LANGGAM.ID – Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Padang mengecam kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali terjadi di Padang Pariaman oleh seorang oknum guru dengan korban 16 orang. Insiden ini kian menambah daftar kasus kekerasan seksual yang terus berulang di daerah tersebut.
LBH Padang mencatat 50 lebih perempuan dan anak menjadi korban kekerasan seksual hingga femisida sepanjang 2025. Puncaknya ditandai dengan kasus 16 anak korban kekerasan seksual oleh oknum guru di sekolah dasar islam di di Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman.
“Rentetan kasus yang terus berulang ini merupakan alarm keras yang menegaskan Kabupaten Padang Pariaman berada dalam situasi darurat kekerasan,” ujar staf Bidang Hak Asasi dan Minoritas Rentan LBH Padang, Annisa Hamda.
Ia menambahkan, terduga pelaku dari kasus kekerasan seksual tersebut merupakan orang terdekat berupa ayah kandung, ayah tiri, guru, tetangga dan kerabat lainnya yang memiliki relasi kuasa terhadap korban.
Menurutnya, situasi ini adalah bentuk indikasi adanya krisis perlindungan dan kegagalan sistemik dari pemerintah Kabupaten Padang Pariaman dalam menjamin hak asasi manusia, khususnya hak anak dan perempuan.
“LBH Padang memandang bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak berakar pada persoalan struktural, yakni ketidaksetaraan gender dan penyalahgunaan relasi kuasa” tegasnya.
Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman sambung Anisa harus melakukan intervensi yang tidak hanya bersifat kuratif atau penanganan setelah kejadian tetapi juga bersifat preventif dan struktural, dimulai dengan memastikan alokasi anggaran dan sumber daya yang memadai untuk layanan komprehensif seperti pendampingan psikologis dan hukum demi menjamin hak pemulihan setiap korban.
LBH juga menyesali langkah damai dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap 16 anak SD di Padang Pariaman oleh seorang oknum guru. “Alih alih kasus tersebut dilaporkan ke kepolisian, justru diselesaikan secara kekeluargaan (perdamaian) dengan alasan kasus tersebut adalah pelecehan ringan,” ujar Anisa.
Ia menyatakan, langkah damai tersebut merupakan bentuk sikap kepala sekolah dengan cara memanggil orang tua korban, terduga pelaku serta Bhabinkamtibmas Polsek V Koto Kampung Dalam. Dalam pertemuan itu, terduga pelaku mengakui tindakan kekerasan seksual yang berat tersebut hingga berujung pada penyelesaian kasus secara kekeluargaan.
Menurut Anisa, keputusan damai ini menimbulkan kontra karena mengarah ke miskonsepsi hukum dari pihak sekolah serta aparat penegak hukum. Mestinya, kasus kekerasan seksual merupakan delik biasa, pada dasarnya tidak dapat dilakukan perdamaian atau mediasi sebagaimana diatur tegas dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Lebih lanjut Annisa menjelaskan bahwa terduga pelaku merupakan tenaga pendidik yang seharusnya menciptakan lingkungan pendidikan aman dan nyaman justru menjadi sebaliknya yang mengakibatkan anak mengalami ketakutan dan trauma berat.
LBH Padang menilai pilihan damai ini dengan alasan pelecehan ringan merupakan preseden buruk yang melegitimasi impunitas pelaku, sekaligus melanggar hak anak atas keadilan dan pemulihan dan jaminan lingkungan pendidikan yang aman dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan. (fx)







