Cerita di Balik Penetapan Hari Bela Negara Zaman Presiden SBY

Cerita di Balik Penetapan Hari Bela Negara Zaman Presiden SBY

Mantan Mendagri Gamawan Fauzi dan Wartawan Senior Hasril Chaniago saat berdiskusi di kantor langgam.id. (Foto: Hendra Makmur)

Langgam.id - Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk di Sumatra Barat pada 19 Desember 1948 telah berusia 73 tahun pada Minggu (19/12/2021) ini. Puluhan tahun tak diakui sejarah nasional, pada 2006 baru mendapat pengakuan pemerintah pusat.

Pengakuan itu datang seiring Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28 Tahun 2006 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY). Kepres tersebut menetapkan tanggal 19 Desember saat dimulainya perjuangan PDRI sebagai Hari Bela Negara.

Mantan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi yang juga mantan menteri dalam negeri pada masa Presiden SBY dalam perbincangan dengan langgam.id pada Senin (15/11/2021), menceritakan upaya meminta pengakuan pemerintah pusat atas perjuangan PDRI itu. Juga hadir dalam diskusi tersebut, Wartawan Senior Hasril Chaniago yang juga penulis sejarah.

Terungkap dalam diskusi itu, upaya untuk memasukkan PDRI dalam sejarah nasional, telah dilakukan sejak zaman orde baru, pada masa Gubernur Hasan Basri Durin. Tak berhasil, upaya itu kembali dilakukan pada saat Gamawan jadi gubernur Sumbar. Kekompakan pemerintah provinsi, sejarawan, veteran pejuang dan tokoh masyarakat, akhirnya membuka mata pemerintah pusat.

Perjuangan PDRI pada 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949 yang berpusat di Sumatra Barat, sebelumnya selama puluhan tahun seperti terlupakan dalam sejarah nasional. Sehingga, Kepres tersebut menjadi sangat berarti. "Inilah satu-satunya kejadian bersejarah di luar Pulau Jawa yang diperingati sebagai hari besar nasional," kata Gamawan.

Baca Juga: Teror Cocor Merah di Langit Bukittinggi, Hitungan Jam Jelang PDRI

Menurutnya, upaya meminta pengakuan atas perjuangan PDRI ia bicarakan langsung pada SBY saat awal menjabat gubernur pada 2005. "Saya bicara pada Pak SBY. Ini ada suatu hal yang sangat penting bagi orang Sumatra Barat. Bagi nasional, ada sesuatu yang harus diluruskan," ujarnya.

Gamawan kemudian menjelaskan tentang perjuangan PDRI pada SBY. "Awalnya Presiden tidak mengomentari. Beliau hanya mengangguk-angguk. Beliau tak mengulasnya," tutur Gamawan.

Ia juga menceritakan soal PDRI pada Mohammad Ma'ruf yang jadi menteri dalam negeri saat itu. "Waktu saya satu mobil dengan Pak Ma'ruf, saya sampaikan juga bahwa saya sudah bicara dengan Pak SBY. Beliau mengatakan, biar nanti saya tanya pada presiden."

Awalnya, Presiden tak terlalu menanggapi. "Tapi, kami tak berhenti. Ketika pertemuan bilateral Presiden SBY bersama belasan menteri dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi di Bukittinggi, kembali kami sampaikan," ujarnya.

Pada 12-13 Januari 2006, Presiden SBY memang menggelar pertemuan bilateral dengan Badawi di Bukittinggi. SBY yang saat itu didampingi 16 menteri dan para pejabat pemerintah berada di Sumbar selama empat hari pada 11-14 Januari. Di sela-sela pertemuan itu, SBY menyempatkan diri menerima kunjungan sejumlah komponen masyarakat.

Saat itu, menurut Gamawan, empat delegasi tokoh Sumbar meminta waktu untuk menemui presiden. "(Acara utama) Presiden SBY berunding dengan PM Malaysia. Kekosongan waktu itu kita minta bertemu presiden," tuturnya.

Empat delegasi masyarakat Sumbar yang bertemu presiden saat itu adalah dari tigo tungku sajarangan (ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai), kemudian para veteran pejuang yang tergabung dalam Dewan Harian Daerah (DHD) 45, Yayasan Peduli PDRI, serta wartawan dan budayawan.

Wartawan Senior Hasril Chaniago cum penulis sejarah yang hadir saat itu, menceritakan pertemuan tersebut. "Presiden SBY kan (relatif) lama di sini, empat hari. Pertama kali presiden sampai empat hari di daerah. Hal itu dimanfaatkan dengan mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan meminta bertemu presiden," tuturnya.

Para tokoh yang hadir saat itu, antara lain Ketua LKAAM Kamardi Rais Datuk P. Simulie yang hadir bersama tigo tungku sajarangan, tokoh Yayasan Peduli PDRI Thamrin Manan dan Hasril Chaniago yang hadir dalam rombongan wartawan dan budayawan.

"Sebenarnya presiden bisa saja menerima bersamaan seluruh masyarakat Sumbar itu. Tapi, Presiden SBY saat itu bersedia menerima keempat delegasi satu persatu di Gedung Tri Arga, Istana Bung Hatta, Bukittinggi," ujar Hasril.

Wakil Ketua DPD Irman Gusman dan Gubernur Gamawan mendampingi presiden dalam pertemuan dengan para tokoh Sumbar itu. Setelah menyampaikan aspirasi, menurutnya, pesan terakhir dari semua delegasi selalu sama: soal PDRI.

Terakhir, saat hadir bersama wartawan dan budayawan, Hasril Chaniago menjadi salah satu juru bicara. "Saya sampaikan, mohon Bapak Presiden untuk bisa mendudukkan PDRI dalam sejarah ketatanegaraan kita. Karena, ini rasanya sangat penting."

Ditirukan Hasril, Presiden SBY mengatakan, "Ya, saya sudah keempat kalinya mendengar ini."

Di depan delegasi terakhir, Presiden SBY meminta Andi Mallarangeng yang jadi juru bicara presiden saat itu untuk mengontak Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra.

"Presiden mengatakan pada Yusril, menerima aspirasi masyarakat Sumbar dan penting untuk ditindaklanjuti. Di depan rombongan, langsung ia sampaikan dua arahan. Pertama, kumpulkan para ahli sejarah dan diskusikan soal ini. Kemudian, adakan seminar minimal di empat perguruan tinggi di Indonesia. Akhirnya diadakan di UI, UGM, Unhas dan Unand. Yusril yang memimpin. Itu Januari 2006."

Di Universitas Andalas (Unand), seminar tersebut diadakan pada 26 Juli 2006. Mensesneg Yusril Ihza Mahendra yang juga pakar hukum tata negara itu, menjadi pembicara kunci. Pembicara lain adalah empat sejarawan: Taufik Abdullah, Mestika Zed, Asvi Warman Adam dan Gusti Asnan.

Juga turut menjadi pembicara Pakar Ilmu Politik Ichlasul Amal dan Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie. Seminar itu merekomendasikan agar perjuangan PDRI dimasukkan dalam sejarah nasional.

Menurut Gamawan, usulan nama hari bela negara datang dari Sumbar. "Dalam surat kepada presiden, hari tersebut telah kita beri nama. Kalau Bapak setuju, namanya hari bela negara, dengan segala argumentasi."

Selain seminar, menurut Gamawan, ia intens berdiskusi dengan sejarawan dan para tokoh masyarakat. Antara lain Almarhum Sejarawan Mestika Zed dan Thamrin Manan dari Yayasan Peduli PDRI. "Istilah hari bela negara datangnya dari kita. Kita yang mengusulkan," katanya.

Pada hari nusantara, dalam rapat yang diadakan Presiden SBY, pada 14 Desember 2006, Presiden SBY memanggil Gamawan ke ruangan ganti pakaian.

"Pak Gamawan, kemarin kami sudah rapat. Kita sudah putuskan, usul Sumatra Barat itu soal hari bela negara, Bismillah segera saya tandatangani Kepresnya," kata SBY.

Mendengar itu, Gamawan menangis dan memeluk Presiden SBY. "Saya terharu, karena ini perjuangan puluhan tahun," katanya.

Gamawan mengungkapkan, perjuangan meminta pengakuan perjuangan PDRI sudah dilakukan masyarakat Sumbar sejak zaman Gubernur Hasan Basri Durin. "Ini baru pertama kali saya ceritakan pada wartawan," katanya.

Hasan Basri Durin memimpin Sumbar dua periode pada 1987 hingga 1997. Pada masa kepemimpinan Hasan, Gamawan bertugas sebagai pegawai negeri sipil di kantor gubernur. Ia sempat bertugas di Sospol, dan kemudian cukup lama menjadi sekretaris pribadi (sespri) merangkap penulis pidato gubernur, sebelum kemudian jadi kepala biro Humas. Pada 1995, Gamawan diusulkan dan terpilih jadi bupati Solok.

"Saya disuruh oleh Pak Hasan dua kali mengusulkan pengakuan PDRI. Pada zaman Presiden Soeharto, bila gubernur ingin bertemu presiden, harus mengajukan inventarisasi apa yang akan dibicarakan. Itu kerja saya ketika jadi sespri Pak Hasan," katanya.

Dalam suatu kesempatan, Hasan meminta Gamawan memasukkan usulan pengakuan PDRI pada Prsiden Soeharto. "Misalnya, satu kita bicara banjir, kedua bicara ini, ketiga bicara itu, keempat bicara PDRI. Hal yang diajukan, dipaparkan agak tiga alinea. Itu saya yang mengerjakan dulu ketika jadi sespri gubernur."

Ketika Gubenur Hasan pulang dari Jakarta, Gamawan menanyakan bagaimana pembicaraan dengan presiden soal PDRI. "Pak Hasan mengatakan, Pak Harto tak mau membicarakan PDRI," tuturnya.

Dari banyak poin yang dibicarakan, menurutnya, soal PDRI selalu dicoret. Presiden Soeharto tak ingin membicarakannya.

Kemudian diadakan seminar di Jakarta. Ditunjuk Moerdiono sebagai pembuka seminar PDRI. "Ia malah tak sepatahpun bicara PDRI. Ia cerita kepahlawanan Indonesia dan sebagainya."

Semniar PDRI di Bukittinggi, Menkopolkam Soesilo Soedarman yang mewakili pemerintah. "Beliau tak menyebut-nyebut PDRI. Padahal itu seminar PDRI."

Menurut Hasril, PDRI tak ingin dibicarakan zaman Soeharto, karena pemerintah saat itu khawatir akan menutup ikon "kepahlawanan" Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Serangan umum 1 Maret 1949, memang terjadi saat pemerintahan masih di bawah PDRI. Sukarno, Hatta dan para pemimpin lainnya saat itu masih ditawan di Bangka.

Hasril mengatakan, saking pentingnya tanggal 1 Maret pada zaman orde baru, sidang umum MPR tiap lima tahun, selalu dimulai pada 1 Maret. "Sidang umum MPR selesai pada 11 Maret. Ini juga tanggal penting bagi Soeharto, karena itu adalah tanggal Supersemar," katanya.

Gagal memperjuangkan pengakuan PDRI pada zaman Soeharto, Gamawan menyampaikannya saat pada zaman Presiden SBY. "Saya sampaikan, ini saatnya pelurusan sejarah. Era keterbukaan saat ini, bukunya pun sudah terbit, tak bisa lagi diingkari."

Menurutnya, PDRI jelas adalah sejarah yang nyata. "Saya terus 'mengganggu; Pak SBY dengan argumentasi-argumentasi itu. Kalau diluruskan, ini luar biasa," kata Gamawan.

Gamawan lalu menceritakan ungkapan Thamrin Manan dan para tokoh Yayasan Peduli PDRI. "Pak gubernur, kalau ini sukses, sudah tak apa-apa kami mati. Semuanya mengatakan itu. Saya sampaikan itu pada Pak SBY. Para tokoh tersebut mengatakan itu Pak. Jangan lagi kita mengingkari sejarah ini. Sejarah nyata."

Aspirasi tersebut yang kemudian ditindaklanjuti SBY. "Hal itu yang membuat orang Sumbar sayang pada Pak SBY. Beliau tak banyak memuji. Tapi ia kerjakan," katanya.

Kini, setelah perjuangan PDRI diakui sebagai hari bela negara, saatnya bagi anak bangsa belajar pada perjuangan membela negara di masa perjuangan. Pelajaran pertama, menurut Gamawan, bagaimana para pemimpin di Bukittinggi saat itu berinisiatif mendirikan PDRI saat terjadinya kekosongan pemerintahan.

Pelajaran kedua adalah bagaimana masyarakat menghidupi, memfasilitasi dan membiayai PDRI selama tujuh bulan tanpa APBN. "Yang membiayai negara adalah rakyat. Sungguh pelajaran bagi kita bagaimana rakyat membela negaranya," tutur Gamawan. (HM)

Baca Juga

Komisi III DPR RI akan mendatangi Polda Sumatera Barat (Sumbar) dan Polres Solok Selatan untuk meninjau langsung kasus penembakan yang
Komisi III DPR RI Akan ke Sumbar, Tinjau Kasus Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
Kapolda Sumatra Barat (Sumbar), Irjen Pol Suharyono menegaskan akan mengambil langkah tegas dalam menangani kasus penembakan yang menewaskan
Kasus Penembakan di Polres Solsel, Kapolda Upayakan Pemberhentian Tidak Hormat Kepada Pelaku
Kapolda Sumatera Barat (Sumbar), Irjen Pol Suharyono, mengonfirmasi kasus penembakan yang melibatkan dua perwira polisi di Solok Selatan.
Kapolda Sumbar: Kasus Penembakan di Solok Selatan, Tersangka Sudah Diamankan
Diduga Persoalan Tambang Ilegal, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Tewas Ditembak Rekannya
Diduga Persoalan Tambang Ilegal, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Tewas Ditembak Rekannya
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Jabatan Gusti Chandra sebagai Direktur Kredit dan Syariah merangkap tugas Pjs Direktur Utama (Dirut) dan seluruh Direksi Bank Nagari,
Bank Nagari Siapkan Rp500 Miliar Ikut Danai Proyek Flyover Sitinjau Lauik