Arahan Presiden Prabowo dalan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 sudah pasti berdampak terhadap kinerja ekonomi daerah. Apakah dampaknya akan positif atau negatif semuanya bergantung bagaimana kepala kepala daerah merespon dengan cermat dan strategis sebagai tantangan, bukan sebagai hambatan.
Kebijakan efisiensi anggaran dalam APBD 2025 dapat menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat (Sumbar) jika tidak diimbangi dengan strategi adaptif yang progresif. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan rata-rata nasional, pemotongan belanja pemerintah dapat memperlemah daya beli masyarakat dan mempersempit ruang fiskal untuk mendorong pembangunan daerah. Namun, jika dikelola dengan tepat, efisiensi ini justru dapat menjadi momentum bagi Sumbar untuk melakukan reformasi keuangan daerah dan membangun ekonomi yang lebih produktif. Kuncinya bukan hanya memangkas anggaran, tetapi mengalokasikan sumber daya secara lebih strategis dan berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam persaingan nasional, setiap daerah dituntut untuk mencapai kinerja makroekonomi yang tinggi agar tidak tertinggal dalam peta pembangunan nasional. Oleh karena itu, Sumbar harus segera menyusun strategi dominan yang tidak hanya fokus pada penghematan, tetapi juga akselerasi pertumbuhan ekonomi berbasis keunggulan daerah. Reorientasi APBD harus diarahkan pada sektor produktif yang memiliki dampak luas, seperti UMKM, pertanian, dan pariwisata. Belanja birokrasi yang tidak esensial harus ditekan, sementara investasi dalam infrastruktur ekonomi harus diperkuat agar mampu menciptakan efek berantai terhadap perekonomian daerah.
Lebih dari sekadar efisiensi, Sumbar harus mendorong investasi swasta dan kemitraan untuk mengatasi keterbatasan anggaran. Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) harus dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur tanpa membebani APBD. Regulasi dan birokrasi perizinan investasi perlu disederhanakan agar menarik lebih banyak modal swasta. Jika Sumbar ingin keluar dari stagnasi pertumbuhan, kebijakan pro-investasi harus menjadi prioritas utama kepemimpinan baru di daerah.
Selain itu, optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi agenda utama. Pemungutan pajak dan retribusi daerah harus dilakukan secara lebih efisien tanpa membebani pelaku usaha kecil. Sumbar memiliki potensi besar dalam sektor perdagangan, ekonomi kreatif, dan industri halal, yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi sumber pertumbuhan baru. Digitalisasi ekonomi juga harus dipercepat, dengan mendorong UMKM untuk terintegrasi ke dalam ekosistem e-commerce agar mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional.
Di tengah keterbatasan fiskal, kepemimpinan baru di Sumbar harus berani melakukan terobosan yang nyata. Reformasi tata kelola keuangan daerah harus segera dilakukan dengan menerapkan zero-based budgeting agar setiap rupiah yang dikeluarkan memiliki dampak maksimal. Selain itu, pembangunan infrastruktur harus diarahkan pada proyek-proyek strategis yang meningkatkan konektivitas dan daya saing produk lokal. Tanpa strategi pembangunan berbasis data dan indikator kinerja yang jelas, Sumbar akan semakin tertinggal dari daerah lain yang lebih agresif dalam mengembangkan ekonominya.
Efisiensi anggaran bukan alasan untuk stagnasi, tetapi justru harus menjadi pemicu perubahan. Jika kepala daerah hanya fokus pada pemangkasan tanpa inovasi kebijakan, maka rakyatlah yang akan menanggung akibatnya. Sumbar tidak boleh menjadi daerah yang pasif dalam persaingan ekonomi nasional. Sebaliknya, dengan memanfaatkan efisiensi APBD untuk membangun ekonomi yang lebih kuat, Sumbar berpeluang menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia. Pemimpin daerah harus mengambil langkah berani dan visioner, karena di tangan mereka, nasib ekonomi Sumbar ditentukan.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)