Koalisi partai politik menghadapi Pemilu Presiden 2024 semakin terbentuk. Paling tidak sudah ada dua koalisi partai politik yang sudah mendeklarasikan kerjasama mereka. Misalnya, Koalisi Indonesia Bersatu terdiri dari Golkar, PAN dan PPP. Koalisi partai lain yang mengikuti adalah Gerindra dan PKB. Walaupun belum dideklarasikan koalisi antara Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS, nampaknya juga akan segera menyusul. Bagaimana dengan PDI Perjuangan? Beberapa hari yang lalu, rombongan PDI Perjuangan yang dipimpin oleh Puan Maharani mengunjungi Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Tentu tujuan kunjungan ini juga terkait dengan penjajakan koalisi yang ingin dibangun menghadapi Pemilu 2024.
Sebenarnya tanpa berkoalisi pun PDI Perjuangan sudah bisa mengajukan calon presidennya sendiri. Dengan jumlah 128 kursi di DPR, PDI Perjuangan sudah melewati nilai ambang batas pencalonan yang hanya mensyaratkan 115 kursi. Akan tetapi, PDI Perjuangan sangat paham selagi bisa menjalin koalisi tentu ini pilihan yang terbaik. Apalagi jika calon presiden yang diusungnya dapat diterima baik oleh partai koalisi.
Syarat Ideal
Memang tidak mudah bagi partai politik membangun kesepahaman siapa calon presiden yang layak diusungkan bersama. Selain peluang keterpilihan calon yang diusung, juga harus dipertimbangkan kekuatan modal yang dimiliki. Bagaimana tidak. Peluang calon untuk terpilih sangat bergantung pada kekuatan figur calon presiden apakah bisa diterima oleh masyarakat atau tidak. Karena tidak heran, hari ini calon presiden dan tim pemenangan mereka berlomba-lomba membangun kesan (image) yang positif untuk calon presiden ini. Rosenberg dan Cafferty (1987) dalam artikelnya The images and the vote manipulating voters' preferences menilai, terlepas dari afiliasi politik dan posisi isu yang berkembang, ternyata kualitas personal seorang kandidat mempengaruhi pilihan pemilih. Selain itu, bagaimana kandidat memproyeksikan tampilan dirinya secara nonverbal ke masyarakat juga memiliki pengaruh cara pandang peilih terhadap kandidat. Apalagi kalau partai politik dapat "memanipulasi" seperti apa kandidat yang diinginkan publik, maka publik akan lebih mudah terpengaruh untuk memberikan dukungannya.
Untuk mengetahuinya tentu dengan riset kuantitatif melalui survei yang juga lazim dilakukan oleh lembaga independen. Pada dasarnya survei yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah calon presiden yang akan diusung dikenal dan disukai masyarakat atau tidak. Karena bagaimana pun, masyarakat sebagai pemilih memiliki persepsi dan harapan seperti calon presiden yang diinginannya. Di sinilah partai politik bisa mengukur peluang keterpilihan calon presiden mereka. Memang banyak faktor yang akan menentukan keterpilihan seorang calon presiden. Namun, langkah awalnya tetap saja harus dimulai seberapa popular calon tersebut dan apakah diterima oleh masyarakat atau tidak pencalonan dirinya sebagai presiden.
Hal lain juga perlu menjadi pertimbangan adalah kekuatan modal yang juga dibutuhkan dalam Pemilu. Modal digunakan untuk menggerakan mesin politik yang berasal dari partai politik dan jejaring yang dibentuk oleh tim. Apalagi dinamika Pemilu di Indonesia dalam hal pembiayaan Pemilu memang agak berbeda dengan negara-negara yang sudah matang dalam melaksanakan demokrasi elektoral ini. Di negara-negara yang sudah mapan berdemokrasi ada proses penggalangan dana kampanye untuk calon presiden yang bersumber dari publik. Bahkan penggalangan dana ini bisa menghasilkan dana yang fantastis untuk membiayai kampanye calon presiden yang mereka dukung. Namun, di Indonesia upaya penggalangan dana kampanye untuk calon presiden memang sulit dilakukan. Akibatnya calon presiden akan berusaha sendiri membiayai kampanyenya. Kalaupun ada bantuan yang diberikan korporasi dan perorangan tentu jumlahnya sangat terbatas dan publik wajib tahu dari mana sumbernya dan berapa jumlahnya sesuai dengan aturan perundang-undangan. Karenanya tidak heran dari pengumpulan dana kampanye ini tidak akan pernah maksimal sehingga pembiayaan kampanye ini memang dibebankan kepada calon presiden.
Terserah Ketum?
Oleh karena itu, kekuatan modal yang dimiliki calon presiden ini juga akan menjadi pertimbangan koalisi partai politik untuk mendukung atau tidak mendukung calon yang mereka sepakati. Besarnya biaya pemilihan presiden yang harus ditanggung oleh setiap calon tidak serta merta menjadi tanggung jawab partai politik. malah dalam praktiknya, tidak sedikit partai politik yang mengajukan dana kepada calon presiden untuk membiayai mesin politiknya. Ini memang ironi dalam praktik demokrasi elektoral kita yang berbiaya mahal. Karena keadaan seperti inilah yang mendorong calon presiden mencari biaya kampanye dengan berbagai cara, termasuk meminta bantuan kepada pengusaha. Tentu pembiayaan yang didapatkan ini memiliki implikasi politik serius ketika Pemilu selesai dan calon presiden yang mereka dukung memenangkan Pemilu ini.
Faktanya, beberapa partai politik memang sudang melakukan proses seleksi dan nominasi calon presiden untuk Pemilu 2024. Di tahap awal tentu partai politik ini akan memperhatikan sisi kualitas personal calon presiden dan kekuatan modal yang mereka miliki. Proses seleksi dan nominasi ini juga dilakukan dengan berbagai cara seperti menampung usulan pengurus daerah, konvensi internal, dan menjaring aspirasi publik melalui survei yang dilakukan. Akan tetapi yang perlu menjadi perhatian bahwa pada akhirnya yang menentukan siapa calon presiden ini adalah Ketua umum (Ketum) partai politik. Hampir semua Ketum Partai politik memiliki hak veto. Misalnya, PDI Perjuangan sudah menegaskan bahwa calon presiden ditentukan oleh Ketumnya Megawati Soekarnoputri. Koalisi Indonesia Bersatu pun begitu. Calon presiden sudah jelas akan ditentukan oleh hasil kesepakatan antara Airlangga Hartarto (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), dan Suharso Manoarfa (PPP). Bagaimana dengan koalisi Gerindra dan PKB? Sama saja. Penentuan calon presiden dari koalisi dua partai ini adalah kesepakatan yang dibuat oleh Prabowo Subianto dan Muhamin Iskandar. Bahkan Partai Nasdem yang sudah mendeklarasikan nama Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa sebagai calon presiden, pada akhirnya juga akan ditentukan oleh Surya Paloh. Tinggal bagaimana Partai Nasdem meyakinkan Partai Demokrat dan PKS untuk mendukung apa yang diputuskan oleh ketua koalisi yang digagas oleh Partai Nasdem ini.
Baca juga: Kursi Wawako Padang Masih Kosong, Pengamat: Bukti Buruknya Komunikasi Parpol Pengusung
Realita ini adalah implikasi belum terbentuknya mekanisme demokrasi yang baik di interal partai politik. Bahkan suara masyarakat yang menginginkan calon presiden tertentu untuk dicalonkan harus berhadapan dengan veto Ketum masing-masing partai. Jadi masyarakat jangan terlalu berharap banyak dengan calon presiden yang sesuai dengan harapan mereka jika realitanya tidak sejalan dengan "selera" Ketum partai politik.
_
Asrinaldi A
Dosen Ilmu Politik dan Studi Kebijakan Universitas Andalas