Langgam.id - Balai Konsevasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat (Sumbar) menyebut konflik satwa dengan manusia meningkat lantaran jumlah pakan di habitatnya berkurang.
"Konflik harimau biasanya terkait dengan pakan yang lebih utama, tidak serta-merta berkaitan dengan kerusakan habitat," ujar Kepala BKSDA Sumbar, Lugi Hartanto, Kamis (30/1/2025).
Lugi menjelaskan bahwa daerah yang paling banyak kasus konflik ini antara lain di Pasaman, Pasaman Barat dan Solok.
Ia menuturkan bahwa salah satu pakan harimau adalah babi, di samping rusa, kijang dan tapir. Kendati demikian, pakan tersebut sering diburu oleh manusia sehingga mengalami kelangkaan.
"Jadi memang kita mengimbau terkait perburuan babi itu. Kadang walaupun habitatnya terganggu, namun pakan di habitatnya tercukupi, dia tidak akan sampai keluar," beber Lugi.
Lugi mengungkapkan bahwa oleh sebab itulah harimau masuk ke permukiman warga untuk mencari mangsanya.
"Kenapa sampai nyerang ternak, dan sebagainya. Karena populasi pakan di habitatnya mungkin berkurang," tegasnya.
Baca juga: BKSDA Sumbar: Konflik Satwa dan Manusia Meningkat, Didominasi Harimau Sumatra
Dalam mengatasi konflik harimau dengan manusia yang terus meningkat, Lugi menjelaskan pentingnya peran berbagai pihak dalam menjaga kelestarian satwa tersebut. Di mana daerah kewenangan BKSDA Sumbar cukup terbatas di samping luasnya hutan Sumbar.
"Dari total 2,3 juta hektare hutan di Sumbar, wilayah keja BKSDA Sumbar hanya 247.000. Sementara 1,9 hektare dari total keseluruhan merupakan habitat harimau," jelasnya.
"Di samping itu, pembangunan yang cukup tinggi dan perburuan di kawasan hutan perlu dikurangi dalam menjaga pakan harimau tetap tersedia," tegasnya.
Sebelumnya, BKSDA Sumbar mencatat dalam empat tahun terakhir konflik satwa dengan manusia menyentuh 109 hingga 113 kasus. Pada tahun 2021 terjadi sebanyak 21 kasus, 2022 berada di angka 33 kasus.
Kemudian pada tahun 2023 mengalami peningkatan kembali menjadi 34 kasus, dan 2024 menurun menjadi 21 hingga 25 kasus. (Iqbal/yki)