Kisah klasik. Sebuah price tag polarisasi. Harus ada “lampu sein” untuk menjabat Kepala Dinas. Narasi ini kemudian bertalu-talu. Hingga, diduga menjadi penyebab wabah Kelelahan Mental (fatique) menjangkit aparatur negara. Kelelahan Mental yang telah menguras motivasi dalam menapaki jenjang karier birokrasi. Jenuh! Menunjukkan sikap pesimis. Mengabaikan kesempatan mengikuti seleksi terbuka Jabatan Tinggi Pratama.
Awal November 2022, Pemkot Padang membuka pendaftaran seleksi terbuka Calon Kepala Dinas P3AP2KB dan Calon Kepala Dinas Kominfo (Jabatan Tinggi Pratama). Dari 990 PNS Golongan IV/a (Data BKPSDM Pemkot Padang per November 2022) yang berkesempatan mengikuti seleksi, hanya (3) tiga orang yang ambil bagian dalam proses seleksi calon Kepala Dinas Kominfo. Dan jumlah yang sama, 3 (tiga) orang sebagai calon Kepala Dinas P3AP2KB.
Jika beranggapan, dari 990 PNS Golongan IV/a cuma 10 persen yang memenuhi syarat administrasi atau yang sesuai dengan pola karier, berarti lebih dari 90 orang PNS yang seharusnya ikut bersaing dalam seleksi terbuka calon Kepala Dinas tersebut. Persentase ini belum termasuk bagi PNS yang punya Golongan VI/b atau IV/c. Dan itu, jumlahnya juga tidak sedikit.
Fenomena ketidakpedulian PNS terhadap jenjang karier birokrasi tidak bisa dianggap biasa-biasa saja. Karena sudah pasti berpengaruh terhadap kualitas pejabat yang akan terpilih. Dan jabatan Kepala Dinas bukanlah jabatan main-main. Kepala Dinas mengemban tugas berat dalam memimpin, merumuskan, mengatur, membina, mengendalikan, mengkondisikan dan mempertanggungjawabkan kebijakan teknis pelaksanaan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas otonomi dan tugas pembantuan di bidang dinasnya masing-masing.
Ada harapan yang cukup besar dengan tingginya antusias PNS mengikuti seleksi terbuka calon Kepala Dinas. Harapan akan lahirnya ide-ide dan gagasan-gagasan untuk peradaban birokrasi. Transformasi ide dan gagasan inilah yang nantinya dihimpun, dikaji, dipilih, dan diimplementasikan dalam konsep-konsep visioner penyelenggaraan birokrasi. Apalagi, ide dan gagasan para calon Kepala Dinas tersebut dikemas dalam bentuk visi dan misi yang siap diuji di forum publik internal pemerintah daerah. Bisa melalui diskusi publik ataupun debat publik. Dengan demikian, perkembangan intelektual birokrasi akan menjadi hidup. Birokrasi yang kaya akan pemikiran.
Jika prosesi ini dilakukan, pertimbangan memilih Kepala Dinas berdasarkan knowledge, skill, dan attitude akan lebih mudah untuk dilakukan. Marwah jabatan Kepala Dinas pun akan kembali terangkat. Terhapusnya stigma jabatan Kepala Dinas sebagai jabatan giveaway. Dan terbantahkannya tuduhan bahwa Kepala Dinas giveaway hanya bisa menekan tombol like, share ataupun retweet.
Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/ Walikota) sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS, harus lebih jeli lagi menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan PNS. Kepala Daerah sebagai pejabat politik dan PNS sebagai pejabat karier merupakan dua pihak yang saling membutuhkan. Jabatan karir membutuhkan dukungan politik dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik yang ditetapkannya. Sedangkan, politisi membutuhkan birokrasi sebagai eksekutor atau pelaksana kebijakan publik. Pola hubungan antara keduanya harus terjaga dengan baik, sehingga terbentuk interaksi yang saling mendukung dan menguntungkan untuk kepentingan publik.
Efek elektoral PNS
Eksistensi narasi “Harus ada lampu sein untuk menjabat Kepala Dinas” yang muncul dari kalangan PNS sendiri, seolah-olah seperti sebuah vonis atas masih suburnya nepotisme dan primodialisme. Legitimasi ini tentunya berimbas pada reputasi kepemimpinan seorang Kepala Daerah. Sebuah kerugian besar bagi Kepala Daerah yang masih punya kesempatan bertarung di Pilkada 2024 dan berkeinginan memenangkan pertarungan tersebut.
Menyikapi isu-isu tentang PNS bukan saja karena berkaitan dengan tugas mulia dalam menghadirkan pelayanan birokrasi yang adil dan beradab di tengah-tengah masyarakat. Namun, lebih dekat lagi menyangkut perihal efek elektoral. Ingatan Kepala Daerah tentang efek elektoral PNS inilah yang musti juga disegarkan. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Perlakuan tidak adil atas jenjang karier birokrasi sudah mulai dirasakan PNS sejak Pilkada langsung diberlakukan sesuai amanat UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tangan-tangan kekuasan digunakan untuk mengotak-ngotakan PNS. Faksi-faksi PNS bermunculan. Dengan beragam rupa dan warna. Ada yang mengatasnamakan alumni sekolah, kampung halaman, darah keturunan, senasib sepenanggungan, hobi dan barang kesukaan. Bermacam-macam. Demi satu tujuan, memuluskan jalan dalam menapaki jenjang karier birokrasi. Arogansi jabatan.
Kemampuan mengembalikan kepercayaan PNS terhadap sistem karier birokrasi akan menjadi lompatan besar bagi prestasi kepemimpinan Kepala Daerah. Momen ini jelas sangat elegan dan jenius untuk melahirkan efek elektoral PNS secara masif. Salah satu caranya, cukup dengan menerapkan merit sistem di setiap jenjang jabatan birokrasi. Ya, di setiap jenjang jabatan birokrasi, secara terbuka, berkeadilan, transparan dengan kualifikasi, kompetensi, kinerja serta integritas, dan moralitas yang baik. Seperti yang diamanahkan Undang-Undang No. 5/2014 tentang ASN.
Menganggap enteng efek elektoral PNS merupakan kesalahan besar. PNS punya posisi strategis sebagai opinion leader. Banyak dari kalangan PNS yang mengambil peran dalam aktivitas sosial kemasyarakatan sebagai RT/RW, tokoh masyarakat, pemuka adat, pemuka agama, pengurus Ormas, LSM, LPM, majelis taklim, dan lain sebagainya. Seorang opinion leader bisa bertindak sebagai seorang konsultan, motivator, pembimbing, menjadi tempat curhat, bahkan menjadi seorang buzzer.
Dan tak kalah pentingnya, Kepala Daerah harus mengesampingkan sikap echo chamber dalam tata kelola birokrasi. Apalagi mengultuskan beberapa orang PNS saja. Karena PNS yang bermain politik praktis sangat lihai memainkan perannya dalam memberikan kenyamanan semu “Asal Bapak Senang”. Hakekatnya, permainan politik praktis PNS lebih cerdik dari Kepala Daerah itu sendiri. Loyalitas dan royalitas hanya untuk menyelamatkan kepentingan pribadi. Ketika hasil survey calon Kepala Daerah selanjutnya tidak memihak petahana, dukungan pun secepat kilat akan berpindah. Meminjam istilah Fajar Sadboy “Ibaratnya itu seperti hotspot dengan wifi. Dekat akan tersambung. Namun jauh, mencari perangkat lain agar bisa terhubung“.Wallahualam Bissawab! (*)
Ulil Amri Abdi (ASN Pemkot Padang)