DARI kecil saya sudah tertarik mengamati bus-bus Lintas Sumatra. Ketertarikan ini muncul mungkin karena saya besar di Singkarak, tempat ayah saya lama bertugas. Sebuah nagari yang berada di jalur lintas Sumatra dan dilalui bus-bus antar kota antar provinsi (AKAP).
Beberapa nama bus legenda masih saya ingat sampai saat ini. Sebut nama ANS, NPM, APD, Merah Sari, Manila, Manila Jaya, Taruko, HZN (ini rute Bangko atau Jambi), Labana, Gumarang Jaya, Satu Nusa, ALS, Liberti, dan Makmur. Atau Bengkulu Indah, yang panjang dan berwarna hitam. Semua melewati lintas Sumatra di pesisir Danau Singkarak. Beberapa bis berhenti di rumah makan di tepian danau singkarak. Menyebut nama lagi, ada Rumah Makan Nusantara, Bungo Palo atau Angin Berembus di Ombilin sana.
Salah satu kenangan yang saya catat dalam memperhatikan liuk lenggok bus jalan adalah ketika bus berbelok di sebuah tikungan di Singkarak. Tikungan cukup tajam dan memiliki pohon rindang di sisi luarnya. Letaknya berdekatan dengan ojek wisata danau singkarak. Di sana disebut pesanggrahan.
Bus yang melewati daerah sini biasanya akan mengerem, mengeluarkan engine break (dibahasaminangkan menjadi “Jembrik”) dan akan terdengar seperti kentut keras. Saya senang sekali menyaksikan adegan tersebut sembari berharap ada di dalam. Berjalan dan berpetulang ke negeri lain.
Akhirnya kesempatan mencoba aneka bus Lintas Sumatra datang ketika kuliah di tanah Jawa. Sebagai mahasiswa dengan ekonomi pas-pasan, tentulah ketika lebaran dan libur panjang tiba hanyalah ekonomi kelas yang masih bisa dijangkau. Paling bagus adalah jumbonya ANS atau NPM. Terutama pas lebaran tiba, pada saat permintaan bus ke Ranah Minang sangat tinggi. Jangan harap bisa naik di jalan dengan harga murah seperti musim libur panjang kuliah.
Hampir semua bis rute Jakarta-Padang sudah saya naiki. Semua kelas bus juga sudah pernah saya coba. Bahkan saya pernah menaiki busnya orang jawa yang bernama Timbul Jaya. Kelas Non AC baru bisa saya rasakan ketika sudah mulai mendapatkan penghasilan. Pengalaman naik bus pulang dan dari kampung ini sangat membekas sampai hari ini. Bermacam-macam kejadian sudah saya alami. Kalau hanya sekadar pecah ban di pesawangan, AC ngadat tentu sudah biasa. Nyaris berkelahi ama cingkariak (entah kenapa di bus minang, sebagian besar kondektur dipanggil ucok?) juga sudah saya alami.
Ceritanya, bus yang saya tumpangi, tak pernah berhenti dirundung masalah. Mulai dari pecah ban beberapa kali, lalu saluran solarnya tersumbat-sumpat pula. Tentu ketika kejadian ini sangat tidak mengenakkan bagi kita semua yang berada di dalam bus.
Jadi, ketika bus dirundung masalah sopir dua dan kenek adalah orang yang paling sibuk bekerja memperbaiki permasalahan ini. Sopir satu biasanya hanya mengawasi sambil ngomel-ngomel mencikaraui. Baru ketika masalah sudah berat betul, dia akan masuk ke kolong bus atau ruang mesin. Kemampuan mekanik/montir sopir 1 biasanya sama dengan kemampuan menyetirnya. Mumpuni.
Pada suatu ketika, bis sudah sering berhenti karena masalah tak rundung berhenti. Si kenek dan sopir dua sudah terlihat lelah. Penumpang juga sudah terlihat bosan dengan semua kejadian ini. Di tengah enaknya melaju, bus mulai terangguk-angguk. Sopir satu sudah teriak-teriak memanggil si Ucok dari depan. Bis pun menepi. Si Ucok agak lambat merespon teriakan si sopir. Penumpang gelisah bercampur kesal karena perjalanan terhambat lagi.
Dalam situasi ini, salah seorang penumpang menyeletuk. "Cok, dangakanlah ketua tu ha". Lau saya timpali, "antah ka bilo kito sampai ko" Lalu celetukan makin berkembang. Sarkas mengomentari perjalanan panjang ini. Entah kenapa, Si Ucok tak tahan lagi pada kami. Mengamuklah si Ucok, berdiri di depan ia marah-marah pada kami di belakang. Kami diam melihat Ucok marah.
Tapi tiba-tiba ada seorang uda nyeletuk, dengan khas logat Pariaman, “bangih he…”. Saya spontan tertawa, dan Ucok melihat ini. Tambah emosi dia. obeng pada kami dengan mata melotot. Ucok berdiri di depan ia mengacungkan obeng pada kami, terutama saya yang waktu itu paling muda, dengan mata tetap melotot tentunya. "Mangecek juo lah sakali lai, mandapek beko, atau nio cubo satu lawan satu". Kami akhirnya diam, sambil senyum-senyum kecil antara kami. Lalu si sopir teriak menenangkan. Lalu mereka turun memperbaiki saluran solar yang tersumbat.
Setelah kejadian itu, bus seperti berhenti ditimpa masalah. Perjalanan lancar. Si Ucok masih diam-diam saja pada kami penumpang laki-laki. Sepertinya ia masih marah. Ketika berhenti di rumah makan dan menunggu penumpang lain naik. Kami pun ngobrol-ngobrol di depan rumah makan. Ucok menghampiri, lalu ia minta maaf. Katanya ia emosi tadi, maklumlah katanya bis tak pernah berhenti dihadang masalah. Dan ia sudah letih, dan emosinya tersulut mendengar celetukan kami.
Kami sebenarnya sudah paham dengan situasi ini, segera memaafkan Ucok. Di dalam bis, situasi mulai normal. Ucok sudah bisa bercerita dan bercanda dengan para penumpangnya.
Benar juga ungkapan yang pernah saya dengar, ketika naik bus ke Sumatra atau kapal laut ke Indonesia Timur, awal berangkat kita adalah orang lain, tapi ketika sampai tujuan, semua penumpang ini sudah layaknya saudara. Perjalanan lengkap dengan suka-dukanya membuat kita menjadi saling kenal, saling membutuhkan, saling hormat layaknya keluarga. (*)
Yoss Fitrayadi adalah Praktisi Digital Marketing, Pemerhati Budaya dan Transportasi