Buya Piri, Ulama yang Bersahaja

Buya Piri

Almarhum Syafri Malin Mudo atau Buya Piri. Foto: Yose Hendra

Langgam.id - Romannya selalu menghiasi layar kaca bila bulan puasa Ramadan menjelang. Ia (dan tentu saja aliran tarekatnya) disorot lantaran selalu berselisih waktu dengan pemerintah dalam penetapan Ramadan maupun Idul Fitri.

Ramadan 1441 Hijriah yang nelangsa baru berlalu seminggu lalu, menjadi terakhir bagi ia; Buya Piri demikian panggilan akrabnya. Di tahun mendatang, kita tak akan lagi melihat wajahnya.

Sabtu (30/5) malam, kabar buruk itu berhembus kencang dari satu layar ponsel ke layar ponsel lainnya. Warta berpulangnya Syafri Malin Mudo alias Buya Piri. Ia meninggal di usia sekitar 80 tahun.

Buya yang disematkan pada panggilannya ‘Piri’, tentu bukan tanpa sebab. Buya adalah sebutan bagi ulama besar di tanah Minang, seperti halnya kiai di Jawa.

“Kepantasan seseorang disebut buya bila memenuhi setidaknya dua hal; apakah punya surau dan jamaah,” kata almarhum Mestika Zed— Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang, dalam sebuah perbincangan beberapa waktu silam.

Dan Syafri Malin Mudo memenuhi sebuah persyaratan itu, mengapa dia digelari buya.  Bahkan lebih dari itu. Ia adalah mursyid tarekat Naqsyabandiyyah di kawasan Pauh, Kota Padang.

Mursyid, sebutan guru dalam istilah tarekat, adalah pucuk pimpinan tertinggi dalam dunia persufian. Boleh disebut ‘Yang Dipertuan Agung’.

Dalam dunia pertarekatan, mursyid satu-satunya orang yang berwenang untuk membaiat seseorang yang hendak masuk tarekat. Ia juga tentunya menjadi imam dalam segala aktivitas amalan dari tarekat.

Pada perjumpaan tiga tahun silam, Buya Piri menyebut tarekat Naqsyabandiyyah yang dipimpinnya memiliki jamaah sekitar 1500 orang. Jamaahnya tersebar di beberapa daerah di Sumatra Barat, bahkan hingga ke Riau, Jambi, dan Bengkulu.

Selain jamaahnya yang tergolong jumbo, Buya Piri juga punya surau. Keseharian dan aktivitas ibadah tarekatnya dipusatkan di surau tersebut.

Sah, kelayakan dia digelari buya tak perlu disangsikan lagi.

Khalifah ke-5

Buya Piri merupakan khalifah ke-5 Tarekat Naqsyabandiyyah di Pasar Baru, Kecamatan Pauh yang berpusat di Surau Baru dan  Tarekat ini pertama kali dikembangkan oleh Syekh Muhammad Thaib tahun 1906.

Sedari kecil ia telah tumbuh dalam lingkungan tarekat yang kuat. Ia adalah trahnya Syekh Muhammad Thaib. Keluarga dari garis ibunya, seperti halnya Syekh Thaib, banyak menjadi guru-guru Tarekat Naqsyabandiyyah sekitar Pauh dan Lubuk Kilangan.

Sementara ayahnya yang bernama Yunus, merupakan ulama Tarekat Syattariyyah di sekitar Kuranji, tidak jauh dari Pauh.

Umur 8 tahun, di tahun 1948 ia sudah menjadi piatu. Ibunya benama Jaliyah meninggal. Tak lama kemudian, ayahnya beristri kembali. Ayahnya menitipkan ke adiknya paling kecil yang dipanggil Mak Ketek. Hingga muda, ia bersama Mak Ketek tumbuh di sebuah surau  sekitar Limau Manis.

“Saya dibesarkan dengan 3 ekor ayam. Ayam betina 2 ekor, jantan 1 ekor. Ketiadaan biaya, sekolah saya hanya sampai kelas 2 Sekolah Rakyat,” ujarnya.

Kendati tidak tinggal serumah, ayahnya tetap menjaga dia terutama menyangkut spritualitas. Ia masih ingat, ketika masih remaja, ayahnya mengasih buku tentang tarekat dengan judul lebih kurang berbunyi Awal Jalan.

Kemudian hari, Syafri yang berprofesi sebagai pandai besi sejak muda, tidak bisa mengelak dari panggilan jalan tasawuf melalui tarekat. Apalagi dua trah yang memayunginya aktif di dua tarekat yang berpengaruh di Minangkabau.

“Untuk mendekatkan diri kepada Allah, guru saya yang bernama H. Angku Latief beramanah, jika kelak ia meninggal, saya harus masuk ke Surau Baru (pusat Tarekat Naqsyabandiyyah). Saya tolak, malah saya masuk ke Syattariyyah, karena ayah saya orang Syattariyyah. Di Syattariyah dari tahun 1965-1975. Setelah itu saya masuk Tarekat Naqsyabandiyyah,” jelasnya.

Sejak 1992, Buya Piri resmi diangkat menjadi khalifah Surau Baru menggantikan Buya Munyar yang meninggal dunia. Hanya dua tahun di Surau Baru, ia lalu pindah dan memusatkan tarekat tersebut di Musalah Baitul Makmur seiring selesainya pembangunan.

Surau permanen hasil jerih payahnya tersebut berupa bangunan semi permanen yang terdiri dari dua lantai. Pada lantai bawah, aktivitas salat dan zikir berjamaah dilangsungkan. Sementara lantai dua berfungsi sebagai ruang suluk.

Tukang Pandai Besi

Kendati menjadi pemimpin tarekat, bukan berarti Buya Piri hanya memikirkan urusan akhirat. Ia membalikkan paradigma orang bersuluk. Meninggalkan duniawi, fokus memikirkan surgawi. Kerja hanya ibadah saja, stigma orang bertasawuf.

Buya Piri tidak melupakan tanggung jawab sebagai suami dan amanah seorang ayah. Untuk urusan ini, ia bekerja sebagai pandai besi di Bandar Buat. Pekerjaan tersebut telah dilakoninya sejak muda, hingga pensiun beberapa tahun terakhir.

“Anak saya Jafrizal menyuruh untuk berhenti menjadi tukang besi. Dia bilang ayah cukup di surau saja. Untuk bengkel besi ini, biar saya menggantikan,” katanya.

Dari profesi besi, ia bisa menyekolahkan anaknya meski tidak semuanya sampai jenjang kuliah. Salah seorang anaknya yakni Alfitman, bahkan menjadi dosen Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas.

Menjadi mursyid bukan berarti membunuh keduniawiannya. Ia tetap hadir di tengah masyarakat. Ia pun sewaktu-waktu pergi memancing untuk menyalurkan hobi.

Selain beribadah, Tarekat Naqsyabandiyyah di Pasar Baru ini juga mengajarkan silat Pauh Limo setiap malam Rabu dan malam Sabtu. Latihan ini terbuka untuk masyarakat umum.

Pelatih silat adalah Buya Piri sendiri. Tradisi melatih silat ini telah dimulai sejak berdirinya Musala Baitul Makmur pada tahun 1990. Tempat latihannya adalah di halaman musala. Ini juga terbuka untuk umum.

Di hari tua ini, Buya Piri lebih banyak menghabiskan waktu di surau. Untuk urusan keuangan, ia bilang sederhana, Allah sudah menentukan rezeki kita masing-masing. Sebagai orang siak, ia diundang untuk memimpin doa, dan di sana kadang ia dapat rezeki. Bukan dari ia sebagai pemimpin tarekat Naqsyabandiyyah.

“Tidak ada iuran wajib kepada guru dalam kamus tarekat Naqsyabandiyyah. Kalau terniat sedekah, yah bersedekah,” ujar ayah dengan anak empat orang ini.

Buya Piri dengan status mursyid, tak berjarak dengan masyarakat. Musala Baitul Makmur terbuka bagi siapa pun yang ingin beribadah. Tak harus penganut tarekat Naqsyabandiyyah.

Ia juga dikenal pandai mengobati penyakit tertentu. Maka, tak mengherankan bila hari-harinya juga disibukkan dengan kedatangan orang-orang yang ingin berobat secara tradisional. Sekali lagi, tak ada tarif dalam pengobatan ini. Ilmu ikhlas.

Di masa tua sebelum ajal menjemput, Buya Piri juga berkutat mengelola julo-julo.

Ia juga tempat bertanya bagi siapa saja atau sumber informasi bagi kaum intelektual atau peneliti yang ingin meneliti tentang tarekat Naqsyabandiyyah. (Osh)

Baca Juga

Bagi saudara-saudara yang merasa mau melindungi UAS dengan hastag #saveuas, secara tidak sadar saudara merendahkan beliau sebagai ulama,
Ulama-ulama Penyangga Negeri
Ahli Faraidh yang Kokoh dan Bersemangat Itu Telah Berpulang
Ahli Faraidh yang Kokoh dan Bersemangat Itu Telah Berpulang
Syekh Muhammad Sa'ad Mungka: Syaikhul Masyaikh Ulama Minangkabau
Syekh Muhammad Sa'ad Mungka: Syaikhul Masyaikh Ulama Minangkabau
Jejak Intelektual Syekh Mudo Abdul Qadim: Ulama Besar Penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah
Jejak Intelektual Syekh Mudo Abdul Qadim: Ulama Besar Penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah
Langgam.id - Ketua DPD Partai Gerindra Sumbar, Andre Rosiade mengaku salut dengan komitmen Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar.
Andre Rosiade Salut Komitmen Erman Safar yang Kucurkan APBD Rp15,3 Miliar untuk Umat dan Ulama
Langgam.id - Syekh Haji Adam BB merupakan seorang ulama terkemuka asal Padang Panjang yang tercatat hingga pertengahan abad ke-20.
Mengenal Sosok Syekh Adam BB, Ulama yang Juga Pandeka dari Padang Panjang