Cap Go Meh dan Toleransi Beragama di Sumatra Barat

Cap Go Meh dan Toleransi Beragama di Sumatra Barat

Dosen UIN Imam Bonjol Padang Dr. Faisal Zaini Dahlan, MAg. (Foto: Dok. Pribadi)

Sukses festival Cap Go Meh dalam rangka Imlek 2574 Kongzii di Kota Padang, Minggu (5/2/20023), menjadi bukti otentik toleransi beragama yang kondusif di Sumatra Barat (Sumbar). Stigma yang terbangun lebih sepuluh tahun terakhir tentang Sumbar yang intoleran, tertepis dengan sendirinya. Relevan dengan itu, rilis Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan oleh Setara Institute akhir 2022 lalu pun, sudah tidak lagi menempatkan Sumbar dalam urutan 10 Provinsi teratas pelanggaran (voaindonesia.com/ 01/02/23).

Kita tentu berharap agar posisi Sumbar dalam konteks kerukunan beragama ke depan semakin baik, karena akan berdampak pada sektor lain, terutama investasi dan pariwisata. Tidak ada opsi lain, kecuali semua komponen masyarakat bersama-sama menjaga kondisi aman, damai, dan penuh kerukunan di wilayah ini.  

Tionghoa di Sumatera Barat

Eksistensi etnis Tionghoa di Sumatera Barat, tepatnya Minangkabau, bukan baru kemaren, tetapi sudah melewati delapan generasi. Merujuk Victor Purcell dalam The Chinese in Southeast Asia, Erniwati (2019) mencatat tiga fase sejarah panjang. Pertama, fase relasi bisnis Kerajaan Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan Nusantara, sebagai titik pijak hubungan kedua belah pihak. Dalam konteks Minangkabau, komoditi emas menjadi daya tarik utama. Selain berbisnis terjalin pula relasi persahabatan. Raja Adityawarman enam kali mengirim utusan ke Tiongkok sepanjang 1371-1377. Bahkan menurut Aswar (1999) seperti dikutip Erniwati, salah seorang putra Raja Tiongkok pernah meminang Bundo Kandung dengan mengirim pelaminan sebagai ikatan. Tetapi perkawinan tidak terlaksana lantaran Putra Sang Raja kecelakaan di perjalanan, meski mahar telah diterima.

Fase kedua, kedatangan seiring bangsa Eropa, ketika Malaka menjadi bandar dagang terbesar Asia Tenggara abad ke-16. Menurut Erniwati, pada abad ke-17 Pariaman menjadi kota pemukiman pertama etnis Tionghoa untuk kawasan Pantai Barat Sumatera. Christine Dobbin (2016) mencatat pada 1633 dilaporkan telah ada orang Tionghoa yang menetap di Pariaman. Tahun 1660 VOC menjadikan Padang pusat ekonomi politik, sehingga pebisnis Tionghoa dan VOC menjalin kontak dagang dengan penduduk setempat. Pada tahun 1682, VOC mengangkat Lie Pit, seorang Letnan etnis Tionghoa untuk mengatur etnis Tionghoa di Padang yang jumlahnya semakin tinggi.

Fase ketiga terjadi di era Pemerintah Hindia Belanda, ketika etnis Tionghoa datang sebagai pekerja perkebunan dan pertambangan. Mereka didatangkan pemerintah Kolonial menggantikan kuli-kuli paksa eks narapidana penjara-penjara Batavia, yang mengalami krisis di penghujung 1800-an. Pada 1900, Ombilin menerima ratusan pekerja kontrak dari pusat pasar tenaga kerja Tionghoa di Singapura. Pada akhir abad 19 dan awal 20 ini, gelombang imigran etnis Tionghoa semakin massif seiring popularitas Padang sebagai sentral bisnis. Pada paruh kedua abad ke 19 saja, lebih 1500 orang bermukim di kota ini, dan secara bertahap membangun kelenteng See Hien Kiong, pengganti Kwan Im Teng yang terbakar tahun 1861. Tidak saja sebagai tempat ritual, menurut Erniwati (2007) kelenteng juga menjadi pusat pemukiman yang memunculkan Pasar Tanah Kongsi.

Akhir 1800-an, sekitar 10% populasi Padang terdiri dari etnis Tionghoa, meski jumlah itu mengalami fluktuasi. Pertambahan ini menuntut Kolonial Belanda memperluas pemukiman hingga Belakang Tangsi, yang semula hanya di sekitar Pondok. Angkanya menjadi lebih besar pasca migrasi massal di tahun 30-an. Namun perkembangan terakhir, populasi menyusut akibat eksodus pasca gempa 2009 dan isu Padang rawan tsunami.

Melansir Dinas Dukcapil Kota Padang, menurut Setiawan (2023) jumlah etnis Tionghoa di Padang tahun 2021 sekitar 20.000 jiwa. Menurut Yang (2005) seperti dikutip Ernawati (2017), awalnya pendatang Tiongkok berprofesi sebagai pedagang, pengumpul kredit, tukang gigi, pedagang kelontong, selain di bidang pertanian, pertambangan, dan tukang kayu. Tentu saja saat ini profesi itu sudah makin beragam, bahkan beberapa di antaranya terjun ke dunia politik. Artinya, etnis Tionghoa sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Kota Padang dan Sumatera Barat secara umum.

Cap Go Meh dan Toleransi Beragama

Menurut Effendi (2023), festival Cap Go Meh sebagai penutupan Tahun Baru Imlek sudah dirayakan di Padang sejak lebih dari 150 tahun yang lalu. Meski mengalami dinamika, tetapi rangkaian Imlek sudah menjadi even budaya rutin yang direspon secara positif dan akomodatif. Adaptasi etnis Tionghoa dengan masyarakat lokal ditandai antara lain munculnya bahasa “Minang Pondok” yakni bahasa Minang berdialek Tionghoa yang menjadi lokalitas. Riniwati Makmur atau Mak Yie Nie dalam Orang Padang Tionghoa, Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang (2018), mengungkap bagaimana adaptasi tersebut berlangsung sangat menarik.

Sebagaimana terhadap budaya, terhadap agama dan kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa juga disikapi dengan baik oleh masyarakat lokal. Hanura dan Arios (2020) mencatat bahwa saat ini mayoritas etnis Tionghoa Padang menganut Katolik, di samping Protestan, agama tradisional, dan Islam. Berdirinya gereja, vihara Budha, kelenteng, dan masjid di kawasan pemukiman Tionghoa dengan aman, selain menggambarkan pluralitas yang dianut sekaligus bukti nyata terbangunnya kerukunan beragama di wilayah ini. Menurut Riniwati (2018), orang Tionghoa dan Minang di Padang mampu menjaga relasi harmonis. Meski ada unsur-unsur perbedaan yang potensial konflik, namun komunikasi antarbudaya kedua etnis diwarnai fleksibilitas. Dari tujuh elemen kebudayaan Tionghoa dan Minang, terdapat dua yang berbeda, yakni sistem kekeluargaan, dan sistem kepercayaan/agama. Selebihnya, relatif sama. Baik etnis Tionghoa maupun Minang, sama-sama berkarakter budaya kolektif, etos pedagang, etos perantau, dan situasional atau sensitif terhadap situasi. Selain itu, adopsi Bahasa Minang menjadi bahasa Minang Pondok adalah bentuk adaptasi fleksibilitas sebagai jalan tengah komunikasi antarbudaya.

Menurut Taufik Abdullah (1971) etnis Minang dengan sistem sosial dan kulturnya mengkonstruk masyarakat terbuka, siap, dan fleksibel terhadap perubahan. Karakteristik ini menjadi faktor penting dalam dinamika sosial yang tampak dari modernisasi awal abad ke-20 pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat Minangkabau, sebagaimana dicatat Dobbin (2008) maupun Hadler (2010). Berfikir rasional juga menjadi ciri khas orang Minang. Karena itu persepsi tentang resistensi berlebihan orang Minang menyikapi isu-isu sosial politik keagamaan mutakhir, patut dipertanyakan. Jauh-jauh hari sebelum wacana kerukunan, toleransi, maupun inklusivisme beragama muncul, beberapa ulama Minangkabau justru sudah jauh lebih maju, bahkan ada yang menilai terlalu maju. Barangkali perlu dikutip pernyataan Buya Hamka dalam magnum opus-nya Tafsir Al-Azhar ketika menafsirkan QS. Al-Fatir: 24 bahwa: “Sebab itu mungkin saja Kong Hu Tsu atau Buddha, atau Socrates di Yunani dan lain-lain, mereka itu Nabi juga” (hal. 5924). Hebatnya, respon orang Minang dalam menyikapi label intoleran itupun tidak emosional dan reaktif. Semarak Imlek dan festival Cap Go Meh yang disaksikan ribuan pasang mata masyarakat Padang lintas etnis dan agama, tampaknya sudah cukup menjawab stigma itu. (*)

Faisal Zaini Dahlan adalah Dosen Studi Agama-Agama di UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

Berburu Takjil Antaragama
Berburu Takjil Antaragama
Perayaan Cap Go Meh pada tahun ini tidak dilaksanakan di Kota Padang. Tidak digelarnya puncak perayaan Imlek ini disebabkan karena adanya
Tahun Politik, Cap Go Meh 2024 di Padang Ditiadakan
Gosip Online
Gosip Online
Jokowi Sumbar, pengamat,
Dinamisnya Pencalonan Presiden
Hormati Gurumu, Sayangi Teman
Hormati Gurumu, Sayangi Teman
Ironi Pindah KK Demi Zonasi
Ironi Pindah KK Demi Zonasi