantung pada modal asing dan liberalisasi pasar, memperburuk ketimpangan struktural yang sudah ada.
Globalisasi: Janji Palsu atau Jalan Menuju Kemandirian?
Globalisasi sering dijual sebagai pintu masuk menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Namun, seperti yang ditekankan Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents Revisited: Anti-Globalization in the Era of Trump, globalisasi tidak hanya gagal memenuhi janji-janji tersebut, tetapi juga menjerumuskan negara-negara berkembang ke dalam lingkaran setan ketergantungan ekonomi. Di Indonesia, kita melihat bagaimana industri manufaktur, yang pernah direncanakan menjadi tulang punggung ekonomi, kini bergeser ke arah eksploitasi sumber daya alam dan industri digital yang terkonsentrasi pada segelintir perusahaan besar. Sementara itu, sektor-sektor ekonomi rakyat—pertanian, perikanan, dan usaha kecil-menengah—tertinggal dan terpinggirkan.
Stiglitz mengkritik keras fenomena ini, di mana globalisasi yang dikelola oleh kepentingan korporasi besar memperburuk ketimpangan dan mempersempit peluang ekonomi bagi masyarakat kecil. Ketergantungan Indonesia pada investasi asing, baik melalui utang maupun kepemilikan asing atas aset-aset strategis, hanya memperdalam kerentanan ekonomi nasional. Krisis moneter 1997-1998 adalah contoh nyata bagaimana ketergantungan ini dapat menyebabkan kehancuran ekonomi. Namun, ironi terbesar adalah bahwa pelajaran dari krisis tersebut seolah dilupakan, dengan pemerintah terus mengadopsi kebijakan pro-globalisasi yang mengorbankan kedaulatan ekonomi.
Di sinilah relevansi kapitalisme progresif ala Stiglitz dalam People, Power, and Profits dapat dibawa masuk. Stiglitz menawarkan solusi berupa campur tangan pemerintah yang lebih kuat untuk mengatur pasar dan memastikan distribusi kekayaan yang lebih adil. Tetapi pertanyaannya adalah: apakah mungkin bagi Indonesia untuk mengadopsi kapitalisme progresif ketika oligarki ekonomi begitu kuat mencengkeram negara ini? Pemerintah Indonesia tampaknya enggan atau tidak mampu melawan arus kapital besar yang telah mendikte kebijakan selama bertahun-tahun. Kebijakan redistributif yang diperjuangkan Stiglitz, seperti pajak progresif dan pengeluaran sosial yang lebih besar, mungkin akan menemui perlawanan keras dari elit-elit tersebut.
Kapitalisme Progresif: Mitos atau Solusi untuk Indonesia?
Dalam People, Power, and Profits: Progressive Capitalism for an Age of Discontent, Stiglitz menawarkan konsep kapitalisme progresif sebagai alternatif untuk memperbaiki ekonomi global yang rusak oleh ketidaksetaraan dan dominasi korporasi. Menurutnya, negara harus mengambil peran lebih besar dalam mengatur pasar, melindungi hak-hak pekerja, dan mempromosikan kebijakan redistributif yang lebih adil. Dalam konteks Indonesia, hal ini bisa diterjemahkan sebagai peningkatan peran pemerintah dalam mengendalikan sektor-sektor strategis seperti sumber daya alam, energi, dan infrastruktur, serta memperkuat sistem perpajakan yang progresif untuk mendanai program-program sosial.
Namun, kenyataannya, kapitalisme progresif menghadapi tantangan berat di Indonesia. Kebijakan yang pro-rakyat sering kali terhenti di tataran wacana tanpa implementasi yang nyata. Liberalisasi ekonomi yang semakin meluas, deregulasi investasi asing, serta privatisasi BUMN telah semakin mengurangi ruang bagi kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Seperti yang diungkapkan oleh Stiglitz, pasar yang tidak diatur hanya akan menghasilkan keuntungan bagi segelintir orang, sementara mayoritas akan semakin terpinggirkan. Indonesia, dengan segala kekayaan sumber daya alam dan potensinya, seharusnya memiliki kemampuan untuk menerapkan kapitalisme progresif. Namun, kenyataannya, oligarki ekonomi dan politik di Indonesia terlalu kuat untuk dilawan tanpa perubahan struktural yang radikal.
Krisis Ekonomi dan Krisis Moral: Perspektif Filsafat
Stiglitz bukan hanya berbicara tentang ekonomi dalam konteks angka dan grafik. Pemikirannya juga membawa refleksi moral yang mendalam tentang keadilan sosial dan tanggung jawab negara terhadap warganya. Jika kita meninjau gagasan John Rawls tentang A Theory of Justice, kita bisa melihat paralel yang kuat dengan pemikiran Stiglitz. Rawls mengajukan gagasan bahwa ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika memberikan manfaat kepada mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat. Sayangnya, Indonesia tampaknya masih jauh dari prinsip ini. Ketimpangan yang terus menganga, baik dalam hal akses terhadap pendidikan, kesehatan, maupun lapangan kerja, menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil tidak mengutamakan mereka yang paling tidak beruntung.
Dari perspektif filsafat politik, kita juga dapat mengaitkan kritik Stiglitz dengan pandangan Karl Marx tentang kapitalisme. Stiglitz, meski tidak sekeras Marx dalam menolak kapitalisme secara keseluruhan, menunjukkan bahwa kapitalisme versi pasar bebas telah gagal. Jika Marx mengusulkan penghapusan total sistem kapitalisme, Stiglitz menawarkan perbaikan dari dalam—yakni kapitalisme progresif yang memadukan peran pasar dengan intervensi pemerintah yang lebih besar. Namun, apakah ini mungkin di Indonesia, di mana elit politik dan ekonomi begitu berkelindan erat?
Di sinilah pentingnya refleksi filosofis yang lebih mendalam. Apakah kita ingin terus mempertahankan sistem ekonomi yang secara moral cacat, atau berani melakukan perubahan radikal untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil? Filosofi utilitarianisme, yang menekankan bahwa kebijakan harus menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar, tampaknya bertolak belakang dengan kenyataan Indonesia saat ini. Kebijakan ekonomi lebih banyak menguntungkan segelintir elit, sementara sebagian besar masyarakat menderita.
Menantang Status Quo
Pemikiran Stiglitz menawarkan refleksi kritis yang sangat relevan bagi Indonesia. Di satu sisi, kita dihadapkan pada tantangan globalisasi yang semakin memperparah ketimpangan. Di sisi lain, pemerintah tampaknya enggan atau tidak mampu mengadopsi kebijakan redistributif yang lebih adil. Dalam konteks ini, gagasan Stiglitz tentang kapitalisme progresif menjadi penting untuk dipertimbangkan—meskipun tantangan yang dihadapi Indonesia sangat besar. Dengan mengadopsi kebijakan yang lebih berfokus pada pemerataan, Indonesia mungkin bisa keluar dari jerat ketimpangan yang semakin menganga. Namun, ini semua membutuhkan kemauan politik yang kuat, serta kesadaran bahwa pasar yang tidak diatur hanya akan memperkuat status quo yang tidak adil.
Terakhir, seperti yang dikatakan Stiglitz, "Ketidaksetaraan bukanlah takdir." Ini adalah pilihan yang dibuat oleh mereka yang berkuasa. Dan pilihan itu bisa diubah, jika kita memiliki keberanian untuk melawan.