Langgam.id – Tepuk tangan membahana usai presiden Joko Widodo memberikan sambutan peresmian Universitas Andalas sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) di Convention Hall, Limau Manis, Senin (13/9/2021) lalu.
Puluhan orang yang hadir di ruangan itu mendengarkan pidato presiden secara daring tampak sumringah. Iya, di hari ulang tahun atau Dies Natalis Unand ke 65, kampus tertua di Pulau Sumatra itu mendapat kado istimewa berupa perubahan status dari PTN BLU menjadi PTNBH.
“Saya sangat bangga kepada Unand yang merupakan kampus pertama di luar Jawa dan sampai saat ini telah menghasilkan ribuan tokoh yang ikut membangun bangsa ini,” kata Jokowi dalam sambutannya.
Unand resmi berstatus PTNBH setelah presiden menandatangani PP Nomor 95 Tahun 2021 tentang PTNBH Unand pada 31 Agustus 2021.
Dengan peralihan status itu, maka Unand menjadi perguruan tinggi otonom yang berhak mengelola potensi akademik dan nonakademik secara mandiri.
“Ini (PTNBH) adalah perjuangan estafet tiga rektor, dimulai dari 2015 lalu dan akhirnya membuahkan hasil tahun ini. Tentu perjuangan panjang ini harus kita maksimalkan bersama untuk mengembangkan Unand menjadi lebih maju lagi,” kata Rektor Unand Yuliandri.
Kebahagiaan menyambut status baru Unand hari itu, disambut 100 lebih mahasiswa dengan menggelar demonstrasi hanya dua jam usai peresmian. Mereka menggelar aksi longmach dari PKM menuju rektorat Unand menolak PTNBH.
Penolakan mahasiswa itu sederhana saja, mereka khawatir uang kuliah naik setelah PTNBH. Pasalnya, setelah berstatus otonom, Unand harus mengelola keuangannya sendiri, dan uang kuliah adalah salah satu sumber pemasukan kampus.
Namun, pimpinan Unand memastikan peralihan status itu tidak akan mengubah kebijakan uang kuliah. Yuliandri memastikan tidak ada kenaikan uang kuliah di Unand.
Sah-sah saja mahasiswa mengkhawatirkan naiknya uang kuliah. Tetapi ada satu hal lagi yang perlu menjadi kekhawatiran bersama yakni, terbatasnya lapangan kerja bagi lulusan perguruan tinggi nantinya.
Sumatra Barat, khusunya Kota Padang, di mana kampus Unand berdiri tidak banyak menyediakan lapangan kerja. Sehingga banyak alumni perguruan tinggi di daerah itu memilih menyeberang ke Pulau Jawa atau ke provinsi tetangga untuk bersaing mendapatkan pekerjaan.
Seperti Ikhwan Syahputra, alumni Fakultas Ekonomi Unand 2011, misalnya, mengaku kesulitan mendapatkan pekerjaan yang cocok dengannya setelah menyelesaikan kuliah. Mulai dari minimnya lowongan kerja, hingga pekerjaan yang tidak sesuai dengan keyakinan.
Untuk merantau ke Jakarta atau kota besar lainnya yang menjanjikan lapangan kerja lebih banyak, ia keberatan karena harus meninggalkan Kota Padang dengan alasan keluarga.
Akhirnya, Ikhwan memilih berwirausaha di bidang perdagangan aksesoris smartphone dan perangkat lainnya. Kini usahanya kian berkembang ke sejumlah daerah di Sumbar, serta sudah memiliki belasan karyawan.
“Saya pilih berwirausaha saja karena merasa lebih cocok,” katanya kepada langgam.id, Jumat (8/10/2021).
Ia bercerita banyak teman-teman seangkatannya yang sulit mendapatkan pekerjaan di Sumbar karena terbatasnya lapangan kerja. “Kalau di tempat kita (Sumbar) memang lapangan kerjanya yang terbatas. Akhirnya banyak yang merantau ke daerah lain,” ujarnya.
Minimnya lapangan kerja di Sumbar berkorelasi dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar per Februari 2021 yang menyatakan angka pengangguran di daerah itu mencapai 6,67 persen.
Angka itu naik 1,42 persen poin dari periode yang sama tahun 2020, di mana tingkat pengangguran terbuka (TPT) Sumbar hanya 5,25 persen.
Kepala BPS Sumbar Herum Fajarwati mengatakan angka pengangguran di Sumbar mencapai 184.560 orang atau bertambah 32.290 orang per Februari 2021 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 152.270 orang. Pengangguran itu berasal dari angka angkatan kerja di Sumbar yang mencapai 2,76 juta jiwa.
“Per Februari 2021 angkatan kerja di Sumbar mencapai 2,76 juta jiwa dengan orang bekerja sebanyak 2,58 juta jiwa, dengan TPT 6,67 persen,” paparnya.
Akibat pandemi covid-19, sebanyak 288.310 pekerja di Sumbar ikut terdampak. Terdiri dari 19.910 orang menganggur karena pandemi, sebanyak 12.600 orang pekerja bukan angkatan kerja, lalu 21.210 orang tidak bekerja sementara karena pandemi, dan 234.590 orang mengalami pengurangan jam kerja.
Data BPS juga merinci pengangguran di Sumbar berdasarkan tingkat pendidikan malah didominasi lulusan perguruan tinggi. Rinciannya, dari total jumlah pengangguran tersebut, sebanyak 11,65 persen merupakan lulusan diploma, dan 11,42 persen lulusan sarjana dan magister.
Sedangkan kontribusi pengangguran dari lulusan SMK sebanyak 7,81 persen, lulusan SMA/MA 6,88 persen, lulusan SMP/MTs sebanyak 5,97 persen, dan lulusan SD ke bawah hanya 3,48 persen.
Ironi memang, semestinya dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan semakin membantu mengurangi angka pengangguran di Sumbar, bukan malah sebaliknya.
Persoalan minimnya lapangan kerja itu, perlu menjadi prioritas kepala daerah dan perhatian semua pihak untuk ikut bagaimana mengatasi. Termasuk perguruan tinggi negeri, tentu punya beban moral pula untuk ikut memastikan alumninya terserap di dunia kerja.
Gubernur Sumbar Mahyeldi bersama wakilnya Audy Joinaldy memasang target melahirkan 100.000 wirusahawan baru di daerah itu, sebagai salah satu upaya menciptakan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran.
Dukungan dari pihak kampus tentu juga diperlukan dengan ikut berkontribusi melahirkan mahasiswa berjiwa entrepreneur. Dan kini bagi Unand peluangnya lebih terbuka lebar dengan bisa pula secara konkrit membuka lapangan kerja lewat unit usaha maupun perusahaan yang dimiliki.
Dengan status PTNBH itu, Unand punya kewenangan untuk mendirikan perusahaan dan mendirikan unit-unit usaha yang memberikan penghasilan bagi kampus, serta tentu saja membuka lapangan kerja.
Dalam poin 4 pasal 93 PP Nomor 95 Tahun 2021 tentang PTNBH Universitas Andalas, menyatakan ‘Nilai aset Unand yang dapat diinvestasikan untuk usaha komersial paling banyak 20 persen dari nilai aset’.
Artinya, selain otonom di bidang akademik, Unand juga memiliki keleluasaan mengelola usaha dengan bisa mengalokasikan maksimal 20 persen dari total aset yang dimiliki untuk investasi atau pengembangan usaha komersial.
“Itu prosesnya masih panjang, karena masih banyak yang harus disiapkan. Sekarang kan baru (sebatas) PP, dan masih banyak aturan turunannya,” kata Hefrizal Handra, Wakil Rektor IV Bidang Perencanaan Pengembangan dan Kerjasama Unand.
Ia menargetkan selama dua tahun masa transisi, semua persiapan Unand dalam kerangka PTNBH selesai dengan baik, sehingga bisa dijalankan dan memberikan kontribusi bagi pengembangan institusi dan kemajuan daerah.
Menurutnya, potensi bisnis yang bisa dikembangkan Unand sangat banyak. Mulai dari yang sudah jalan seperti unit usaha rumah sakit, asrama, percetakan, layanan dan jasa konsultan, serta pusat penelitian masih terus bisa dikembangkan.
“Kita bisa investasi, join company, pernyertaan modal, mendirikan PT dan dikelola oleh orang-orang yang profesional. Semuanya sekarang masih dalam tahap perancangan,” ujarnya.
Dengan 15 fakultas yang dimiliki dan potensi inovasi serta lahan yang luas, Unand tentu dengan mudah bisa mengembangkan unit bisnisnya. Seperti di peternakan dengan produk hilirisasi, pertanian, teknik, farmasi, dan bidang usaha lainnya.
Hefrizal meyakini jika PTNBH berjalan dengan baik, maka Unand juga bakal berkontribusi bagi kemajuan ekonomi daerah, termasuk menyediakan banyak lapangan kerja lewat perusahaan komersial ataupun unit usaha yang dimiliki.
Pakar Desentralisasi Fiskal Unand itu mencontohkan sejumlah perguruan tinggi yang sudah lama berstatus PTNBH sudah menikmati hasil pengembangan usaha komersial untuk membesarkan institusinya.
Seperti IPB University, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung sudah menikmati deviden dari unit usahanya. Perusahaan dan unit usaha komersial milik kampus itu juga telah menyerap ribuan tenaga kerja.
“Bagi institusi, pengembangan unit komersial ini nanti hasilnya bisa dimanfaatkan untuk subsidi uang kuliah, beasiswa, serta peningkatan penelitian dan pengembangan lainnya,” sebutnya.
Dengan begitu, imbuhnya, kekhawatiran bahwa uang kuliah akan naik setelah PTNBH tidak beralasan, sebab bisa ditutupi dari pendapatan unit usaha milik kampus.
“Tentu, ada alokasinya. Bahkan untuk jalur afirmasi (dari keluarga kurang mampu) Unand wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari total penerimaan mahasiswa dan uang kuliahnya ditanggung oleh Unand,” katanya.
Masyarakat Sumbar tentu akan bangga memiliki perguruan tinggi di mana mahasiswa bisa mendapatkan pendidikan berkualitas dengan biaya yang tidak mahal, serta ikut pula berkontribusi menekan pengangguran di daerah.