Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutuskan penetapan tersangka kasus pembunuhan Vina, Pegi Setiawan tidak sah. Hal itu disampaikan Hakim tunggal PN Bandung Eman Sulaeman dalam sidang putusan praperadilan yang dilaksanakan Senin (8/7).
Polri sesungguhnya tidak cukup menghormati dan mematuhi putusan praperadilan tersebut. Justru ini adalah momentum bagi kepolisian untuk melakukan evaluasi secara sistemik, institusional, serta kultural.
Sebab putusan praperadilan di kasus Pegi makin menguatkan minimnya profesionalitas kepolisian dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam konteks penyelidikan dan penyidikan
Selain itu, kasus ini menunjukan buruknya kontrol dan pengawasan terhadap kinerja institusi kepolisian, khususnya kualitas pengawas dan praktik pengawasan penyidikan di internal kepolisian. Sehingga menyebabkan kepolisian dengan sangat mudah untuk menjadikan seseorang ditangkap dan dijadikan sebagai tersangka.
Penetapan Pegi sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan mendapat sorotan publik, namun kepolisian masih saja ceroboh dan tidak profesional. Apalagi terhadap kasus-kasus yang tidak terjangkau sorotan dan menjadi perhatian publik luas.
Dengan demikian, peristiwa yang dialami Pegi perlu menjadi kekhawatiran dan sinyal ancaman bagi setiap warga negara, sebab sewaktu-waktu siapapun bisa ditangkap sewenang-wenang atau menjadi korban salah tangkap oleh kepolisian.
Ihwal praktik salah tangkap sudah menjadi praktik berulang dan kerap terjadi. Berdasarkan catatan Komisi untu Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, sejak 2019 hingga 2024, terdapat 118 kasus salah tangkap oleh aparat kepolisian.
Berikut rincian kasus salah tangkap per tahun berdasarkan catatan KontraS
- Juli 2019-Juni 2020 terdapat 39 kasus salah tangkap.
- Juli 2020-Juni 2021 terdapat 12 kasus
- Juli 2021- Juli 2022 terdapat 22 kasus.
- Juli 2022- juni 2023 terdapat 20 kasus.
- Juli 2023- Juni 2024 terdapat 25 kasus
Sementara itu LBH Jakarta mencatat sepanjang 2013-2022 terdapat kasus salah tangkap dengan 25 kasus.
Hal yang tidak kalah mengkhawatirkannya dalam peristiwa penangkapan sewenang-wenang dan salah tangkap ini, tidak hanya bersifat tunggal. Kasus salah tangkap kerap dibarengi juga tindakan kekerasan berupa intimidasi hingga penyiksaan. Dalam beberapa temuan, korban salah tangkap juga kerapkali tidak didampingi oleh kuasa hukum.
Ironisnya, saat ini kewenangan kepolisian justru makin diperluas melalui RUU Polri yang saat ini tengah dibahas DPR RI dan Presiden. Alih-alih mereformasi instrumen dan mekanisme pengawasan Polri dan meningkatkan profesionalisme di tubuh kepolisian, RUU ini justru makin menjadikan Polri sebagai lembaga superbody, hingga pada gilirannya akan menjadi "institusi monster" yang tidak dapat dikendalikan.
Sehingga hal yang diperlukan tidak hanya mengevaluasi atau melakukan perbaikan fundamental institusi kepolisian secara serius, namun juga memastikan RUU Polri yang tengah dibahas di DPR RI harus segera dihentikan.
Ketimbang melakukan revisi terhadap RUU Polri, DPR RI bersama Pemerintah seharusnya memprioritaskan pembahasan rancangan KUHAP untuk memperbaiki kualitas hukum acara atau prosedur penegakan hukum sehingga dapat lebih memberi jaminan perlindungan dan kemajuan Hak Asasi Manusia.
*Pengacara Publik/Tim Advokasi Koalisi untuk Reformasi Kepolisian