Dialektika Pancasila

Pancasila Sumbar Pilkada

Israr Iskandar, SS. MA (Foto: FIB/unand.ac.id)

Silang pendapat sekitar relasi agama dan Pancasila yang hilang timbul belakangan ini menunjukkan adanya kelanjutan proses dialektika atas permasalahan ideologi negara.

Walaupun ada upaya-upaya hegemoni makna sebagai wujud “mitologisasi” Pancasila, seperti dilakukan anggota DPR yang mengajukan RUU Haluan Ideologi Pancasila dan kemudian “dikoreksi” dengan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila beberapa waktu lalu, namun pada saat yang sama muncul arus balik yang menentangnya.

Mereka yang menentang hegemoni pemaknaan Pancasila tidak hanya golongan “Islamis”, yang antara lain mencurigai adanya upaya-upaya “pemerasan” dasar negara di balik manuver elit politik, tetapi juga kaum “rasionalis” yang mengkhawatirkan kembalinya proses mitologisasi ideologi negara hanya untuk kepentingan politik semata sebagaimana pernah dilakukan dua rezim otoritarian dalam sejarah Indonesia: Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998).

 Sejarah Pancasila

Menyimak sejarah, Pancasila yang kita kenal sekarang secara konseptual adalah hasil rumusan lima dasar negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD ini sudah berbeda dengan rumusan-rumusan dasar negara yang mengemuka pada sidang BPUPK 1 Juni 1945 maupun Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Istilah Pancasila sendiri pertama kali dimunculkan dalam sidang BPUPK itu, ketika beberapa tokoh seperti Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno menyampaikan pidato tentang pokok pikiran dasar negara. Soekarno sendiri tampil di sesi pamungkas, seolah meramu pendapat-pendapat sebelumnya.

Momen itu terjadi pada 1 Juni 1945 yang belakangan diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Namun pidato itu dan pembahasannya belum bersepakat mengenai sila-sila dasar negara.

Barulah 22 Juni 1945 Panitia Sembilan menyepakati isi (rancangan) Pembukaan UUD yang alinea terakhirnya mencantumkan lima dasar negara: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dan Permusyawaratan/Perwakilan; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia.

Ternyata rumusan “tujuh kata” dalam sila pertama itu menimbulkan keberatan di kalangan tokoh komunitas non-Muslim dari kawasan Timur yang notabene “mengancam” tidak bergabung dalam negara Indonesia yang akan dibentuk. Situasinya tentu menjadi rumit.

Pada saat seperti itulah, Bung Hatta membujuk tokoh-tokoh Islam untuk legawa menghilangkan perkataan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan yang Maha Esa” saja. Akhirnya, dengan jiwa pengorbanan dan “demi persatuan yang bulat”, tokoh-tokoh Islam yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, dan lainnya bersedia menghilangkan “tujuh kata” itu.

Mereka (dalam bahasa Hatta) menginsyafi bahwa dalam negara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana undang-undang ke DPR, yang setelah diterima DPR akan mengikat umat Islam Indonesia (Hatta, 2011: 97).

Pada akhirnya lima butir dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila sebagai norma bernegara yang kita kenal sampai sekarang, sekalipun dalam perjalanan sejarahnya terutama hingga dekade 1950-an muncul lagi dinamika aspirasi yang kembali menggugat penghapusan “tujuh kata” itu.

Pelaksanaan Pancasila

Masalah utama Pancasila kemudian bukan lagi pada normanya, tetapi tafsiran dan pelaksanaannya. Setiap rezim seolah punya tafsiran sendiri sesuai kepentingan kekuasaannya. Pada zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), negara tak hanya mengakomodir Komunisme (dalam konsepsi Nasakom) yang ajarannya bertentangan dengan Pancasila, tapi kelima sila dasar negara itu malah coba diperas-peras menjadi “Trisila” dan “Ekasila” (Kuntowijoyo, 2002: 201).

Pada masa Orde Baru (1966-1998), penyimpangan Pancasila lebih sistemik lagi. Rezim Soeharto memang penyelamat Pancasila setelah menumpas gerakan makar PKI tahun 1965 dan menjadikannya sebagai partai/ideologi terlarang lewat TAP MPRS No 25 Tahun 1966.

Namun yang berkembang kemudian hegemoni tafsir atas Pancasila yang justru mendiskreditkan kelompok-kelompok kritis sebagai anti-Pancasila. Otoritarianisasi Pancasila ini bahkan kemudian membawa implikasi serius.

Aneka kebijakan penguasa dan implikasinya, seperti maraknya KKN, justru mencerminkan penyimpangan serius terhadap nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Pada era reformasi penguasa tak bisa lagi serta merta memonopoli pemaknaan atas Pancasila, tapi tak berarti akar persoalannya benar-benar sudah selesai. Pada tataran abstrak memang seolah tak ada lagi hubungan konfliktual agama dan Pancasila, tapi pada tataran praksis-politik persoalannya menjadi ruwet.

Lagi-lagi dalam konteks ini saling silang kepentingan politik sering mengaburkan kesepakatan politik para pendiri negara kita.

Mungkin saja elit politik pada dewasa ini menganggap bahwa sebuah RUU diperlukan untuk lebih menjamin implementasi nilai-nilai Pancasila, umpamanya di bidang perekonomian, yang selama ini dianggap sudah melenceng jauh dari nilai dasar bernegara kita.

Tapi problemnya ikhtiar “pembumian” nilai-nilai dasar bernegara itu sering ambyar karena diblokir kepentingan-kepentingan sempit yang dilandasi pemikiran-pemikiran “kerdil” yang justru memancing riak-riak dan pertentangan yang menyita energi bangsa.

*Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Baca Juga

TANAH ULAYAT TOL PADANG-PEKANBARU
Wacana Penghapusan Insentif Guru Dalam Model Fungsi Utilitas
Tingkatkan Kualitas Program Siaran Televisi di Sumbar, KPI Pusat Sambangi Unand
Tingkatkan Kualitas Program Siaran Televisi di Sumbar, KPI Pusat Sambangi Unand
Raih Cumlaude, Bupati Dharmasraya Resmi Menyandang Gelar Magister Administrasi Publik dari Unand
Raih Cumlaude, Bupati Dharmasraya Resmi Menyandang Gelar Magister Administrasi Publik dari Unand
Menguatkan Petani untuk Adaptif dengan Perubahan Iklim
Menguatkan Petani untuk Adaptif dengan Perubahan Iklim
Perubahan Iklim Merusak jaringan irigasi dan Menggagalkan Panen
Perubahan Iklim Merusak jaringan irigasi dan Menggagalkan Panen
Teknik Pertanian Berkarya: "Transformasi Pasca Panen di Nagari Ketaping"
Teknik Pertanian Berkarya: "Transformasi Pasca Panen di Nagari Ketaping"