Langgam.id - Pemerintah Hindia Belanda memutuskan mengirim Letnan Kolonel Antonie Theodore Raaff ke Padang. Ia ditugaskan masuk ke pedalaman Sumatra Barat, memerangi Padri. Raaff sampai di Padang pada 8 Desember 1821 atau tepat 198 tahun yang lalu dari hari ini, Minggu (8/12/2019).
"Letnan Kolonel Raaff mendarat tanggal 8 Desember 1821 di Padang, dengan membawa 494 serdadu, lima pucuk meriam, 30.000 peluru dan 800 batu api," tulis Muhamad Radjab, dalam Buku "Perang Padri di Sumatra Barat (1803-1838)" (1954).
Keputusan mengirim Raaff, menurutnya, karena kesulitan Belanda merebut daerah pedalaman Minangkabau yang dikuasai Padri. Karena Padri kuat dan banyak, Belanda memutuskan memperkuat tentaranya. "Sedang pimpinannya diserahkan kepada seorang opsir tinggi."
Opsir yang lebih tinggi itu adalah Letnan Kolonel Raaff. Sebelumnya, komandan tentara Belanda hanya seorang kapten.
Saat Raaff sampai di Padang, Residen Belanda di Padang adalah James Du Puy. Ia membuat perjanjian dengan kaum adat pada 10 Februari 1821. Sejumlah penghulu adat berjanji menyerahkan sejumlah wilayah di Tanah Datar, bila Belanda menyerang Padri yang menguasai Simawang. Permintaan kepada Belanda itu, karena kaum adat sudah kewalahan berkonflik dengan Padri sejak 1803.
Usia Raaff saat sampai di Padang baru 27 tahun. Letkol muda yang ambisius itu lahir lahir di Hertogenbosch, Belanda pada 1 Desember 1794.
Mengutip Buku ‘Biographisch woordenboek der Nederlanden’, dbnl.org menulis, Raaff menjalani sekolah militer di Hondscholredijk pada Juni 1807 dan kemudian pindah ke sekolah militer st. Cyr pada April 1811.
Ia menjadi letnan satu pada April 1813, setelah berpartisipasi dalam kampanye di Jerman. Pada Oktober 1813 ia adalah letnan pertama yang bergabung dengan pasukan oranye Belanda. “Baru pada November 1815 dia berangkat ke Jawa dan sampai pada tanggal 1 Mei 1817.”
Raff langsung bekerja pada Staf Umum Angkatan Darat Hindia Belanda sehingga dipromosikan menjadi mayor pada Januari 1818. Dan, pada 24 Agustus 1821, Raff naik pangkat lagi menjadi letnan kolonel, hanya beberapa bulan sebelum ia dikirim ke Padang.
Radjab menulis, sesampai di Padang, Raff mencari jalan lain ke pedalaman Sumatra Barat. Dalam penyerangan sebelumnya, pada 18 Februari 1821, Belanda masuk dengan kekuatan 100 prajurit. Dari Padang melalui Saniangbaka (Solok) dan kemudian berperahu di Danau Singkarak ke Simawang (Tanah Datar).
Menurut Raaff, jalan dari Padang melalui Pauh menuju Saniangbaka terlalu buruk. "Jalan lain ialah melalui Kayu Tanam dan Bukit Ambacang. Dari sana melalui hutan lebat dan bukit yang tinggi sampai ke Tambangan (Tanah Datar).
Itu artinya, ia memilih mengambil jalur arah ke utara. Berbeda dengan sebelumnya yang berada di selatan Danau Singkarak. Dari Tambangan, melalui Bukit Sipinang terus ke Simawang. Jalur itu dinilai lebih mudah dilalui ketimbang jalur lainnya.
Sasaran utama Raaff terlebih dahulu adalah Tuanku Lintau. Ia terlebih dahulu mengundang bertemu, sebelum tejadi perang. Namun, Padri memperkuat pertahanan. Setelah itu, pertempuran pecah.
Berturut-turut, pertempuran terjadi di Sawah Tengah, Tabing dan Parambahan. Kemudian, kampung-kampung di sekitar Bukit Sipinang dan Gurun. Menurut Radjab, dalam rancangan Raaff, Belanda tidak akan menyerang Luhak Agam terlebih dahulu. Tetapi fokus ke Tanah Datar dan Lintau.
Pertempuran terbesar terjadi di Pagaruyung dan sekitarnya sejak 25 Februari 1822. Sekitar 25 ribu kaum Padri berhadapan dengan ratusan tentara Belanda yang didukung dengan jumlah kaum adat yang hampir sama dengan Padri. Pada 4 Maret, Pagaruyung jatuh ke tangan Belanda dan kaum adat.
Pasukan Padri mundur ke Lintau. Di dekat Pagaruyung, Raaff memerintahkan kaum adat membangun benteng untuk tangsi tentara dan perbekalan. "Inilah yang menjadi Batusangkar pada masa ini. Pihak Belanda menamakannya Fort van der Capellen," tulis Radjab.
Sejarawan Christine E Dobbin dalam Buku ‘Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847’ (1992) menulis, pada tengah hari tanggal 4 Maret 1822, serdadu di bawah pimpinan Letkol Raaff menduduki Pagaruyung dan kemudian pusat-pusat lain di sebelah tenggara Tanah Datar. (Baca: Kisah Belanda Menyerbu Tanah Datar)
Joko Darmawan dalam Buku ‘Sejarah Nasiona: Ketika Nusantara Berbicara’ menulis, Raaff kemudian membangun Benteng ‘Fort Van der Capellen’ di Batusangkar. Namun, Padri kemudian menyerang balik pada 10 Juni.
Raaff dan pasukannya tak berhenti. Ia merencanakan penyerangan ke Lintau dan wilayah lainnya yang dikuasai Padri. Tapi, kemudian ada serangan Padri pada 14 Agustus 1822.
Dalam pertempuran di Baso, salah seorang perwira Belanda Kapten Goffinet menderita luka berat. Ia kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Karena serangan pasukan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh itu, Belanda mundur kembali ke Batusangkar.
Setelah mendapat bantuan pasukan, pada 13 April 1823, pasukan Raaff kembali menyerbu Lintau dengan menyerang benteng Marapalam terlebih dahulu. Serangan ini gagal karena perlawanan sengit Padri. Belanda kembali ke Batusangkar pada 16 April. (Baca: Memukul Serangan Belanda di Bukit Marapalam)
Memperluas kekuasaan di wilayah pedalaman Minangkabau adalah obsesi Raaff. Setelah menguasai Pagaruyung dan Batusangkar sejak 1822, mereka tak pernah beranjak dari sana. Rencananya, bila Lintau dikuasai, mereka akan bergerak menyerang Limapuluh Kota.
Dobbin menulis, serangan ini gagal karena kuatnya kedudukan Padri di Bukit Marapalam yang merupakan jalan untuk mendekati Lintau. “Sejak tanggal ini, semangat Belanda untuk ekspansi di Minangkabau menurun,” tulisnya.
Menurut Radjab, setelah itu sempat terjadi penyerangan lagi ke Pandai Sikek. Namun, Padri kembali dapat mementahkan serangan tersebut
Pada Desember 1823, menurutnya, Residen James du Puy harus pulang kenegeri Belanda karena kesehatannya menurun. Letkol Raaff kemudian diangkat menggantikannya sebagai residen pada 1 Januari 1824 (beberapa sumber lain menyebut tanggal 16 Desember 1823).
Ia kemudian membuat langkah perjanjian damai dengan Padri pada 22 Januari 1824, yang disebut Perjanjian Masang.
Tak sampai tiga bulan setelah itu, Raaff menderita sakit. Mengutip Buku ‘Biographisch woordenboek der Nederlanden’, dbnl.org menulis, Raaff sakit sampai 12 hari hingga akhirnya meninggal pada 17 April 1824, dalam usia belum genap 30 tahun. Ia disebutkan meninggal mendadak karena sakit panas. (Baca: Ketika Komandan Militer Belanda Meninggal Mendadak di Padang).
“Setelah itu, tidak pernah lagi ada yang bisa menandingi keberhasilannya di daerah dataran tinggi (Sumatra Barat) sampai tahun 1830-an, ketika muncul situasi yang berbeda sekali,” tulis Dobbin. (HM)