Ya, ide judul tulisan ini diilhami satu kalimat terkenal milik seorang filsuf besar abad modern, Rene Descartes. Cogito ergo sum—dalam versi bahasa aslinya je pense, donc je suis—yang berarti aku berpikir, maka aku ada.
Descartes menemukan ide tersebut melalui metode keraguan (le doubte methodique), dengan jalan meragukan segala sesuatu, hingga pada akhirnya ditemukan satu eksistensi yang ada. Metode ini dikenal juga sebagai bentuk skeptisme-metodikal, dengan mengkombinasikan intuisi dan deduksi. Keluaran dari metode ini adalah penemuan kesadaran subjektif dan isinya yang terpisah dari dunia fisik alam dan dari dunia sosial manusia.
Lantas, apakah Descartes juga ikut berpuasa? Tidak, tulisan ini hanya berusaha menarik ide cogito ergo sum dalam memahami dan memaknai perintah untuk puasa di bulan Ramadhan bagi umat muslim.
Usaha untuk menguraikan perintah tersebut juga akan meminjam ide Heidegger tentang ada dan waktu (sein und zeit). Meskipun beberapa pakar menyatakan bahwa ide Descartes merupakan bukti ontologis keberadaan Tuhan, namun tidak sedikit yang kemudian lupa mendefinisikan dan memaknai konsep ada pada ide tersebut. Pada titik ini, ide Heidegger berperan penting dalam menyembuhkan amnesia-ontologis dalam ide Descartes, terutama dalam menguraikan konsep ada itu sendiri.
Perintah Berpuasa di Bulan Ramadhan
Dalil naql yang berkaitan dengan perintah puasa—yang qath’i baik dari segi sumber/tsubut ataupun penunjukan/dalalah—adalah firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 183, yang menurut terjemahan resmi Kementerian Agama RI adalah “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.
Allah SWT melalui ayat ini menyeru dan memerintahkan sebuah perbuatan kepada orang-orang yang beriman. Siapa orang yang beriman itu? Secara bahasa, awalan “ber” pada kata tersebut bermakna mempunyai. Orang yang beriman berarti orang yang mempunyai iman.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang dimaksud dengan iman? Merujuk pada Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Thabraniy, serta penjelasan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, iman adalah sebuah kesatuan aktivitas pembenaran dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan segenap anggota badan.
Pada titik ini, terlihat bahwa seruan dan perintah melaksanakan puasa hanya dibatasi bagi orang-orang yang mempunyai kesatuan aktivitas antara hati, lisan, dan anggota badan terhadap keberadaan Allah SWT. Eksistensi iman, dikukuhkan dalam hadits riwayat Muslim nomor 8 tentang 6 entitas yang wajib diimani, atau yang lazim dikenal sebagai rukun iman.
Perintah pada ayat tersebut hanya menyebutkan perbuatan puasa, sebagaimana puasa yang juga dilakukan oleh umat nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW. Merujuk pada penjelasan sebab-sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Jarir dari Muadz ibn Jabal, bahwa ayat ini turun terkait dengan kebiasaan berpuasa tiga hari setiap bulannya yang dilakukan umat Islam pada masa itu.
Yusuf Qardhawi menyatakan, perintah berpuasa di bulan Ramadhan dimulai sejak tahun ke-2 hijriyah dan berkaitan dengan metode dakwah Rasulullah setelah berada di Madinah. Pada saat berada di Madinah, ternyata Umat Yahudi juga melaksanakan puasa setiap tanggal 10 Muharram dengan alasan sebagai bentuk syukur karena pada tanggal itu Allah telah menyelamatkan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.
Kemudian Rasulullah S.A.W. menyatakan bahwa, “sesungguhnya kami (umat Islam) lebih berhak atas Nabi Musa daripada kalian”. Semenjak itu, umat Islam pun ikut serta melaksanakan puasa pada setiap tanggal 10 Muharram.
Semenjak saat itu, puasa yang sudah ditradisikan tersebut dihitung sebagai puasa tambahan—atau puasa sunat—, sedangkan puasa yang diwajibkan adalah selama bulan Ramadhan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim—atau yang saat ini lazim dikenal sebagai hadits rukun Islam.
Puasa Ramadhan sebagai manifestasi diri dan iman. Jika diperhatikan sekilas, perintah berpuasa di bulan Ramadhan terkesan seperti sesuatu yang sederhana. Namun, di balik itu tersirat sebuah yang luar biasa, terutama dalam upaya manifestasi diri terhadap iman.
Seperti yang banyak diketahui, cukup jamak hadits yang berbicara mengenai keutamaan dan pahala bagi yang melaksanakan puasa sunat. Namun untuk puasa Ramadhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Bukhari nomor 1904, 5927 dan Muslim nomor 1151, dinyatakan bahwa amalan puasa adalah mutlak untuk Allah SWT dan hanya Allah SWT yang akan memberikan balasan dengan kadar dan cara-Nya sendiri. Hal ini menjadi sangat menarik untuk disimak lebih lanjut.
Puasa, sebagai amalan dengan dimensi vertikal, meniscayakan hubungan langsung antara manusia dengan Sang Pencipta. Kenapa Allah SWT memerintahkan manusia berpuasa untuk-Nya, sementara Dia sendiri pada dasarnya tidak membutuhkan segala sesuatu apapun dari alam (lihat Q.S. Al-Ankabut ayat 6)?.
Pada titik inilah keimanan seseorang memiliki peran penting. Ide cogito ergo sum yang dipopulerkan Descartes pada dasarnya berbicara mengenai eksistensi diri sebagai sebuah kesadaran. Kesadaran diri yang terpanggil atas perintah dari Sang Pencipta, sebuah kesadaran diri yang benar-benar sadar akan iman.
Kenapa? Karena jika seseorang yang beriman berpuasa pada bulan Ramadhan dengan mengetahui dalil kenapa ia berpuasa, paling tidak sedang dalam proses menyadarkan diri terhadap eksistensi Tuhan, Malaikat, Nabi, dan Kitab Suci pada saat yang bersamaan.
Namun, apakah ia akan menerima dan melaksanakan seruan tersebut dengan penuh kesadaran? Heidegger pernah begitu mengkhawatirkan kondisi ini. Dewasa ini, orang jarang serius merenungi hidupnya. Sebagian besar orang saat ini tidak sanggup berbicara dengan dirinya sendiri, karena diri itu tidak lagi miliknya sendiri, melainkan sudah ditunggangi suara-suara dan kepentingan-kepentingan lain di luar dirinya.
Meminjam hierarki kesadaran Kierkegaard, bahwa tingkatan kesadaran itu adalah estetika, etika, dan religius. Tidak jarang saat ini, sebagian orang berpuasa baru hanya pada tatanan kesadaran estetik dan etik.
Motivasi berpuasa karena malu kepada usia, malu kepada pasangan, teman, keluarga, dan orang lain. Sehingga bagi mereka tidak akan mendapatkan apa-apa selain rasa haus dan lapar semata.
Hal ini akan berbeda bagi orang-orang yang memaknai puasa sebagai bentuk kesadaran religius, atau Maslow menyebutnya sebagai internalisasi diri. Kesadaran seperti inilah yang akan mengantarkan kita kepada proses menuju ada.
Epilog
Apa yang dimaksud dengan ada? Heidegger menyatakan bahwa das wessen des dasseins liegt in seiner existenz (adanya keberadaan itu terletak pada eksistensi). Secara sederhana, dinyatakan bahwa eksistensi dan keber-ada-an manusia adalah ketika manusia itu sadar dengan tempatnya.
Kekhasan ide Heidegger ini adalah fokusnya dalam menyingkap fenomena yang seringkali dianggap remeh dalam kehidupan sehari-hari—termasuk ide awal pemenuhan perintah berpuasa—menuju sesuatu yang lebih transenden dan ontologis. Wujud ada pada kesadaran manusia adalah upaya untuk selalu memperbaiki jati diri, hingga ajal menjelang.
Melalui momen berpuasa di bulan Ramadhan ini, seorang manusia yang beriman dituntut untuk selalu menjadi lebih baik. Karena tidak tertutup kemungkinan bahwa kadar keimanan seorang manusia selalu berubah-ubah. Melalui berpuasa, diharapkan ia mampu menemukan tujuan hidup melalui pilihan-pilihan yang dapat ia buat secara bebas dan selalu berproses menuju kesempurnaan hidup. Hingga pada akhirnya ia menegaskan, aku berpuasa, maka aku menuju ada.[]
*Aulia Rahmat, Dosen Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang, saat ini sedang menempuh studi Doktor Hukum pada Universitas Islam Indonesia.