Ada dua hal yang menyenangkan dari kampung halaman saat masa kecil dulu. Pertama, menemani nenek dan Tuo belanja ke balai pakan (pasar mingguan). Kedua menonton "sandiwara", istilah masyarakat untuk pertunjukan seni.
Ke balai bagiku adalah makan sate, ketupat pulut, goreng pisang rajo dan mengendus aroma uap kereta api Mak Itam di stasiun.
Nah, kalau "sandiwara", seperti mendapat kado dari langit. Aku tidak tertarik pada acaranya. Maklum, belum paham. Senangnya adalah melihat orang banyak di bawah sinar lampu strongking. Beda sekali dengan malam-malam di kamarku yang sepi dan temaram.
Lebih senang lagi bila aku bisa mendekati panggung, menyentuh simbal drum Bintang Selatan Club, nama band pengisi "Sandiwara" tersebut. Atau, hanya sekedar mencium wanginya bunga, dedaunan serta potongan pohon segar properti panggung.
Atau, bila beruntung, dapat ciuman gratis dari artis pengisi acara. Betul-betul seperti dapat kado spécial.
Sandiwara diadakan secara bergilir setiap tahun (kalau tidak salah) oleh dua wilayah ujung kampung: wilayah mudik (utara) dan hilir (selatan). Keduanya terpisah sekitar 5 km. Aku tinggal di hilir.
Kisah ini bukan soal sandiwaranya, tetapi tentang perjalanan pulang dari suatu Sandiwara yang diorganisir kelompok "mudik". Acara selesai hampir tengah malam. Aku dan bapak (mungkin juga Ibu, aku lupa) pulang dalam rombongan "hilir" terpisah.
Untuk sampai ke rumah, kami harus melewati jalan raya daerah pesawangan yang gelap. Konturnya menanjak dan berkelok. Sudah banyak mobil oto yang terjun bebas di sana. O, ya, kami pulang jalan kaki.
Kalau aku sih, kadang digendong Bapak di pundaknya.
Begitu sampai di daerah tersebut, entah mengapa, bulu romaku berdiri. Bayangan suluh membuat semak belukar dan pepohonan di sepanjang jalan seakan meliuk. Jangan-jangan itu hantu, pikirku.
Jantungku berdegup kencang ketika kemudian aku mendengar bunyi gemerisik keras. Ini benar-benar hantu, batinku. Bapak, lalu, mendekapku waspada.
Sesaat , suara gemerisik hilang, berganti dengan siraman pasir. Beberapa bayangan hitam sekarang terlihat jelas. Seperti melayang di atas tebing. Hantu hitam.
Bapak dan rombongan berhenti sejenak, lalu melanjutkan perjalanan dengan perlahan tanpa berkata. Aku tidak berani membuka mata lagi.
Mukaku ku benamkan ke dada Bapak. Dalam pikiranku hantu itu sdh turun dari tebing dan siap menelanku.
Namun, tidak ada yang terjadi kecuali suara gemerisik sekali-sekali. Aku tidak tahu apa yang dilakukan rombongan, sehingga hantu-hantu itu tidak mengganggu lebih jauh.
Mungkin ada do'a atau mantera khusus untuk mengusir mereka. Ketika kami sampai di daerah perumahan suara-suara itu pun menghilang.
Dalam kantuk selama sisa jalan pulang, aku mendengar obrolan rombongan, kalau itu bukan hantu. Itu sekelompok orang. Cuma gerakannya saja yg seperti hantu.
Dugaan rombongan, mereka adalah pemuda "mudik" yang kalah dalam lelang kue, acara puncaknya Sandiwara tadi. Maksudnya mungkin mau melampiaskan kekesalan tapi tidak jadi.
Mungkin karena dalam rombongan ada Bapak yang punya ikatan juga dengan warga "mudik".
Bertahun-tahun kemudian baru aku paham, istilah hilir-mudik itu bukan hanya sekedar posisi wilayah secara fisik, tetapi juga sebutan untuk dua kelompok da'wah Islam kampungku.
Kemungkinan, pada masa Orla, masing-masing kelompok berafiliasi pada partai politik yang berbeda. Ini menyebabkan berbagai gesekan dan ketegangan.
Seiring dengan tumbangnya orla, para tetua dan tokoh kampung berusaha melakukan rekonsiliasi, antara lain dengan menyelenggarakan Sandiwara secara silih berganti itu.
Namun, ada saja anggota kelompok yang kokoh mempertahankan pendiriannya. Merekalah yang menyulut berbagai ketegangan, termasuk hal-hal sepele seperti kalah lelang kue itu.
Sekarang istilah hilir-mudik itu mungkin sudah hilang. Setahuku, warga kampungku jadi moderat. Tidak ada yang militan.
Tentang "Sandiwara", aku sempat main di "mudik" saat masih SMA, sekitar 10 tahun setelah peristiwa itu. Setelah itu, aku tidak mendengar kabarnya lagi. Mungkin orang kampung sudah puas dengan drama Korea dan Turki atau sinetron lain yang bertaburan di TV.
Namun, bagiku, sandiwara dan hantu itu tetap ada. Mereka hadir sekali-sekali dalam mimpi-mimpiku.
Paris, 7 April 2021
*Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO