InfoLanggam - Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat, Hernawati, melakukan penelitian terhadap makanan khas Minangkabau, Randang.
Hibah penelitian Hernawati bertajuk "Randang Daun: Pangan Alternatif Berbasis Sumber Daya Hutan di Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.
Randang daun, yang merupakan perpaduan unik antara tradisi dan keanekaragaman hayati lokal, menjadi fokus utama penelitian ini.
Randang daun bukan kuliner asing bagi masyarakat Luhak Limopuluah Koto di Kecamatan Harau yang menjadi lokus penelitian. Sejauh ini telah terindentifikasi 15 - 20 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan campuran dalam pembuatan randang.
Di antaranya adalah daun mali-mali, daun sikaduduak rimbo, daun pelange, dan daun sikalalak, semua diperoleh langsung dari kawasan hutan/perbukitan di sekitar pemukiman.
"Masyarakat menyebutnya Randang Daun," ujar Nana, panggilan Hernawati, yang menyoroti kearifan lokal yang telah menjadi warisan kuliner turun-temurun.
Ia mengungkapkan, randang yang pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia, biasanya dipadukan dengan buah nangka, kentang, atau kerupuk singkong.
Namun, Randang Daun dari Harau ini menawarkan cita rasa yang lebih segar dan autentik, khas hasil alam Luhak Nan Bungsu.
Dengan potensi yang besar, ia yakin bahwa Randang Daun bisa di-branding sebagai pangan fungsional jika dikemas dengan baik dan dipasarkan secara luas mengingat Harau merupakan kawasan wisata yang sudah sangat terkenal.
Ia mengatakan, penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk mengidentifikasi seluruh jenis daun yang digunakan oleh masyarakat Harau, tetapi juga untuk mengevaluasi kelayakan dan kandungan zat gizi dalam setiap daun sebagai bahan olahan makanan.
"Dengan target penyelesaian pada Oktober 2024, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pelestarian kuliner tradisional sekaligus membuka peluang baru dalam industri pangan berbasis kearifan lokal," bebernya.
Nana berharap bahwa hasil penelitian ini akan memberikan dampak positif bagi pengembangan pangan alternatif yang berkelanjutan, serta memperkuat identitas budaya Minangkabau di kancah global. (*)