Banjir di Sumatera: Soal Air, Hutan, dan Negara

Banjir di Sumatera: Soal Air, Hutan, dan Negara

Kawasan Sungai Lubuk Minturun Padang, salah wilayah yang terdampak banjir bandang, November 2025. (Foto: HM)

Penulis: Rendi Adrian Pratama


Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera pada akhir 2025 kembali membuka luka lama dalam tata kelola bencana di Indonesia. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi daerah yang paling terdampak. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari tiga juta penduduk terdampak, ratusan ribu mengungsi, serta ratusan korban jiwa akibat banjir dan longsor yang terjadi secara beruntun. Kerusakan infrastruktur, mulai dari rumah warga, jembatan, hingga fasilitas pendidikan, menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat lapisan bawah.

Bencana ini sering disebut sebagai akibat curah hujan ekstrem. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun terasa terlalu sederhana jika dijadikan satu-satunya alasan. Sejumlah penelitian dan pernyataan pakar lingkungan menunjukkan bahwa kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di wilayah hulu Sumatera turut memperparah dampak banjir. Tutupan hutan yang terus menyusut akibat aktivitas tambang, perkebunan skala besar, dan pembangunan tanpa kajian lingkungan yang ketat membuat air hujan tidak lagi terserap secara optimal. Akibatnya, air langsung mengalir ke wilayah hilir dan memicu banjir bandang dalam waktu singkat (Hatma Suryatmojo, UGM).

Dalam kondisi darurat seperti ini, pemerintah daerah sebenarnya sudah bekerja dalam batas kemampuan mereka. Status tanggap darurat telah ditetapkan, dapur umum dibangun, dan relawan lokal bergerak membantu korban. Namun di banyak titik, bantuan tidak kunjung tiba. Laporan lapangan menunjukkan masih adanya desa-desa yang terisolasi akibat jalan putus dan longsor, sementara logistik belum menjangkau seluruh korban. Situasi ini menunjukkan bahwa kapasitas pemerintah daerah sudah kewalahan dan membutuhkan intervensi lebih besar dari pemerintah pusat.

Sayangnya, hingga kini pemerintah pusat belum menetapkan banjir Sumatera sebagai bencana nasional. Alasan yang kerap dikemukakan adalah pemerintah daerah masih mampu menangani situasi. Padahal fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Keterlambatan distribusi bantuan, terbatasnya alat berat, serta minimnya akses ke wilayah terpencil menjadi bukti bahwa penanganan belum berjalan maksimal (BNPB, 2025). Dalam situasi krisis, negara seharusnya tidak berdebat soal status, melainkan hadir secara nyata dan cepat.

Penetapan status bencana nasional bukan semata persoalan administratif, tetapi berkaitan langsung dengan kecepatan dan skala respons. Dengan status tersebut, mobilisasi sumber daya nasional, anggaran darurat, serta koordinasi lintas kementerian dapat dilakukan lebih efektif. Ketika status ini tidak ditetapkan, beban terbesar justru jatuh pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang sudah menjadi korban.

Lebih jauh, banjir di Sumatera seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Bencana ini bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari pola berulang yang terus terjadi setiap tahun. Selama kebijakan izin lahan, tambang, dan perkebunan tidak diselaraskan dengan prinsip mitigasi bencana, maka banjir hanya tinggal menunggu waktu. Negara tidak boleh terus hadir setelah bencana terjadi, tetapi absen ketika pencegahan seharusnya dilakukan.

Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa kritik terhadap pemerintah bukan bentuk kebencian, melainkan panggilan tanggung jawab. Negara dibentuk untuk melindungi warganya, terutama dalam situasi darurat. Banjir di Sumatera menunjukkan bahwa kehadiran negara masih sering terlambat. Jika pemerintah pusat tidak segera berbenah, maka bencana serupa akan terus berulang dan korban akan terus berjatuhan.

Sudah saatnya pemerintah pusat mengambil langkah tegas: menetapkan status bencana nasional, mempercepat distribusi bantuan ke seluruh wilayah terdampak, serta menghentikan kebijakan pembangunan yang merusak lingkungan. Tanpa itu semua, janji negara untuk melindungi rakyat hanya akan menjadi slogan yang kembali hanyut terbawa arus.

Baca Juga

Aktivis-konten kreator, Ferry Irwandi, beberapa waktu lalu berhasil mengumpulkan donasi untuk korban banjir dan longsor di Sumatra mencapai
Ferry Irwandi Galang Dana untuk Korban Bencana Sumatra, Willy Aditya: Layak Diapresiasi Negara
Soal Kayu Gelondongan Penyebab Banjir Sumatra, Anggota DPR RI Mulyadi: Kejahatan Luar Biasa
Soal Kayu Gelondongan Penyebab Banjir Sumatra, Anggota DPR RI Mulyadi: Kejahatan Luar Biasa
Tangis Mualem: Memangkas Jarak Emosi Birokrasi
Tangis Mualem: Memangkas Jarak Emosi Birokrasi
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menilai banjir dan longsor yang melanda Sumatra beberapa waktu lalu layak jadi bencana nasional.
Anies Nilai Bencana Sumatra Layak Jadi Bencana Nasional: Skala Kerusakan Butuh Kekuatan Negara
Wawancara Eksklusif dengan Bupati Agam: Nyatakan Status Darurat, Anggaran Penanganan Sudah tak Ada
Wawancara Eksklusif dengan Bupati Agam: Nyatakan Status Darurat, Anggaran Penanganan Sudah tak Ada
Tim gabungan terus melakukan pencarian terhadap dua warga yang masing hilang akibat banjir bandang yang melanda Padang pada 28 November lalu.
Dua Warga Padang Hilang Akibat Banjir Bandang, Pencarian Masih Terus Dilakukan