Berita terbaru dan terkini hari ini: Helmi menyorot soal pernyataan Jokowi tidak pernah memanfaatkan situasi pandemi untuk menempuh tindakan inkonstitusional, menabrak prosedur dan nilai-nilai demokrasi.
Langgam.id - Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Bung Hatta (UBH), Helmi Chandra SY menilai, pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang pleno tahunan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (11/2/2022) tidak sesuai kenyataan.
Helmi menyorot soal pernyataan Jokowi, bahwa pemerintah tidak pernah memanfaatkan situasi pandemi untuk menempuh tindakan inkonstitusional, menabrak prosedur dan nilai-nilai demokrasi.
"Sebagai negara hukum, kita harus bersama-sama menegakkan hukum, menegakkan keadilan, untuk kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa," ujar Jokowi dalam sidang itu.
Menurut Helmi, pernyataan Jokowi itu bisa dimaknai sebagai Constitution Disobedience, karena dapat berakibat terjadinya pembangkangan terhadap konstitusi, dalam hal ini Putusan MK.
"Presiden membenarkan pembentukan Undang-undang secara inkonstitusional melalui metode omnibus, yang belum diatur dalam Undang-undang Nomor: 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (UU PPP)," ujar Helmi kepada Langgam.id, Jumat (11/2/2022).
Buntut dari tindakan itu, sebut Helmi, MK memutuskan regulasi yang kemudian dikenal dengan UU Cipta Kerja, dan itu cacat formil, dengan putusan inkonstitusional bersyarat.
Padahal, lanjut Helmi, dalam Putusan Nomor: 91/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Putusan itu oleh banyak pakar hukum Tata negara juga dinilai bermasalah.
Namun, alih-alih patuh terhadap putusan MK soal uji formil UU Cipta Kerja, pemerintah bahkan berencana merevisi UU PPP, yang sebelumnya tidak mengakomodir pembentukan UU dengan metode omnibus.
Dikatakan Helmi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang punya kewenangan dalam merevisi UU tersebut.
"Namun, jika ingin mengadopsi metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memasukkannya dalam UU PPP, itu jadi persoalan. Karena, masalahnya ada putusan MK yang harus ditaati terlebih dulu oleh pembentuk UU, yaitu memperbaiki UU Cipta Kerja," paparnya.
Jika pemerintah ngotot merevisi UU PPP, sebut Helmi, maka pidato Presiden jelas tidak akan sesuai kenyataan. "Kalau tetap dilakukan (revisi UU PPP-red), maka terjadilah pembangkangan terhadap konstitusi," ucapnya.
Tidak hanya itu, Helmi juga mengatakan, bahwa adanya pembangkangan terhadap konstitusi itu benar. Sebab, dalam lanjutan pidatonya, Jokowi yang berdiri membelakangi para hakim konstitusi menyebut tidak selalu sepakat dengan putusan MK.
Baca juga: Presiden Jokowi Imbau Waspadai Ketidakpastian Global
“Memang, pemerintah tidak selamanya sependapat dengan pandangan MK dalam putusannya. Tetapi pemerintah selalu menerima, selalu menghormati, dan melaksanakan putusan-putusan MK,” kata Helmi menirukan ucapan Jokowi saat itu.
—