Apa Jadinya Ketika Religius Ditambahkan Pada Kapitalisme dan Sosialisme?

Apa Jadinya Ketika Religius Ditambahkan Pada Kapitalisme dan Sosialisme?

Rafki Rasyid. [Foto: Dok. Pribadi]

Menjawab kembali tulisan dari Profesor Zulfan Tadjoedin (ZT) yang menjawab tulisan saya sebelumnya, tulisan ini mencoba kembali mengupas tesis, antitesis, dan juga sintesis dari persoalan kapitalisme dan sosialisme yang saat ini sudah ditambahkan kata “religius” oleh ZT di dalam tulisan-tulisannya.

Tulisan ZT yang dipublikasikan sebelum tulisan ini, menurut hemat saya masih saja belum memberikan solusi yang jelas atas Kapitalisme Religius (KR) yang dicontohkan dengan pengumpulan dana ummat oleh ACT, yang kemudian bermasalah karena ulah oknum pimpinannya yang menyelewengkan dana sumbangan yang dikumpulkan tersebut. Padahal kita semua berharap ada kumpulan ide dan solusi cerdas yang cocok dengan kondisi dan ideologi yang dianut di Indonesia untuk meminimalisir terjadinya praktik-praktik yang dilakukan oleh ACT dan lembaga filantropi berbasis keagamaan lainnya.

ZT terlihat juga terlalu terpukau dengan mereka yang lebih mengenal dunia barat karena lebih bisa mengenal dialektika antara sosialisme dan kapitalisme, menurut beliau. Memang Indonesia di masa orde baru sempat melarang diaksesnya konten serta buku-buku terkait sosialisme karena diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia. Namun, bukan berarti masyarakat Indonesia tertutup sama sekali pemahamannya terhadap ideologi sosialisme dan juga kapitalisme tentunya.

Baca Juga: Kapitalisme Religius Vs Sosialisme Religius

Cukup banyak yang mengidolakan sosialisme di Indonesia melalui pemikiran dari Bapak-Bapak pendiri bangsa Indonesia. Mungkin hampir sama banyaknya dengan penganut paham kapitalisme ataupun penganut paham campuran di antara keduanya. Kita bisa memahami ZT menyampaikan hal ini karena beliau lama hidup sebagai akademisi di dunia barat (Australia) dan mengenal Indonesia mungkin hanya melalui media massa dan ketika sesekali bercerita dengan orang kampung ketika beliau balik ke kampung halaman.

Dalam tulisan sebelumnya saya sebenarnya ingin memperhadapkan antara religius dan irreligius bukan antara kapitalisme dengan sosialisme yang sudah sejak lama memang menjadi tesis dan antitesis yang banyak dibahas oleh pakar ekonomi dan filusuf di seluruh dunia. Menurut saya akan menjadi menarik apakah dampak buruh dari kapitalisme itu sekaligus sosialisme itu, bisa dinetralisir dengan religiulitas dari para penganutnya.

Apakah kapitalisme dan sosialisme yang lebih mengutaman dunia akan bisa lebih baik ketika dimasukkan “unsur langit” ke dalamnya? Atau apakah para pemuka agama akan bisa menjadi pengerem tindakan dari para pelaku kapitalisme dan sosialisme dalam mengeksploitasi manusia? Dan banyak pertanyaan lainnya yang bisa dimunculkan ketika mengawinkan antara sosialisme dan kapitalisme dengan spiritualitas.

Menurut Bahtiar Effendy, pemikiran ekonomi adalah bidang yang paling sedikit menjadi perhatian dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Bukan hanya karena tak banyak orang yang ahli tentang masalah ini, tapi juga karena isu ekonomi tidak menjadi perhatian utama para pemikir Islam. Selain itu, wacana ekonomi dalam pemikiran Islam kontemporer telah terdistorsi sedemikian rupa dalam wacana ‘islamisasi ekonomi’ yang lebih bersifat ideologi ketimbang ilmu.

Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, pemikiran ekonomi memang selalu dikaitkan dengan sosialisme, yang akrab dikenal sebagai ekonomi Islam. Hal ini pertama-tama terkait erat dengan akar pemikiran Islam itu sendiri yang penuh dengan sejarah sosialisme, atau malah juga terkait erat dengan sejarah pemikiran ekonomi di Indonesia secara keseluruhan, yang memang sangat didominasi oleh pemikiran kiri (sosialis).

Citra bahwa Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan tak terpisahkan telah disemai sejak zaman Tjokroaminoto, Bapak pemikiran Islam modern. Tjokroaminoto ialah seorang intelektual Islam pendukung sosialisme. Setelah Tjokroaminoto, sejarah pemikiran keekonomian dalam Islam hampir tak bisa keluar dari paradigma sosialisme. Apalagi disokong oleh intelektual seperti Sjafruddin Prawiranegara atau Muhammad Roem, yang kerap dianggap sebagai pemikir garda depan Masyumi, adalah seorang ‘sosialis religius’. Mungkin karena alasan historis ini, banyak generasi pemikir dan intelektual Islam yang lebih belakangan, menganggap Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan yang tak terpisah, dan ujungnya kembali lagi pada ekonomi Islam.

Lalu apakah sosialisme dan kapitalisme itu bisa disatukan dengan religiulitas? Kita coba melihat definisi dari kapitalisme religius yang berusaha disampaikan oleh Iggi Haruman yaitu: Kapitalisme religius adalah sebuah free market enterprise system dimana aktivitas ekonomipara pelakunya – yang meliputi produksi, alokasi, konsumsi, dan distribusi kekayaan- dituntun oleh etika, moral, dan semangat keagamaan.

ZT dalam tulisannya berusaha mendefinisikan KR itu dengan mencontohkan seperti ACT yang mengumpulkan dana umat Islam untuk tujuan amal ibadah dan mendapatkan pahala dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Penumpukkan modal itu memang bisa disebut akumulasi kapital tapi tentu saja belum tepat jika disebut sebagai kapitalisme. Karena praktik seperti itu belumlah menjadi sebuah sistem ekonomi yang dianut di sebuah komunitas tertentu.

Penumpukan modal belum tentu sudah menjadi kapitalisme. Musti ada syarat kapitalisme lain yang terwujud untuk bisa disebut kapitalisme telah wujud seperti self interest, property rights guarantee, price system, free market, free competition, dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan sosialisme religius yang dikemukakan sebagai sebuah “isme” oleh ZT tentu saja masih harus diuji apakah memang sudah bisa disebut sebagai sebuah sistem? Orang-orang saleh di zaman kemerdekaan dulu yang belajar mengenai ajaran Karl Marx dan terpesona olehnya yang kemudian berusaha menerapkan dalam tiap tindakan dan fikirannya, belum bisa juga disebut sebagai sebuah (sistem) sosialisme religius yang dijalankan pada waktu itu.

Masih perlu didefinisikan secara baik dan jernih apa benar yang disebut dengan sosialisme religius itu. Orang beragama yang menganut ideologi sosialisme tentu saja belum cukup untuk merumuskan definisi kata sosialisme religius itu.

Galberth (1958) pernah menyampaikan: “under capitalism man exploits man, under socialims it’s just the reverse”. Sehingga mensitesakan kapitalisme dengan sosialisme yang dalam tulisannya KR menyatakan mengakibatkan munculnya welfare state, masih perlu dipertanyakan.

Negara welfare state itu lahir karena sintesa antara kapitalisme dengan sosialisme ataukah karena kemajuan perdaban barat yang dulu pernah melewati masa-masa kelam yang dikenal dengan istilah “Abad Kegelapan (dark age)”? Eropa telah melewati proses pertumbuhan peradaban yang sangat panjang sehingga welfare state dimungkinkan karena proses ini tidak semata-mata atas adopsi dari sintesa pemikiran kapitalisme dan sosialisme.

Selanjutnya, kapitalisme dan sosialisme sama-sama mengedepankan rasionalitas karena yang melandasinya adalah sekularisme. Sementara religiulitas sebaliknya menghubungkan manusia dengan realitas tertinggi tunggal yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Apakah dua tujuan utama yang berlainan ini bisa disintesakan ataupun digabungkan yang menghasilkan definisi yang lebih baru untuk menghasilkan konsep pemikiran yang juga baru? Tentunya masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam.

Kita tentu belum sampai pada tahap lahirnya pemikiran baru ini dan masih relatif jauh dengan berbagai macam pengujian ilmiah. Tidak bisa hanya diselesaikan dengan tulisan opini singkat di media saja.

Pada saat ketidakseimbangan yang terjadi, misalnya kapitalisme dan sosialisme yang lebih dominan, maka yang timbul adalah kehidupan materialis dan kegersangan spiritualitas karena mengedepankan rasionalitas. Pada saat semangat religius yang lebih dominan sering kali dituding terjadinya fatalisme, pasivisme, dan mistikisme serta kepercayaan buta tanpa dasar rasional.

Kita di kampung tentunya sangat berharap sumbang pemikiran dari Prof. Zulfan Tadjoeddin sebagai sebuah rumusan yang tepat yang sesuai dengan karakteristik orang Indonesia khususnya Sumatera Barat yang religius. Tidak hanya memberikan contoh dan mengajukan sistem welfare state barat sebagai solusi yang belum tentu cocok untuk diterapkan di Indonesia apalagi Sumatera Barat yang menjunjung adat ketimuran dan berlandaskan pada syariat Islam.

Baca Juga: Kapitalisme Irreligius (KI) Sebagai Antitesis Kapitalisme Religius (KR)?

Welfare state yang dianggap ZT berhasil di dunia barat belum tentu juga akan berhasil apabila diterapkan di Indonesia yang memiliki karakteristik ideologi yang jauh berbeda. Jika Marx saja bisa garuk-garuk aspal ketika lahir di Indonesia, entah jadi apa Jeremi Betham yang mencetuskan ide welfare state itu jika lahir dan tinggal di Indonesia?

Kesadaran beragama masyarakat Indonesia tentu saja tidak bisa dinafikan dalam merumuskan sistem ekonomi yang cocok dengan mensintesakan berbagai macam pemikiran ekonomi yang ada. Kesadaran beragama yang semakin membesar ini pada era milenium pernah disampaikan oleh John Naisbit dalam Megatrend 2000. Naisbit menyampaikan bahwa fajar dari milenium ketiga itu ditandai dengan bangkitnya kesadaran beragama di seluruh dunia.

Ketika orang terpukul oleh perubahan, kebutuhan akan kepercayaan spiritual yang kokoh makin kuat. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi tidak memberi arti kehidupan. Arti hidup diperoleh melalui sastra, seni, dan spiritualitas. Sehingga manusia akan kembali kepada agama untuk mengisi kekosongan yang dihadirkan akibat kemajuan teknologi tersebut.

Sehingga sistem ekonomi yang ditawarkan tentu saja tidak bisa jauh-jauh dari hadirnya kesadaran spritual ini apalagi di Indonesia yang sudah sejak lama masyarakatnya hidup dalam suasana yang religius. Kita berharap ZT dalam tulisan berikutnya bisa memberikan sistem ekonomi religius seperti apakah yang tepat diterapkan di Indonesia. Tentu dengan pengalaman beliau sebagai akademisi yang lama berkecimpung dalam pemikiran ekonomi yang bersumber dari para pakar ekonomi dari seluruh dunia kita harapkan beliau akan bisa memberikan ide segar terkait sistem yang paling tepat diterapkan di Indonesia minimal di Sumatera Barat yang masyarakatnya terkenal religius. (*)

----

Rafki Rasyid
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Andalas

Dapatkan update berita Sumatra Barat terbaru dan terkini hari ini dari Langgam.id. Mari bergabung di Grup Telegram Langgam.id News Update, caranya klik https://t.me/langgamid, kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

 

Tag:

Baca Juga

Kementerian ATR/BPN) akan segera mempersiapkan Panitia Pengadaan Tanah untuk menopang pembangunan infrastruktur Indonesia.
Kementerian ATR Topang Pembangunan Infrastruktur, Nusron: Siapkan Panitia Pengadaan Tanah
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) membuka Rapat Koordinasi pertanahan
Buka Rakor Pencegahan dan Penyelesaian Tindak Pidana Pertanahan 2024, Menko Infra: Kita Tidak Tebang Pilih
Pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Padang nomor urut satu, Fadly Amran-Maigus Nasir, berhasil unggul di dua TPS tempat mereka
Pasangan Fadly-Maigus Unggul di TPS Tempat Mereka Memilih
Persaingan ketat terjadi dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwako) Padang 2024 di TPS 004 Ulak Karang, Kecamatan Padang Utara. TPS ini menjadi
Hasil Pilwako Padang di TPS Hendri Septa: Fadly-Maigus Unggul Tipis
Proses perhitungan suara Pilwako Padang di TPS 005 Jati Baru, Kecamatan Padang Timur, menunjukkan hasil akhir sebagai berikut:
Hasil Hitung Suara Pilwako Padang di TPS Mahyeldi: Fadly-Maigus Unggul
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatra Barat, Mahyeldi Ansharullah-Vasco Ruseimy, unggul sementara dalam survei terbaru
Survei Voxpol Center: Mahyeldi-Vasco Sementara Unggul Telak di Pilgub Sumbar 2024