Belajar dari Gempa Cianjur

Belajar dari Gempa Cianjur

Harris Hidayat Dt Batuah (Foto: Dok. Pribadi)

Gempa bermagnitudo 5,6 mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022) sekitar pukul 13.21.10 WIB, dengan episenter pada koordinat 6,86° LS ; 107,01° BT, tepatnya di darat wilayah Sukalarang, Sukabumi, Jawa Barat.

Seperti disiarkan akun YouTube BNPB Indonesia pada Kamis (1/12), Bupati Cianjur, Herman Suherman mengatakan, total korban meninggal akibat gempa Cianjur menjadi 329 orang, serta 595 korban luka-luka.

Di samping itu, berdasarkan catatan BNPB, jumlah rumah rusak akibat bencana gempa itu yang sudah tervalidasi, mencapai 24.107 unit, dengan rincian rusak berat sebanyak 5.631 unit, rusak sedang 7.273 unit, dan rusak ringan 11.203 unit.

Berdasarkan data itu, terungkap bahwa untuk infrastruktur, yakni sekolah rusak sebanyak 520 unit, tempat ibadah 190 unit, fasilitas kesehatan (faskes) 14 unit dan gedung kantor 17 unit. Sama-sama kita ketahui, gempa bumi Cianjur kekuatannya tidak di atas 8 SR, atau tepatnya hanya 5,6 SR, lebih kecil dibandingkan gempa bumi berkekuatan 7,6 SR yang mengguncang Sumbar pada 30 September 2009 silam.

Mengapa gempa bumi Cianjur itu memakan korban jiwa yang terbilang cukup banyak dan merusak banyak bangunan? Mengutip analisa BMKG, hal itu dikarenakan pusat gempa berada pada kedalaman 10 kilometer, yang termasuk kategori gempa dangkal.

Kemudian, hal itu juga disebabkan karena sebagian wilayah yang terguncang gempa, berlokasi di permukiman padat penduduk, serta infrastruktur bangunan yang tidak tahan gempa.

Konsep Bangunan Tahan Gempa

Indonesia merupakan daerah terletak di jalur cincin api (ring of fire), sehingga memiliki ratusan gunung berapi aktif dan sangat rentan terjadi gempa bumi. Karena itu, bangunan tahan gempa sangat dibutuhkan di Indonesia, sebagai upaya pencegahan terjadinya korban jiwa saat guncangan gempa.

Dalam tulisan ini, sebagai pegiat bidang konstruksi, saya akan mencermati dampak gempa bumi itu dari segi infrastruktur bangunan. Menurut saya, dapat diambil kesimpulan bahwa di lokasi gempa, mayoritas bangunan tidak tahan gempa.

Konsep bangunan tahan gempa bukan berarti tidak bisa rusak saat gempa, tetapi adalah bangunan yang potensi runtuhnya minim ketika diguncang gempa. Artinya, bangunan tersebut tetap berdiri meski diguncang gempa.

Setidaknya, terdapat tiga syarat minimum untuk membangun sebuah bangunan tahan gempa. Di antaranya pemilihan material bangunan yang baik, mutu pengerjaan pembangunan harus sesuai SOP, serta desain dan spesifikasi harus mengikuti aturan.

Contohnya saja, dari sisi pemilihan material. Mutu bahan bangunan yang digunakan seperti pasir, semen, kerikil, bata, besi hingga beton, mesti memenuhi kriteria. Seperti halnya pasir, yang tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5 persen.

Pasir pantai sudah jelas tidak boleh digunakan. Pasalnya, pasir yang memenuhi kriteria yakni harus tajam ketika diremas, tidak lembut dan harus memiliki butiran halus, sedang dan kasar.

Sedangkan dari sisi pemilihan semen, mestinya menggunakan semen tipe 1, yang hasilnya tidak menggumpal, membatu atau mengeras. Semen mortar dapat menjadi pilihan karena tahan gempa, tahan api, dan mampu menahan panas matahari. Dengan material yang tepat, efek gempa pada hunian bisa diminimalisir.

Tak hanya itu, material besi yang digunakan untuk membuat bangunan tahan gempa juga harus sesuai standar. Faktanya di lapangan, hampir semua bangunan yang material besinya tidak memenuhi standar.

Selanjutnya untuk bagian atap, sebaiknya mencari material yang ringan. Seperti yang banyak kita lihat, kejadian di Cianjur banyak korban yang tertimpa atap genteng, yang bobotnya cukup berat.Kemudian, material kuda-kuda dan rangka atap, sebaiknya menggunakan baja ringan, termasuk penutup atap. Sebisa mungkin hindari menggunakan model atap genteng.

Yang tak kalah penting, adalah pemilihan beton. Kualitas beton harus benar-benar sesuai standar. Tak jarang ditemui, untuk menghemat biaya, warga yang membangun rumah, memilih untuk mengurangi semen dalam membuat campuran beton.

Bangunan tahan gempa, prinsipnya adalah sederhana dan ringan. Yaitu bangunan yang beraturan, seperti denah yang berbentuk simetris berbentuk kotak. Dengan demikian, bangunan ampuh menahan guncangan dibanding bangunan yang tidak simetris.

Yang sangat perlu diperhatikan adalah konstruksi pondasi. Struktur pondasi mestinya bersinggungan langsung dengan tanah. Dengan kata lain, pondasi harus mempunyai galian yang cukup dalam, tergantung lapisan tanah yang ada.

Bagian di atas pondasi harus dibuat sloof dengan beton bertulang. Di cianjur, bisa dikatakan bangunan yang runtuh, pondasinya rata-rata hanya galian 20 hingga 30 sentimeter. Akibatnya, beban guncangan tidak bisa disalurkan merata secara maksimal oleh tanah.

Kemudian, kolom dan balok punya peran utama membantu dinding untuk menahan beban. Strukturnya harus menggunakan beton bertulang, serta di atas konsen pintu gunakanlah balok.

Intinya, seluruh elemen struktur bangunan (pondasi, sloof, kolom dan balok) harus saling mengait dan bersifat kompleks. Dengan demikian, ketika terjadi gempa, bangunan mampu menahan guncangan secara merata dan proporsional.

Sedangkan dari sisi pengerjaan, sebaiknya sebelum mendirikan sebuah bangunan, laluilah semua tahapan prosedur dan perizinan. Contohnya mengurus izin sesuai aturan yang berlaku di daerah masing-masing seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Yang paling utama adalah dari sisi pengawasan. Biasanya, jika seseorang ingin membangun rumah pribadi, sangat jarang memakai jasa pengawas yang sudah berkompeten di bidangnya.

Untuk itu, bagi masyarakat awam, tentu konsultasi atau pemakaian jasa konstruksi yang benar dan taat aturan akan sangat membantu, karena ada istilah teknis yang sulit dipahami oleh masyarakat awam.

Audit Kelayakan Bangunan

Bencana gempa bumi Cianjur hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya Kota Padang yang disebut-sebut rawan terjadi bencana gempa bumi serta tsunami. Ditambah lagi peristiwa gempa bumi Sumbar pada 30 September 2009, yang setidaknya menewaskan 1.117 orang dan merusak ratusan ribu bangunan yang tersebar di berbagai daerah di Sumbar.

Kita patut mengapresiasi langkah Wali Kota Padang, Hendri Septa yang berencana akan merutinkan pelatihan simulasi bencana sekali dalam tiga bulan, agar warganya sadar akan ancaman bencana.

Bahkan, Pemko Padang sudah menyiapkan jalur evakuasi dan tiga shelter sebagai tempat evakuasi warga. Teranyar, jembatan penyeberangan di Danau Cimpago juga bakal dibangun untuk memudahkan evakuasi warga dari pantai menuju Hotel Mercure.

Akan tetapi, pemerintah harus melakukan upaya pencegahan/antisipasi dan mitigasi pengurangan risiko lainnya, seperti membangun infrastruktur dan mengaudit kelayakan bangunan sebagai upaya mitigasi bencana.

Pemerintah bisa mulai mengecek bangunan publik dan sosial. Bisa dengan membentuk tim khusus yang ditugaskan untuk meninjau ulang kelayakan bangunan publik yang ada.

Langkah awal, pemerintah bisa mendapatkan data. Setelah data didapat, tim yang telah dibentuk bisa menilai infrastruktur bangunan yang ada, terutama bangunan yang belum direnovasi ulang pascagempa 30 September 2009 silam.

Pemerintah mesti terus mengembangkan penelitian, percobaan dan publikasi terkait kode bangunan dan infrastruktur kebencanaan, serta penerapan spesifikasi standar dan manual SNI bangunan gedung tahan gempa. Setidaknya, bangunan gedung publik seperti sekolah, pasar, rumah sakit, dan kantor pemerintahan harus tahan terhadap guncangan gempa.

Kemudian dari sisi pengawasan bangunan. Pemko mungkin bisa membentuk pengawas yang berkompeten di bidangnya dan telah mengantongi sertifikat. Nantinya, setelah tim mengaudit kelayakan bangunan, akan mengeluarkan beberapa rekomendasi.

Mungkin saja Pemko menerbitkan sertifikat layak fungsi untuk bangunan yang benar-benar telah memenuhi kualifikasi sebagai bangunan tahan gempa, atau mungkin mengeluarkan rekomendasi untuk merobohkan dan membangun ulang bangunan yang tidak memenuhi kualifikasi.

Menurut hemat saya, audit bangunan tersebut sangat penting untuk mencegah runtuhnya bangunan ketika terjadi gempa bumi, yang dapat mengancam keselamatan orang yang berada di sekitar bangunan itu. Di samping itu, kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana gempa juga harus didukung dengan sistem peringatan dini gempa yang mumpuni. Semoga!

Harris Hidayat Datuak Batuah, merupakan pegiat bidang konstruksi dan Alumni Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB)

Baca Juga

Sebanyak 39 kali gempa terjadi di wilayah Sumatra Barat (Sumbar) dan sekitarnya selama periode 22-28 Maret 2024. Selama periode ini
Periode 22-28 Maret 2024, 39 Kali Gempa Terjadi di Sumbar
Sebanyak 39 kali gempa terjadi di wilayah Sumatra Barat (Sumbar) dan sekitarnya selama periode 22-28 Maret 2024. Selama periode ini
19 Kali Gempa Terjadi di Sumbar pada Periode 15-21 Maret 2024
Gempa Susulan di Kabupaten Tuban Capai 58 Kali
Gempa Susulan di Kabupaten Tuban Capai 58 Kali
Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Sumbar), diguncang gempa dengan magnitudo 5,3 pada Rabu (20/3/2024) sekitar pukul 15.24 WIB.
Gempa M5,3 di Pessel, BMKG: Akibat Adanya Deformasi Batuan dalam Lempeng Eurasia
Sebanyak 39 kali gempa terjadi di wilayah Sumatra Barat (Sumbar) dan sekitarnya selama periode 22-28 Maret 2024. Selama periode ini
Gempa Magnitudo 5,3 Guncang Pesisir Selatan Sore Ini
BMKG Padang Panjang mencatat, selama Januari 2024 terdapat 87 kali kejadian gempa bumi yang tersebar di wilayah Sumatra Barat (Sumbar)
87 Kali Gempa Bumi Guncang Sumbar Sepanjang Januari 2024