Pertengahan pekan lalu, saya mendapat kesempatan berbicara sekitar 10 menit di sesi seminar pendidikan dalam rangka Kongress Minang Diaspora Network – Global (MDN-G) di Padang, Sumatra Barat. Ini adalah kongress MDN-G yang kedua, setelah yang pertama di Melbourne, Australia, tahun 2018 lalu.
Seminar mengambil tema “Tantangan meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan berbasis akhlak mulia di Sumatra Barat”. Membaca tema tersebut, saya pun membatin. Tema tersebut seperti menyiratkan bahwa ada persoalan mutu pendidikan dan akhlak dari peserta didik di Sumatra Barat.
Membaca catatan generasi emas di masa silam, bukankah Sumatra Barat atau ranah Minangkabau secara umum bisa berbangga dengan mutu pendidikan dan capaian akhlak mulia? Mungkin di sinilah titik soalnya. Persoalan mutu pendidikan yang biasa-biasa saja, dan problematika akhlak generasi muda yang sering menjadi headline media, menjadi penciri ranah saat ini. Sehingga, tema seminar menjadi sangat aktual.
Mendengar paparan dari Duta Besar RI di Belanda (Mayerfas) dan di Ethiophia (Al Busyra Basnur) yang keduanya adalah “urang awak” yang memaparkan dunia pendidikan di negara mereka bertugas, saya pun memilih untuk sedikit berbicara soal pendidikan di Australia. Seminar yang dipandu oleh Fasli Jalal menghadirkan pembicara lain seperti Musliar Kasim, Ganefri, Jurnalis Udin dan Firdaus Abdullah.
Saya awali dengan disklaimer bahwa saya bukanlah seorang ahli pendidikan. Saya hanya berpengalaman sebagai dosen di Australia dan menyekolahkan anak-anak sejak Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, hingga Perguruan Tinggi di rantau Sydney yang bertuah.
Selanjutnya saya mengemukakan sebuah preposisi umum. Bahwa, proses pendidikan dan hasilnya adalah buah dari sebuah peradaban. Sedangkan peradaban adalah produk dari semua lapisan masyarakat, terutama lapisan elite dari berbagai tingkatan.
Saya menyampaikan tiga poin pengamatan.
Pertama adalah soal proses dan hasil pendidikan dasar dan menengah di Australia. Saya mengamati bahwa di tingkat dasar, proses pendidikan lebih menekankan pentingnya akhlak, perilaku baik, atau “attitude” yang ditampilkan secara nyata dan terukur, bukan dalam bentuk retorika. Di pendidikan dasar, penekanan pada aspek akhlak lebih tinggi dari pada penekanan pada aspek konten dari proses pendidikan. Akhlak mendahului konten.
Akhlak di sini mencakup disiplin, sikap saling menghargai, toleransi, bisa dipercaya (thrustworthy), berkomitmen (committed), dan lain-lain. Peserta didik mendapatkan pengajaran, contoh, dan berada dalam lingkungan yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip akhlak yang baik tersebut. Peserta didik menyaksikan satunya kata dan perbuatan.
Di tingkat pendidikan menengah, aspek konten mulai mendapatkan penekanan secara bertahap. Puncaknya adalah di kelas 11 dan 12, ketika peserta didik dipersiapkan untuk ujian akhir sekolah menengah dan memasuki dunia pendidikan tinggi (universitas).
Secara umum, saya melihat bahwa peserta didik di Australia memiliki kemampuan dan keberanian mengemukanan pendapat (speak their mind) secara berterus terang. Mereka sangat paham hak-hak mereka dan akan mempertahankan hak-hak mereka tersebut baik di lingkungan pendidikan dan keluarga.
Proses pendidikan memberdayakan (empower) peserta didik. Hal ini berlaku di jenjang pendidikan dasar, menengah, apalagi di tingkat universitas. Begitulah proses pendidikan dan peserta didik yang dihasilkan oleh peradaban Australia, dan barangkali demikian pula halnya di peradaban Barat lainnya.
Secara umum bisa saya katakan bahwa produk pendidikan Australia menghasilkan generasi muda yang berdaya, berani mengemukakan pendapat, dan bersikap dewasa.
Kedua adalah tinjauan reflektif. Menjadi bagian dari dunia pendidikan Australia sejak 16 tahun yang lalu, melihat outcome dari proses pendidikan di Sumatra Barat, terlihat bahwa peserta didik kurang berdaya, kurang berani mengemukakan pendapat, dan cederung bersikap kurang dewasa.
Soal ini, kita harus kembali pada preposisi di awal. Proses pendidikan dan hasilnya adalah buah dari sebuah peradaban. Sedangkan peradaban adalah produk dari semua lapisan masyarakat, terutama lapisan elite dari berbagai tingkatan. Kaum elite ini mencakup guru, birokrat, pemimpin politik, pemuka adat, dan pemimpin organisasi sosial. Soal ini, adakah Sumatra Barat lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia?
Satu ciri dari generasi emas Minangkabau adalah kemampuan berdialektika yang tinggi. Adakah proses pendidikan di ranah dan peradaban ranah saat ini mampu melahirkan generasi muda dengan kemampuan berdialektika yang tinggi? Yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di republik? Ini adalah pertanyaan untuk kita kunyah-kunyah bersama.
Selanjutnya, kita tentu bisa juga mempertanyakan bagaimana soal akhlak mulia yang kita harapkan menjadi outcome dari proses pendidikan. Di sinilah poin ketiga saya, sebuah catatan kecil mengenai kemungkinan inkonsistensi antara kepatuhan (obedience) dan substansi akhlak.
Sering saya amati, dimensi kepatuhan (gesture di permukaan) mengaburkan substansi akhlak. Atas dasar “kepatuhan” pada orang tua dan guru, peserta didik tidak berdaya untuk menyuarakan kebenaran, mengoreksi, dan melakukan kritik. Lingkungan sosial cenderung lebih menghargai “kepatuhan” di permukaan dan mungkin memusuhi “suara” substansi kebenaran.
Dan, sebuah pepatah usang menuliskan, “Janji biaso mukia, titian biaso lapuak”. Bukankah ini yang disebut dengan munafik, sebagaimana disinyalir oleh Mochtar Lubis di dekade 1970-an sebagai salah satu ciri utama manusia Indonesia.
Yang saya saksikan di Australia adalah keberdayaan peserta didik dalam menyatakan pendapat (speak their mind) dan mengkritisi hal-hal yang dinilai kurang benar di lingkungan yang kondusif bagi terjadinya “check and balances” di tingkat terendah di masyarakat, yaitu keluarga dan lingkungan pendidikan.
Hidup di Australia dan membesarkan anak-anak di benua Kanguru ini, di rumah, saya terbiasa dikritik oleh anak-anak, dan saya belajar dari situ. Saya tidak pernah, dan tidak bisa, membungkam mereka. Demikian pula di lingkungan profesional saya di kampus. Kembali, ini adalah soal peradaban.
Ranah perlu mengembalikan kemampuan berdialektika yang dulu pernah berjaya. Sebuah peradaban yang perlu ditemukan kembali.
Dr Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia