Ketika mengikuti pertemuan webinar “Berjuang itu Berkorban: Bagindo Azizchan Dalam Kancah Revolusi” pada 30 September 2021 silam, saya mulai berkenalan dengan keluarga almarhum Bagindo Azizchan, Wali Kota Padang ke-2 yang gugur ditembak Belanda. Beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 7 November 2005.
Perkenalan ini terlaksana karena sejumlah pihak keluarga Bagindo Azizchan juga terlibat dalam acara tersebut. Saya pikir rugi besar kalau hanya sekadar mengenal nama sebab ini bisa dicari di internet. Karenanya, saya memutuskan untuk memperkenalkan diri. Di samping untuk menyambung tali silaturahmi, saya mengutarakan bahwa maksud perkenalan ini untuk mengetahui lebih mendalam tentang sosok Bagindo Azizchan. Tentu narasi dan perspektif yang dihadirkan pihak keluarga lebih bersifat personal.
Dari perkenalan ini, saya mendapati bahwa keluarga Bagindo Azizchan sekarang adalah generasi ketiga. Mereka adalah cucu dari R. Atisah Adiwirya, istri pertama Bagindo Azizchan yang berdarah Sunda. R. Atisah adalah sosok istri yang mendukung dan menyertai suami dalam perjuangan dari awal menikah 22 April 1933 sampai gugur 17 Juli 1947. Beliau wafat di Bandung pada 6 Maret 1971.
Sungguhpun berdarah Sunda dan menikahi laki-laki Minang dengan budaya matrilineal yang kental, tapi semua putra-putri pasangan Bagindo Azizchan dan R. Atisah Adiwirya (8 orang) mencantumkan nama ayahnya pada nama mereka masing-masing, yakni Roswita Azizchan, Bagindo Radhi Azizchan, Upy Azumar Azizchan, Bagindo Azir Azizchan, Andoda Nushati Azizchan, Huriah Pratiwi Azizchan, dan Bagindo Rendra Azizchan.
Hal ini sungguh mengagumkan karena ini menunjukkan kecintaan dan kebanggaan mereka atas sosok ayah mereka sendiri. Tapi ada hal yang jauh lebih membanggakan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh keturunan Bagindo Azizchan selanjutnya (generasi ketiga), bahwa mereka ingin melanjutkan cita-cita kedua orang tuanya yang memiliki passion yang sama di bidang pendidikan.
Untuk itu, mereka berinisiatif untuk mendirikan sekolah internasional yang memadukan SD, SMP, SMA dan SMK dalam satu kawasan. Lalu mereka mengadakan pertemuan dengan gubernur Sumbar Buya Mahyeldi Ansharullah untuk meminta dukungan pemerintah provinsi Sumatera Barat.
Dalam pertemuan yang berlangsung pada 20 September 2021, salah satu perwakilan keluarga Bagindo Azizchan, RA Aryanti W Puspokusumo, menegaskan bahwa ini adalah upaya melanjutkan cita-cita dari orang tua mereka Bagindo Azizchan yang sebelum menjabat sebagai wali kota Padang, juga pernah mengajar sebagai guru.
Ketika saya konfirmasi bagaimana kelanjutan ikhtiar mulia ini, RA Aryanti W Puspokusumo menyatakan kekecewaan yang mendalam. Aryanti mengakui bahwa awalnya pemprov menunjukkan kemauannya untuk membantu, bahkan bersedia menyiapkan lahan sekian hektar untuk pembangunan sekolah internasional ini.
Namun ada hal yang sebetulnya tidak relevan diminta pemerintah daerah yang menjadikan cita-cita mulia yang telah mereka siapkan jauh-jauh hari ini layu sebelum berkembang, yakni agar keluarga Bagindo Azizchan menyelesaikan urusan internal mereka dulu. Pihak keluarga Bagindo Azizchan kaget bukan kepalang.
Secara faktual, Bagindo Azizchan memang memiliki dua orang istri, yakni R. Atisah Adiwirya (istri pertama) dan Siti Zaura Oesman (istri kedua). Kebetulan gagasan untuk mendirikan sekolah internasional Bagindo Azizchan datang dari keluarga istri pertama, yakni R. Atisah Adiwirya. S
emasa hidupnya R. Atisah Adiwirya tidak pernah bercerai dengan salah satu istrinya hingga beliau wafat. Karena, baik keluarga R. Atisah Adiwirya maupun Siti Zaura Oesman memiliki hak yang sama untuk mengusung nama Bagindo Azizchan tanpa mereka, misalnya, harus berada di bawah payung yang sama, kesepakatan yang sama, bahkan nama yayasan yang sama.
Baik R. Atisah Adiwirya maupun Siti Zaura Oesman adalah istri yang sah. Oleh sebab itu, saran agar pihak keluarga R. Atisah Adiwirya menyelesaikan urusan internalnya dengan keluarga Siti Zaura Oesman sama sekali tidak perlu dan tidak relevan.
Kebutuhan Sumatera Barat terhadap sekolah internasional sangat niscaya dilihat. Kita belum memiliki sekolah menengah internasional di ranah Minang. Keberadaan sekolah internasional bukan buat show-off atau gagah-gagahan.
Di tengah era kesejagatan dan arus, deras informasi yang tak mengenal batas negara-bangsa, anak-anak muda Minang telah mewujud sebagai global citizen. Di Jakarta atau kota-kota besar di Tanah Air, anak-anak kita sudah ada yang masuk sekolah menengah di Singapura, Melbourne, atau Boston.
Keberadaan sekolah kejuruan internasional akan menjadikan anak-anak kita belajar dengan sistem manajemen berstandar internasional, termasuk kesempatan anak-anak menjalankan program internship di perusahaan internasional atau perusahaan luar negeri.
Dengan mengikuti kurikulum dan manajemen global, tidak hanya penekanan terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi, sebuah sekolah internasional akan bekerja sama dengan sekolah-sekolah setaraf di luar negeri. Ini bakal menciptakan jaringan untuk saling berbagi dan berkolaborasi, termasuk pembentukan sister school.
Saya sendiri punya anak-anak yang bersekolah di sekolah dasar dan menengah di Melbourne. Setelah mengobrol dengan guru-guru di sana, saya mengetahui bahwa sekolah ini memiliki kerja sama dengan sejumlah sekolah di negara-negara, salah satunya pembentukan sister school dengan sebuah sekolah di Kamboja. Artinya, sekolah di Kamboja ini menjalankan kurikulum, manajemen dan metode pengajaran yang sama dengan sekolah yang ada di Melbourne itu.
Ini hanya secuil dari peluang pengembangan yang akan terlaksana sekiranya sekolah kejuruan internasional bisa tegak di Sumatera Barat. Sangat disayangkan bila gagasan mulia yang justru terbit secara buttom-up dari pihak keluarga Bagindo Azizchan harus kandas sebelum dimulai karena tiadanya sokongan visioner dari pihak pemerintah (provinsi atau kota/kabupaten) Sumatera Barat sendiri.
Kita menghajatkan anak-anak yang punya daing saing bangsa dalam menghadapi percaturan global yang kian kompetitif. Itu semua tak akan terwujud tanpa adanya tata kelola yang baik, amanah dan jujur dengan daya saing yang juga tinggi.
*Donny Syofyan adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas