Langgam.id - Hayati Syafri, dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi ajukan gugatan ke Badan Kepegawaian Nasional (BPN) terkait diberhentikan dirinya dengan alasan sering tidak masuk kerja.
Berkas gugatan tersebut, Hayati juga melampirkan kegiatan akademisnya selama tahun 2017, baik itu tulisan-tulisannya ataupun jadwal mengajar.
Sebelumnya, Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama melalui rilis yang diterima Langgam.id, menyatakan bahwa Hayati Syafri memang benar diberhentikan dari Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dosen Bahasa Ingris tersebut diberhentikan dengan alasan melanggar disiplin pegawai. "Keputusan ini didasarkan pada rekam jejak kehadirannya secara elektronik melalui data finger printnya di kepegawaian IAIN Bukittinggi," ujar Nurul Badruttamam, Kasubag Tata Usaha dan Humas Itjen Kementerian Agama, Sabtu (23/02/2019).
Lalu, berdasarkan hasil audit Itjen, ditemukan bukti valid bahwa selama 2017, Hayati Syafri terbukti secara elektronik tidak masuk kerja selama 67 hari kerja.
Selain itu, berdasarkan Perarturan Pemerintah, nomor 53 tahun 2019, pasal 3 ayat 11 dan 17, kata Burul, PNS yang tidak masuk kerja secara akumulatif minimal 46 hari kerja tanpa keterangan yang sah dalam satu tahun, harus diberikan hukuman disiplin berat berupa diberhentikan secara hormat/tidak hormat sebagai PNS.
Selain masalah ketidakhadiran di kampus sebanyak 67 hari kerja selama 2017, Hayati juga terbukti sering meninggalkan ruang kerja dan tidak melaksanakan tugas lainnya pada 2018.
Menanggapi hal itu, Hayati Syafri mengatakan, selama 2017, dia melanjutkan Strata 3 (S3) di Universitas Negeri Padang. "Tapi, saya masih ngajar selama 14 kali pertemuan dalam satu minggu," ujarnya.
Hayati menceritakan, 2017 lalu dia pernah ditegur pihak kampus karena menggunakan cadar. "Waktu itu saya ditegur, katanya saya melanggar pancasila dan Sumpah PNS," jelas Hayati.
Lalu, awal November 2017, Hayati mendapat teguran tertulis terkait pelanggaran berpakaian dosen, dan 01 Februari 2019, Hayati menerima surat penonaktifan dirinya sebagai PNS.
"Saya dinonaktifkan dengan alasan tidak efektif dalam mengajar. Padahal, mahasiswa saya tidak mempermasalahkan hal itu, mereka justru mendukung," ungkapnya.
Setelah itu, 20 Februari 2019, Hayati kembali menerima surat pemberhentian karena palanggaran disiplin. "Dari teguran bercadar, kemudian disangkutkan efektifitas dalam mengajar. Kini karena persoalan 67 hari tidak masuk kelas," ujarnya.
Terkait polemik tersebut, Sherly seorang alumni IAIN Bukittingi yang juga pernah bimbingan dengan Hayati menyebutkan, selama bimbingan, Hayati sangat terbuka. "Bimbingan dengan umi (Hayati Syafri-red), kita tidak pernah dipersulit, kita bisa bimbingan dengan umi dimana saja," ujarnya.
Diceritakan Sherly, malam sebelum dirinya sidang akhir, Hayati datang ke kosnya, untuk membantu persiapan mengahadapi sidang besok harinya. "Waktu itu sudah pukul 20.00 WIB, hari hujan dan saya juga tidak punya kendaraan, umi datang ke kos saya, bantu saya untuk persiapan sidang besoknya," ungkap Sherly.
Menurut Sherly, alumni Jurusan Pendidikan Bahasa Ingris itu, umi tidak pernah mempersulit mahasiswanya.
Tidak hanya Sherly, Zahra seorang mahasiswa yang pernah belajar dengan Hayati mengatakan, awal belajar, Hayati tidak bercadar. Namun, beberapa waktu kemudian, dia bercadar. "Di kelas, umi tanya ke mahasiwa tentang penampilannya itu, mahasiswa di lokal mendukung umi untuk bercadar, tidak ada kami yang merasa terganggu dengan itu," ujar Zahra.
Terkait Hayati dikatakan jarang masuk kelas, menurut Zahra itu tidak benar. "Umi sering masuk lokal, palingan izin sekali, sama seperti dosen-dosen yang lain," ungkapnya. (Miftahul Jannah/FZ)