Mohammad Natsir (1908-1993) dan Sukarno (1901-1970) dan tokoh-tokoh lain di tahun 1930-an pernah berpolemik. Adu pemikiran dan gagasan itu berintikan masalah-masalah nasionalis-islami dan nasionalis-sekuler. Lalu, isu Islam serta masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan.
Natsir menolak faham kebangsaan sekuler yang berintikan fanatisme bangsa sempit, tetapi ia menerima apa yang dinamakannya sebagai kebangsaan Muslimin yang berintikan cinta bangsa, semangat persatuan, persaudaraan Islam, kesadaran membela muruah dan cita-cita menegakkan Islam.
Pada masa ini M. Natsir menulis berbagai artikel dengan nama samaran A. Muchlis dalam beberapa media seperti Panji Islam dan Al-Manar. Kebanyakan artikel dan tulisannya merupakan tangkisan terhadap serangan dan hujatan Sukarno dan orang yang sealiran dengannya.
Di antara tulisan-tulisan Natsir itu berjudul : (1) Cinta Agama dan Tanah Air; (2) Ikhwanusshafa (Mei 1939); (3)Rasionalisme dalam Islam (Juni1939); (4) Islam dan Akal Merdeka (1940); (5) Persatuan Agama dengan Negara.
Agama ke Samping
Selanjutnya sebagai reaksi terhadap pidato Bung Karno yang memberi advis supaya meletakkan agama ke samping dalam pergerakan kebangsaan Indonesia, Natsir mengajukan beberapa pokok pemikiran antara lain :
1. Islam bukan semata-mata agama yang mengatur ibadah kepada Allah saja, tetapi meliputi tata cara hidup di atas dunia ini sebagai orang-perorangan, bermasyarakat dan bernegara.
2. Islam menentang penjajahan manusia atas manusia, oleh karena itu umat Islam wajib berjuang untuk kemerdekaannya.
3. Islam memberi dasar-dasar tertentu untuk satu negara yang merdeka dan itulah ideologinya.
4. Umat Islam wajib mengatur negara yang merdeka itu atas dasar-dasar bernegara yang ditetapkan oleh Islam.
5. Tujuan ini tidak akan tercapai oleh umat Islam apabila mereka turut berjuang mencapai kemerdekaan dalam partai kebangsaan semata, apalagi yang sudah bersifat membenci Islam.
6. Oleh karena itu umat Islam harus masuk dan mempekuat perjuangan mencapai kemerdekaan yang berdasarkan cita-cita Islam dari semula. ( MN Nahrawi, 1979: 46 ).
Mulai dari saat itulah Natsir mencanangkan ideologi Islam, nasionalisme Islam dan fundamentalisme Islam serta mengemukakan garis pemisah antara perjuangan kemerdekaan yang berdasarkan kebangsaan oleh Soekarno dan pendukungnya dengan perjuangan kememerkaan dengan cita-cita Islam.
Keadaan itu niscaya menjadi renungan Natsir. Berjuang hanya dengan pena dan kata-kata nampaknya tidak cukup. Oleh karena itu Natsir meningkatkan perjuanganya terjun langsung ke dunia politik praktis.
Inilah wujud jalur ketiga Natsir dalam memperjuangkan Islam pada masa ini masuk organisasi sosial dan politik. Ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond Bandung dan menjadi ketua 1928-1932. Lalu bersama-sama temannya di Pembela Islam masuk ke PSII dan menyokong partai tersebut yang pada waktu itu di bawah pimpinan Haji Agus Salim dan HOS Cokroaminoto, selanjutnya beliau masuk ke Partai Islam Indonesia (PII) pada 1939.
Polemik Soekarno Natsir akhir 1920-an dan awal 1930-an berlanjut kepada masa berikutnya. Pada sekitar 1940 muncul tulisan Sukarno dalam lima judul dalam majalah Panji Islam yang intinya adalah:
- Umat Islam harus mengembangkan ijtihad dan menggunakan rasio yang mengarah kepada sekularisasi dan bila perlu melebur diri dalam kebudayaan Barat atas nama modernisasi seperti yang dilakukan oleh gerakan Turki Muda di bawah pimpinan Kemal Pasya atau Kemal Attaturk.
- Agama harus dipisahkan dari negara dan menyerahkan agama ke tangan rakyat kembali lepas dari urusan negara, supaya agama dapat menjadi subur.
- Dalam negara demokrasi, meskipun agama dipisahkan dari negara, asal sebagian anggota-anggota Parlemen berpolitik agama maka putusan-putusan Parlemen akan berisi fatwa-fatwa agama pula.
Sebagai reaksi terhadap tulisan Sukarno tadi, Natsir mengemukakan konsepsi negara yang berdasarkan Islam yang nantinya dapat menjamin kebahagiaan umatnya di dunia dan akhirat. Konsepsi itu sebagai berikut :
"Untuk memperbaiki negara harus dimasukkan ke dalamnya dasar-dasar hak dan kewajiban antara yang memerintah dan yang diperintah. Harus dimasukkan ke dalamnya dasar-dasar dan hukum muamalah antara manusia dengan Allah yang berupa peribadatan untuk dapat menghindarkan perbuatan rendah dan mungkar.“
“Perlu ditanamkan di dalamnya budi pekerti yang luhur untuk mencapai keselamatan dan kemajuan (progress). Perlu ditanamkan falsafah yang luhur dan suci, satu ideologi yang menghidupkan semangat untuk giat berjuang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Kesemuanya telah terkandung dalam satu susunan, suatu sistim, satu kultur, satu ajaran, satu ideologi yang bernama Islam."(Ibid: 49).
Kepentingan Nasional
Dari kancah pertarungan pemikiraan, ideologi dan aliran-aliran pada masa pra kemerdekaan, sampai pasca kemerdekaan perbedaan itu secara halus tetap ada. Tetapi hilang oleh kepentingan nasional dan bangsa Indonesia yang lebih besar.
Tergetar dampaknya ada pada Natsir dan kalangan pengikutnya. Bahkan menimbulkan trauma pada tahun 1950-an dan sepanjang tahun 1960-an. Kejatuhan Presiden Sukarno tahun 1966 dan wafatnya Proklamator ini pada tahun 1970, seakan munutup polemik dua aliran besar pemikiran kebangsaan Indonesia antara Muslim Nasionalis dan Nasionalis Muslim.
Selintas nampak Natsir dan Sukarno dalam corak pemikiran berbeda, tetapi keduanya berada dalam satu garis perjuangan menuju, mempertahankan dan mengisi Indonesia Merdeka dengan cita-cita masyarakat adil dan makmur di bawah berkah Tuhan Yang Maha Esa, Allah swt.
Walaupun sepanjang masa Orde Baru 1966-1998 di bawah Suharto Natsir tetap terpinggirkan secara nasional karena kritis terhadap apa yang mereka anggap penyimpangan konstitusional akan tetapi Natsir tetap menjalankan politik kultural dari tahun 1967 sampai akhir hayatnya 1993.
Loyalitas dan kesetiaan kepada NKRI yang diperjuangkan Natsir dan diterima Sukarno mosi integral Negra Serikat-Federal menjadi Negara Kesatuan, tahun 1950 tetap tak pernah goyah.
Meski terganggu sedikit pada dekade tengah 1970-an dan awal 1980-an akan tetapi pasca reformasi Natsir berdasarkan pemikiran dan perjuangan di nasional, regional dan internasional dihargai Pemerintah dengan dideklarasikan dan dianugrahkan gelar Pahlawan Nasional Dr. Mohammad Natsir pada 10 November 2008. (*)
Shofwan Karim adalah Dosen PPs UM Sumbar dan mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar.