Ruang perjumpaan baru yang mempertemukan umat berbeda agama dalam sebuah even, muncul di Ramadhan tahun ini. Seperti viral di media sosial, di banyak kota -termasuk Padang-, takjil (pabukoan) yang sejatinya identik dengan ritual puasa umat Islam, ternyata telah mengalami perluasan makna. Takjil kini juga “diburu” oleh umat agama lain, bahkan tanpa risih ikut serta membagi-bagikannya secara gratis menjelang waktu berbuka. Fenomena sosial keagamaan yang dijuluki secara dramatisir oleh warganet sebagai “war takjil” atau “perang” takjil ini, baik di media maupun di lapangan berlangsung dalam suasana penuh ceria, cair, hangat, toleran, dan rukun. Meski begitu, bisa jadi juga disikapi secara berbeda, pro maupun kontra. Karenanya, takjil lintas agama ini mesti dilihat secara multi perspektif, tidak semata teologis, tetapi juga sosiologis, fenomenologis, maupun antropologis.
Berburu dan Berbagi Takjil, dari Umat Hingga Pendeta
Adalah Steve Marcel alias Marcel Saerang, Pendeta Gereja Tiberias Indonesia, dalam khotbahnya secara “kocak” menyebut bahwa meski agama (Kristen) toleran, tetapi soal takjil mereka duluan (www.viva.co.id/18/3/24). Statemen pendeta mantan boyband berdarah Manado ini menjadi gambaran riil keterlibatan umat Kristiani dalam “war” takjil, “perang” takjil, tepatnya berburu atau berebut takjil. Di banyak tempat, di antara riuhnya para pencari takjil yang mengabuburit, ditemukan umat lintas agama yang juga ikut berburu takjil. Bahkan lebih dari itu, para tokoh lintas agama pun dengan gembira penuh kerukunan dan kekeluargaan, turut serta membagi-bagikan takjil gratis kepada masyarakat.
Fenomena sosial keberagamaan ini tidak saja ditemukan di kota-kota besar dengan masyarakat sangat plural, tetapi juga di kawasan yang relatif homogen seperti Kota Padang. Selasa kemaren (11/4/24) misalnya, Danrem 032/Wirabraja bersama tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat turun ke jalan membagikan lebih 2500 paket takjil gratis. Even ini ingin membangun kebersamaan dan menghilangkan sekat-sekat pemisah. Bagi-bagi takjil lintas etnis lintas iman ini diikuti tokoh Muslim, Pendeta, Pastor, tokoh Konghucu, tokoh Hindu, dan tokoh Buddha (https://korem032wbr.mil.id/2023/04/12).
Secara kelembagaan agama pun tak kalah menariknya. Misalnya saja di sejumlah tempat, PGI (Persatuan Gereja-gereja Indonesia) ikut menggelar even berbagi takjil. Tak terkecuali PGIW Sumbar pada Kamis (4/4/2024) lalu, membagikan 300 paket takjil gratis di kawasan Imam Bonjol Kota Padang. Ketua PGIW Sumbar Pendeta Daniel Marpaung menegaskan, kegiatan ini sebagai bentuk kepedulian dan kebersamaan terhadap umat Islam yang sedang berpuasa. Umat Kristen di wilayah ini menurutnya merasa aman dan nyaman berada di tengah-tengah umat muslim yang sangat toleran (TVRI Sumbar/5/4/2024). Menurut Marulitua Siringoringo, Sekum PGIW Sumbar yang juga Penatua Gereja HKBP, takjil tersebut dipesan kepada kelompok ibu-ibu majelis taklim yang juga sekaligus ikut serta membagi-bagikannya.
Takjil, dari FOMO ke Kerukunan
Cukup menarik riset Arum dkk (2024) yang melihat takjil lintas agama dari perspektif psikologis sebagai fenomena FOMO (Fear Of Missing Out). Sederhananya istilah ini dimaknai sebagai rasa takut atau cemas merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas tertentu yang sedang baru atau tren, sementara orang lain sedang bersenang-senang mengikutinya. Seperti tren buka bersama yang juga sudah melintasi sekat agama, maka bagi sebagian orang bisa jadi pula tren berburu dan berbagi takjil merupakan ekspresi FOMO. Namun, terlepas dari itu dampak positifnya cukup signifikan dalam konteks relasi antarumat beragama.
Jika selama ini isu-isu agama yang melibatkan umat berbeda agama sering direspon secara sensitif, emosional, bahkan konfrontatif, maka fenomena “perang” takjil lintas agama menjadi titik balik yang kondusif dan persuasif. Betapa tidak, di tengah situasi berpuasa, “perang” berburu takjil dengan mereka yang tidak berpuasa justru disikapi dengan canda, senang, dan jauh dari aroma konflik. Alih-alih disikapi dengan sinis, even tersebut malah menjadi kegembiraan tersendiri oleh umat lintas agama. Dari perspektif komunikasi media, isu “war takjil” ini menjadi platform digital yang ampuh dalam mempromosikan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Dari sisi sosiologi agama, ia menjadi kekuatan positif yang menjembatani bahkan berhasil mencairkan dan meretas sekat-sekat yang selama ini dengan sangat kaku berada di antara umat berbeda agama. Ke depan, modal sosial ini sangat potensial untuk menambah lebih banyak lagi ruang-ruang publik yang mewadahi pertemuan umat lintas agama.
Secara teologis, menurut Qaem Aulassyahied dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menerima takjil diperbolehkan dari nonmuslim. Menurutnya saling berbagi tersebut sebagai bentuk muamalah bain an-naas, bukan dalam konteks al-musyarakah fi tanfidz al-ibadah (Muhammadiyah.or.id/14/03/24). Fatwa Tarjih Muhammadiyah menegaskan kebolehan interaksi secara baik dengan nonmuslim dalam ruang lingkup sosial, termasuk menyantap makanan yang diberi sepanjang bukan diharamkan atau mengandung keharaman. Nabi Muhammad Saw pernah menerima berbagai macam hadiah dari raja-raja nonnmuslim. Bahkan dalam acara-acara tertentu di Madinah, Beliau tidak risih makan bersama nonmuslim. Al-Qur’an (QS. Al-Mumtahanah 8-9) menegaskan sepanjang nonmuslim tidak memerangi dan berlaku kasar terhadap umat Islam, maka hubungan sosial kemasyarakatan harus berlangsung secara damai. Ini relevan dengan misi agama yang sejatinya menjadi rahmat bagi sekalian alam. Wallahu a’lam.
Dr. Faisal Zaini Dahlan, M.Ag adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN IB Padang anggota FKUB Sumbar