Keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Rabu (21/2) menahan suku bunga acuan atau BI Rate merupakan langkah yang tepat dan sudah diperkirakan demikian.
Sebuah keputusan yang prepemtive sekaligus antisipatif terutama untuk memperkuat stance BI yang pro stability guna mengendalikan ekspektasi inflasi ke depan dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah utamanya terhadap dolar AS.
Secara umum memang situasi dan kondisinya belum mendukung untuk penurunan BI Rate, antara lain, situasi eksternal memanas, tensi geopolitik meningkat di Jalur Gaza dan Laut Merah yang berpotensi mengganggu distribusi minyak dunia sehingga memicu harga minyak dunia naik dan bisa tembus 90 USD per barel sehingga bisa mendorong kenaikan inflasi global, yang pada gilirannya akan menggoda bank-bank sentral negara maju cenderung menahan suku bunga acuan.
Apalagi di pasar uang domestik terpantau pergerakan volatilitas rupiah terhadap dolar AS masih cukup tinggi. Juga di dalam negeri mendekati puasa ramadhan yang biasanya inflasi bulanan naik karena meningkatnya permintaan konsumsi masyarakat (terutama kelompok bahan pangan/sambako dan transportasi/telekomunikasi).
Situasi politik dalam negeri yang agak menghangat akhir-akhir ini juga perlu dikonsider dengan baik sehingga menahan BI Rate tetap 6% adalah tepat dan rasional.
Kesimpulannya: Pilihan prioritas kebijakan moneter BI untuk tetap pro stability sudah on the track untuk jangka pendek ke depan ini, seraya BI juga tetap mempertahankan kebijakan makroprudensial yang pro growth sehingga stance kebijakan yang stability over growth terlihat nyata untuk dipedomani seluruh pelaku ekonomi, keuangan, bisnis dan investasi.
Setidaknya sektor perbankan masih akan status quo dalam bersikap terkait penetapan suku bunga (simpanan dan kredit).
Penulis: Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia