Oleh: Muhammad Agil Al Faras
Pelaku korupsi besar - besaran uang milik negara diamankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Foto:Merdeka.com)
Korupsi di Indonesia kerap digambarkan sebagai masalah besar yang merusak negara dan menghambat pembangunan. Namun, jarang kita dengar bahwa korupsi tidak lahir secara tiba-tiba dalam bentuk yang besar, melainkan berawal dari kebiasaan kecil yang tidak dianggap berbahaya. Ketika masyarakat membiarkan perilaku seperti mencontek di sekolah, titip absen di kampus, atau memberi “uang rokok” kepada petugas demi mempercepat pelayanan, hal itu secara tidak sadar menanamkan pemahaman bahwa pelanggaran aturan bisa ditoleransi hanya karena itu merupakan hal biasa. Dari hal-hal kecil inilah budaya terhadap kecurangan tumbuh dan pada akhirnya melahirkan korupsi yang lebih besar.
Fenomena normalisasi perilaku kecil yang tidak jujur terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya di sekolah, mencontek sering dianggap hal lumrah karena banyak yang melakukannya, sementara guru terkadang tidak banyak bicara karena menilai itu hanya bagian dari proses belajar. Di dunia perkuliahan, titip absen pun sudah menjadi kebiasaan umum, bahkan dianggap bagian dari solidaritas antar mahasiswa. Padahal, praktik-praktik tersebut mencerminkan ketidakjujuran yang secara perlahan membentuk karakter. Anak-anak muda yang terbiasa mencontek dan berbohong soal kehadiran, sifatnya akan terbawa hingga dunia kerja, di mana mereka bisa saja dengan mudah memanipulasi laporan atau melakukan mark up anggaran. Dari sini dapat dilihat bahwa integritas bukan hanya dibangun melalui aspek hukum, melainkan juga dari kebiasaan jujur yang tertanam sejak dini
Kebiasaan membenarkan tindakan kecil yang salah juga tercermin dalam pelayanan publik. Banyak masyarakat menganggap wajar memberikan uang pelicin kepada petugas agar urusannya lebih cepat. Istilah seperti “uang rokok” atau “biaya terima kasih” sering dipakai untuk melunakkan makna, padahal esensinya adalah suap dalam skala kecil. Jika budaya ini dibiarkan, maka masyarakat itu sendiri yang ikut menyuburkan praktik korupsi. Kita bisa melihat bagaimana hal ini kemudian berlanjut ke kasus besar. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir publik dikejutkan dengan maraknya kasus korupsi oleh pejabat pemerintahan. Kasus besar itu tidak akan muncul begitu saja bila sejak awal ada kesadaran kuat bahwa menerima atau memberi sesuatu di luar aturan adalah salah. Ketika suap kecil dianggap biasa, maka jalan menuju korupsi besar pun terbuka lebar.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan, masalah korupsi masih serius. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 memang naik menjadi 37, setelah sebelumnya stagnan di angka 34. Peningkatan ini menunjukkan adanya perbaikan, tetapi posisi Indonesia masih jauh di bawah Singapura yang berada di angka 84, atau Malaysia di angka 50. Data ini menegaskan bahwa kita masih punya tugas besar dalam membangun integritas bangsa. Angka tersebut tidak bisa dilepaskan dari budaya sehari-hari masyarakat yang masih mentoleransi gratifikasi kecil dan perilaku curang. Selama pola pikir ini belum berubah, maka IPK tetap akan sulit dittingkatkan. Hukum memang bisa menindak kasus besar, tetapi tanpa perubahan kebiasaan kecil di level masyarakat, akar persoalan korupsi tidak akan hilang.
Penting juga untuk memahami bahwa budaya korupsi tidak hanya merugikan negara dalam bentuk kerugian finansial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Data dari KPK menyebutkan, sepanjang tahun 2024 ada 154 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani, dengan total kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Dari jumlah itu, sebagian besar melibatkan pejabat publik yang mestinya memberi teladan. Kasus besar seperti korupsi tata kelola minyak mentah pertamina yang merugikan negara sekitar Rp285 triliun memperlihatkan bagaimana perilaku penyalahgunaan jabatan dapat menghancurkan kepercayaan publik. Namun, akar dari kasus-kasus besar ini adalah mentalitas permisif yang tumbuh dari pembenaran terhadap kecurangan kecil. Jika hal kecil ini dianggap wajar, maka ketika ada peluang lebih besar, godaan untuk melakukan korupsi besar pun sulit dihindari.
Generasi muda memiliki peran besar dalam mengubah arah budaya ini. Sayangnya, masih banyak contoh buruk yang diwariskan kepada mereka. Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar kasus korupsi yang mencuat belakangan ini melibatkan pejabat yang dulunya menempuh pendidikan tinggi, bahkan banyak di antaranya lulusan universitas ternama. Artinya, pendidikan tinggi saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan pembiasaan integritas dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa kesadaran sejak dini, penindakan hukum hanya akan jadi solusi sementara karena akar persoalannya tidak pernah diatasi.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya memperkuat regulasi dan penindakan hukum. KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian terus melakukan operasi tangkap tangan dan penyelidikan kasus besar. Sepanjang 2024, KPK mencatat ada puluhan pejabat yang ditangkap karena korupsi, mulai dari kepala daerah, anggota DPRD, hingga pejabat kementerian. Namun, meskipun banyak kasus besar terungkap, hal ini belum cukup untuk membuat masyarakat jera atau mengubah budaya yang ada. Setiap kali ada kasus baru, masyarakat cenderung marah dan mengecam, tetapi setelah itu kembali terbiasa dengan kehidupan sehari-hari yang tetap diwarnai praktik suap atau gratifikasi. Ini membuktikan bahwa penegakan hukum penting, tetapi tanpa kesadaran bersama untuk menghentikan kebiasaan kecil yang salah, lingkaran setan korupsi tidak akan pernah putus.
Kita perlu menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya soal menangkap pelaku, tetapi juga membangun budaya baru yang berlandaskan integritas. Budaya baru ini tidak bisa dibentuk hanya dengan aturan hukum, melainkan melalui perubahan kebiasaan sehari-hari. Jika di sekolah mencontek dianggap kesalahan serius, jika di kampus titip absen tidak ditoleransi, jika di layanan publik pemberian uang tambahan benar-benar ditolak, maka lambat laun masyarakat akan terbiasa dengan standar yang lebih tinggi. Perubahan budaya memang tidak mudah dan tidak cepat, tetapi harus dimulai. Tidak ada jalan pintas untuk membangun integritas, selain melatih kejujuran dari hal kecil yang sering kita temui setiap hari.
Muhammad Agil Al Faras-Mahasiswa Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas)