Cristine Dobbin: Kebangkitan Islam dan Gerakan Sosial di Minangkabau

Ibnu Khaldun

Dosen Fakultas Adab & Humaniora UIN Imam Bonjol Muhammad Nasir. (IST)

Gerakan Padri kata Cristine Dobbin mengutip E.J. Hobsbawn (1962) digambarkan sebagai sebuah gerakan dalam masa kebangkitan Islam sedunia dalam akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. Namun ia berkeyakinan, bahwa gerakan dari Minangkabau adalah gerakan yang berdiri sendiri, meskipun  berada dalam satu semangat gerakan kebangkitan Islam di seluruh dunia.

Ia juga setuju bahwa secara keseluruhan gerakan Padri merupakan ekspresi 'ketidakpuasan sosial, kebencian terhadap orang asing, dan puritanisme agama yang bercampur dalam satu gerakan. Namun, dalam bukunya Gejolak Ekonomi Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847, ia mengajak pembaca untuk melihat dan membaca fenomena gerakan ini pada konteks sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau, tempat terwujudnya gerakan Padri itu sendiri.

Ia menilai, tak kalah penting untuk memahami gerakan Padri itu sebagai sebuah evolusi masyarakat Islam di Minangkabau. Misalnya, ia tak semata melihat gerakan Padri sebagai gerakan kebangkitan Islam an sich, namun faktor pertanian justru ia lihat sebagai “trigger” yang tak boleh dikecilkan.

Jika ditinjau dari segi corak karya sejarahnya, Cristine Dobbin meletakkan gerakan Padri sebagai gerakan sosial. “Dengan cepat saya menyadari bahwa menulis tentang gerakan Padri berarti juga merekonstruksi sebuah masyarakat yang berada dalam gejolak transformasi pertanian,” demikian tulis Dobbin dalam prakata bukunya yang diterbitkan pertama kali oleh Curzon Press, London tahun 1983.

Namun, tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana hubungan antara kebangkitan Islam dengan gerakan sosial di Minangkabau itu dalam perspektif sejarawan kelahiran 28 Maret 1941 di Bishop Auckland, County Durham, Inggris itu. Batas temporal peristiwa yang diulas dalam tulisan ini adalah gerakan Padri gelombang pertama, 1803-1821 (Dobbin menulisnya 1803-1819)

Kebangkitan Kaum Terdidik

Dobbin memulai analisis kebangkitan Islam dalam masyarakat Minangkabau melalui jalur tarekat. Menurut Dobbin Tarekat bisa masuk dalam sistem surau yang sudah ada di Minangkabau sejak zaman pra-Islam tanpa pergesekan apa pun. Selain itu, tarekat bisa diterima sebagai tambahan dalam kehidupan desa dan dengan gesit dapat menerima warna lokal.

Pada abad ke-18, ada tiga tarekat sufi di Minangkabau, yaitu Naqsyabandiyah, Syattariyah, dan Qadiriyah. Ketiga tarekat ini memiliki kesamaan ciri, yaitu ketaatan para murid surau terhadap Syekh (Tuanku) yang telah mengajari mereka tentang Islam.

Menurut Dobbin, ciri-ciri khas tarekat-tarekat yang ada di Minangkabau adalah ortodoks dan egaliter. Tidak yang ditinggikan dalam ritus (mungkin maksudnya amalan) dan hukum (fikih). Artinya, kurikulum, pembelajaran dan perlakuan terhadap murid-murid tarekat relatif sama. Dalam hal amalan tarekat, semua mengamalkan bacaan wirid dan zikir yang sama. Hal-hal yang sifatnya mistis hanya diajarkan kepada beberapa murid saja yang dianggap sudah mempunyai kemampuan lebih.

Dalam amalan fikih, bagian terbesar adalah pelajaran mengenai kewajiban dasar Islam (maksudnya mungkin fikih ibadah paktis). Buku pedoman yang terkenal untuk kajian syariat adalah kitab Minhaj at-Thalibin. Kitab ini ditulis oleh Imam al Nawawi dan dipakai sebagai rujukan di seluruh surau Minangkabau.

Berdasarkan paparan Dobbin di atas, sepertinya literasi beragama itu tidak semata menunjukkan orientasi keagamaan masyarakat Minangkabau yang hanya terfokus kepada aspek tarekat. Peran Surau tarekat dalam pengajaran ilmu syari’at (fikih) dan ilmu-ilmu alat untuk mendalami agama justru terlihat signifikan.

Hal ini bisa dikonfirmasi dengan catatan Verkerk Pistorius berjudul De Priester en Zijn lnvloed op de Samenleving in de Padangsche Bovenlanden (1869). Pistorious yang seorang kontrolir Belanda mengatakan bahwa waktu itu di Minangkabau sudah banyak tempat-tempat belajar agama Islam yang muridnya mencapai ribuan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhir abad ke-18, praktik beragama masyarakat Minangkabau sudah mulai berdasarkan ilmu pengetahuan agama yang memadai. Kebangkitan kaum tarekat sebagaimana ditulis Dobbin akan lebih pas disebut dengan kebangkitan kaum terdidik.

Kaum terdidik inilah yang menjadi pionir gerakan kembali ke syari’at di kampung mereka masing-masing. Mereka ini melakukan pembaruan di nagari-nagari masing-masing disebabkan mereka sendiri merupakan bagian dari institusi yang berperan dalam pemerintahan nagari, demikian istilah yang digunakan Elizabeth E Graves  dalam bukunya berjudul Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap kolonial Belanda Abad XIX/XX (2007)

Dari Tarekat ke Syari’at

Selanjutnya, menarik membahas tesis Dobbin tentang transformasi gerakan murid-murid tarekat menjadi gerakan syari’at. Surau tarekat ini, kata Dobbin dianggap sebagai alternatif untuk cara penanganan kejadian-kejadian dalam masyarakat, terutama yang berhubungan dengan dagang. Surau tarekat yang diamati Dobbin adalah surau-surau yang diasuh oleh guru tarekat Syattariah, dengan Tuanku nan Tuo sebagai tokoh sentralnya.

Tuanku Nan Tuo melakukan misi khusus. Ia mencoba membujuk desa-desa di dekatnya untuk menerima hukum Islam dalam berdagang. Mula-mula, Tuanku Nan Tuo mencari tempat-tempat penahanan orang-orang yang diculik dan yang akan dijual sebagai budak. la juga mencari  daerah-daerah yang melanggar peraturan dan ketetapan [Islam]. Desa-desa mereka diserbu dan ditahan. Dengan tindakan itu, para perampok menjadi takut merampok dan menjual orang-orang tahanan mereka.

Usaha itu berhasil dan menjelang pertengahan tahun 1790-an, daerah Empat Angkat mengalami kemajuan besar dalam pengaturan urusan dagang. Tuanku Nan Tuo pun akhirnya dikenal sebagai pelindung para pedagang, tulis Dobbin dengan mengutip Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) Fakih Shaghir berjudul “Alamat Surat Keterangan daripada Saya Fakih Saghir Alamiyah Tuanku Sami’ Syeikh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo Jua Adanya Wallahulhadi Ila Sabiil al Rasyad” yang ditulis sekitar tahun 1823.

Revolusi para Pedagang Muslim

Lalu, apa motif sebenarnya dari usaha Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya itu? Dobbin mengungkapkan bahwa kejadian itu terkait dengan berkembangnya perniagaan kopi dan akasia di Minangkabau, terutama di wilayah Agam Tuo (Oud Agam).

Melihat catatan Syekh Jalaluddin Fakih Saghir di atas, meskipun ada kemajuan perdagangan akibat usaha Tuanku nan Tuo di Empat Angkat, tapi tidak berlaku untuk di daerah yang lain. Misalnya untuk daerah Pandai Sikek yang akan diceritakan setelah ini.

Peran murid-murid Syattariah akan terlihat berbeda di setiap daerah, misalnya di daerah Kamang. Para murid dan pengikut tarekat Syattariah pada umumnya adalah pedagang. Mereka banyak yang sukses dan kaya dalam perdagangan, sehingga mampu menunaikan ibadah haji ke Makkah, misalnya Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, kata Dobbin.

Ketiga haji itu sempat menyaksikan revolusi Wahabi di Makkah dan dianggap menginspirasi ketiga haji tersebut. Haji Miskin sepulang dari haji kembali ke Pandai Sikek dan dimintai bantuan oleh Datuk Batuah, penghulu nagari Pandai Sikek untuk memperbaiki tata tertib perdagangan kopi dan akasia yang sedang berkembang di pasar nagari Pandai Sikek, dengan pengetahuan agamanya.

Datuak Batuah menilai tradisi jelek di pasar nagari itu berpengaruh kepada anak nagari. Mereka yang terlibat dalam aktivitas pasar menghamburkan uang dengan berjudi, mabuk-mabukan dan adu ayam. Akibatnya sering terjadi kerusuhan, perkelahian, pembunuhan hingga perampokan. Ia khawatir keadaan itu dapat mengganggu kesinambungan pasar.

Upaya perbaikan itu gagal. Akhirnya Haji Miskin membakar balai Pasar Pandai Sikek yang dijadikan gelanggang judi, mabuk/candu, adu ayam tersebut. Usai pembakaran balai, Haji Miskin melarikan diri ke Koto Laweh dan mendapat perlindungan dari Tuanku Pamansiangan (guru tarekat Syattariyah).

Hubungan Datuk Batuah dengan Haji Miskin di atas menurut Dobbin merupakan satu contoh dari hal yang banyak terjadi dalam gerakan Padri, yaitu kerjasama antara penghulu dan guru agama untuk memperkenalkan tata tertib baru dalam masyarakat Minangkabau. Karena itu, Dobbin menilai jika ada pemikiran bahwa gerakan Padri dilancarkan semata untuk menyerang sistem penghulu tanpa kompromi adalah pendapat yang  menyesatkan.

Tidak jauh beda dengan kesimpulan Buya Hamka dalam bukunya Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982). Kata Hamka, “di banyak nagari faham baru itu diterima oleh kaum adat dengan sukarela. Banyak pengulu-pengulu dan ninik mamak yang menjadi orang penting dalam gerakan itu. Terutama di Luhak Agam.”

Sedangkan, upaya yang dilakukan murid-murid Syattariah itu dapat dianggap sebagai kritik para pedagang yang terdidik dengan pengetahuan agama dan menuntut agar syari’at Islam diterapkan dalam perdagangan. Bahwa para pedagang Padri itu anak nagari jua adanya.

Sebagai kesimpulan, apa yang dimaksud kebangkitan Islam oleh Dobbin dapat disebut sebagai kebangkitan pendidikan dan pengetahuan agama sebagai elan vital yang menggerakkan revolusi sosial Padri pada masa itu.


Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas
Langgam.id - Penetapan Hari Jadi Sumatra Barat (Sumbar) 1 Oktober telah melalui proses yang panjang, banyak tanggal yang diusulkan.
Hari Jadi Sumbar 1 Oktober Usulan dari Almarhum Mestika Zed
Menyoal Kepres SU 1 Maret, Keliru Fakta Sejarah Hingga Tak Sebut PDRI
Menyoal Kepres SU 1 Maret, Keliru Fakta Sejarah Hingga Tak Sebut PDRI