Hal itu, kata dia, terlihat dari minimnya kontainer sampah di pemukiman yang berada di sepanjang Batang Arau.
"Bak-bak sampah tidak memadai sehingga overlap dan banyak sampah yang tertinggal lalu meluber ke badan sungai," jelasnya.
Sementara itu, Asril (78) warga setempat mengatakan, sampah di muara sungai itu berasal dari hulu. Menurut Asril, kemunculan sampah plastik di sungai itu sudah terlihat sejak 1980-an.
Dikatakan Asril, dulu air Batang Arau masih jernih dan tidak bau. Di sisi kiri dan kanan sungai juga masih ditumbuhi pohon bakau dan nipah.
Sementara saat ini, kata Asril, masyarakat tidak peduli terhadap Batang Arau. Ia pun memaklumi banyaknya sampah yang berakhir di sungai itu, karena minimnya kontainer sampah di sana. "Masyarakat juga semakin banyak di sini," paparnya.
Lebih lanjut dikatakan Asril, untuk kelurahan Batang Arau saja, hanya terdapat satu kontainer sampah. "Di sini ada satu, lalu di kelurahan Palinggam satu, jadi warga yang tinggal di atas bukit itu membuang sampah ke selokan dan berakhir di sungai ini, sebagian warga dari Bukit Gado-Gado juga ke sini," ucapnya.
"Tidak hanya sampah dan air comberan, di bagian hulu itu juga ada air dari limbah karet dibuang ke sungai Batang Arau," imbuh Asril.
Diketahui, secara geografis, DAS Batang Arau mengalir di tengah-tengah pemukiman yang melintasi tiga kecamatan di Kota Padang. Dimulai dari Kecamatan Lubuk Kilangan, lalu melewati kawasan industri karet di Kecamatan Lubuk Begalung dan berakhir di pemukiman padat di Kecamatan Padang Selatan.
Bau menyengat dari sungai akan tercium dari bahu jalan di sisi kiri-kanannya. Namun, hal itu tak menyurutkan kegirangan sejumlah anak-anak bermain di muara Batang Arau, Rabu (11/5/2022).
Baca juga: Jadi Bahan Baku PDAM, Air Batang Kuranji Padang Juga Tercemar Mikroplastik
Saat tim Ekspedisi Sungai Nusantara melakukan aksi penyelamatan Batang Arau dari mikroplastik, terlihat tiga orang bocah sedang asyik berenang di air yang dipenuhi sampah plastik itu.
"Jangan buang sampah ke sungai. Sungai bukan tempat sampah," kata anak-anak itu mengulangi perkataan peneliti Ecoton, Prigi Arisandi.
—