Oleh: Habibur Rahman
Sahl At-Tustury (Abdullah At-Tustury) r.a. pernah berkata :
لَا تُطْلِعِ الأَحْدَاثَ عَلَى الْأَسْرَارِ قَبْلَ تَمْكِينِهِمْ
"Jangan kamu angkat bicara tentang rahasia-rahasia ketuhanan, sebelum mereka/pendengar itu tetap pendirian mereka."
Perkataan ini mengingatkan kita tentang pentingnya memilih waktu yang tepat untuk menyampaikan ilmu, khususnya ilmu yang bersifat mendalam dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang telah memiliki kesiapan hati dan akal.
Di samping itu, Nabi 'Isa a.s. juga berkata :
لَا تُعَلِّقُوا الدُّرَرَ فِي أَعْنَاقِ الْخَنَازِيرِ
Janganlah kalian menggantungkan permata pada leher babi."
Kita bisa ambil maksud dari perkataan ini, bahwasanya ini untuk mengingatkan agar tidak memberikan sesuatu yang berharga kepada mereka yang tidak mampu menghargainya, sebagaimana ilmu yang luhur tidak patut diberikan kepada mereka yang belum memahami nilainya.
Untuk memahami lebih jauh, penting bagi kita untuk menjelaskan konsep syariat, tarekat, dan hakikat yang menjadi bagian penting dalam perjalanan spiritual seorang muslim.
Syariat adalah ketetapan Allah dan Rasul-Nya terkait perintah, larangan, dan tata cara pelaksanaan ibadah dalam dimensi lahiriah. Ia menjadi kerangka utama bagi seorang muslim dalam menjalankan kewajiban agama. Sementara itu, tarekat adalah jalan atau metode yang dilakukan dengan ikhlas untuk mengamalkan syariat sebagai wujud pendekatan diri kepada Allah.
Hakikat adalah pemahaman mendalam dan penyaksian langsung terhadap kebenaran ilahi, yang bersumber dari cahaya iman dalam hati seseorang. Ketiga aspek ini, yakni syariat, tarekat, dan hakikat, saling terhubung dan tidak dapat dipisahkan.
Syariat dan hakikat tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, karena keberadaan keduanya saling melengkapi. Syariat tanpa hakikat akan kosong dari makna batiniah, sementara hakikat tanpa syariat adalah kesesatan.
Para ulama sering kali mengingatkan, "As-syari'atu bila haqiqatin 'athilatun,"
Yang berarti:
"Syariat tanpa hakikat adalah sia-sia." Sebaliknya, "Wa haqiqatu bila syari'atin zindiq," atau: "Hakikat tanpa syariat adalah kesesatan."
Pernyataan ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara syariat dan hakikat adalah pondasi penting dalam menjalani kehidupan beragama.
Al-Quthubur-Rabbaniy Maulana Syekh Abdul Qadir al-Jailani q.s. memperingatkan dan berkata :
"Tiap-tiap hakikat yang tidak dikuatkan dengan syariat adalah kufur zindiq."
Hal ini menegaskan bahwa hakikat yang tidak berlandaskan syariat akan membawa seseorang kepada kekufuran. Begitu pula, Syekh Ibnu 'Ubbad q.s. mencatat ucapan seorang arif billah,
"Siapa saja yang mengatakan bahwa hakikat bertentangan dengan syariat, berarti orang itu kafir."
Pandangan ini sejalan dengan peringatan bahwa syariat dan hakikat tidak pernah bertentangan, melainkan merupakan dua sisi yang saling melengkapi dalam mencapai pemahaman agama yang utuh.
Kedudukan fiqih dan tasawuf juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pembahasan ini. Fiqih berperan menjelaskan syariat, yaitu hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Tasawuf, di sisi lain, membahas hakikat, yaitu dimensi batiniah dalam hubungan manusia dengan Allah. Kedua ilmu ini bersumber dari ajaran Nabi Muhammad SAW dan harus dipadukan dalam pengamalan sehari-hari.
Berikutnya Imam Junaidi r.a. dengan bijak menyatakan :
"Barang siapa hanya mempelajari fiqih tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasik. Barang siapa mempelajari tasawuf tanpa fiqih, maka ia menjadi zindiq. Tetapi barang siapa menggabungkan keduanya, maka ia berada di jalan yang benar."
Untuk menggambarkan hubungan antara syariat, tarekat, dan hakikat, para ulama sering menggunakan analogi biji kelapa. Syariat diibaratkan sebagai tempurung kelapa yang melindungi isinya. Tarekat diibaratkan sebagai isi kelapa, yaitu daging buah yang menjadi sumber nutrisi.
Sedangkan hakikat diibaratkan sebagai minyak kelapa yang tersembunyi di dalam isi tersebut. Minyak adalah intisari kelapa, tetapi untuk memperolehnya diperlukan proses yang panjang dan mendalam. Demikian pula hakikat, yang merupakan inti dari perjalanan spiritual, tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melalui syariat dan tarekat.
Hakikat ini, karena sifatnya yang mendalam dan penuh rahasia, tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang yang belum memiliki kapasitas untuk memahaminya. Para ulama menekankan bahwa rahasia-rahasia ketuhanan harus dijaga agar tidak disalahgunakan atau disalahartikan oleh mereka yang belum mencapai pemahaman dan kematangan spiritual. Oleh karena itu, ilmu yang menyangkut hakikat hanya diberikan kepada orang-orang yang telah memenuhi syarat keilmuan dan akhlak untuk menerimanya.
Maka dapat kita tarik benang merah, bahwa syariat, tarekat, dan hakikat adalah tiga pilar utama yang saling mendukung dalam membentuk kesempurnaan seorang hamba. Syariat memberikan landasan lahiriah, tarekat menjadi jalan untuk memperdalam hubungan dengan Allah, dan hakikat adalah hasil akhir yang diharapkan dari perjalanan spiritual tersebut.
Perpaduan ketiganya menciptakan harmoni dalam kehidupan beragama, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan diwariskan oleh para ulama-ulama.
Sebagai penutup, untuk di Minangkabau sendiri, ulama-ulama besar masa lampau banyak berasal dari kalangan pemuka Tarekat, di antaranya kita bisa sebut :
- Syekh Burhanuddin Ulakan (Tarekat Syattariyah)
- Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Kumango (Tarekat Sammaniyah)
- Syekh Muhammad Arif Sampu
- Syekh Ismail Al-Khalidi Simabur (Tarekat Naqsyabandiyah)
- Syekh Abu Bakar Maninjau (Tarekat Naqsyabandiyah)
- Syekh Mudo Abdul Qadim (Tarekat Naqsyabandiyah)
- Syekh Muhammad Thahir Barulak (Tarekat Naqsyabandiyah)
- Syekh Muhammad Jamil Tungkar (Tarekat Naqsyabandiyah)
- Syekh Tuanku Limo Puluah Malalo (Tarekat Syattariyah)
- Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (Tarekat Khalwatiyah)
- Syekh Ibrahim Al-Khalidi Kumpulan Pasaman (Tarekat Naqsyabandiyah)
- Syekh Muhammad Sa'ad Al-Khalidi Mungka (Tarekat Naqsyabandiyah)
- Syekh Harun Toboh Padang Pariaman (Tarekat Syattariyah)
- Syekh Amrullah Tuanku Kisa'i Maninjau (Tarekat Naqsyabandiyah)
- Syekh Tuanku Nan Garang Harau (Tarekat Naqsyabandiyah)
Dan masih banyak nama lagi, tujuan nama-nama itu ditulis sekadar pengingat bagi kita yang tinggal, sebagai pembangkit himmah terhadap ulama.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.